Hai semua... kali ini
saya akan membahas tentang kecemasan. Kecemasan adalah keadaan yang
beroeriantasi pada masa yang akan datang, yang ditandai dengan efak negatif,
dimana seseorang memfokuskan diri pada kemungkinan datangnya bahaya atau
kemalangan yang tidak dikontrol. Biasanya rasa cemas ini terjadi pada saat adanya
kejadian atau peristiwa tertentu, maupun dalam menghadapi suatu hal. Bahkan
kecemasan ini perlu dimiliki oleh manusia. Apabila kecemasan itu berlebihan
akan berubah menjadi abnormal, ketika kecemasan yang ada dalam diri individu
menjadi berlebihan atau melebihi dari kapasitas umumnya. Individu yang
mengalami gangguan seperti ini bisa dikatakan mengalami gangguan kecemasan
yaitu ketakutan yang berlebihan dan sifatnya tidak rasional. Seseorang
dikatakan menderita anxiety disorder apabila kecemasan atau anxietas ini
mengganggu aktivitas dalam kehidupan dari diri individu tersebut. salah satunya
terganggunya fungsi sosial dalam diriindividu. Misalnya, kecemasan yang
berlebihan ini menghambat diri seseorang untuk menjalin hubungan akrab antar
individu maupun kelompoknya.
Gangguan
kecemasan berdasarkan DSM IV TR terdapat 9 kategori(Mash
& Wolfe, 2010)
1. Separation Anxiety Disorder
2. Generalized Anxiety Disorder
3. Specific Phobia
4. Social Phobia
5. Obsessive-Compulsive Disorder
6. Panic Disorder
7. Panic Disorder with Agoraphobia
8. Post-traumatic Stress Disorder
9.
Acute
Stress Disorder
Generalized Anxiety
Disorder (GAD)
Kekhawatiran akan
sesuatu yang tidak jelas.Penyebabnya tersebar luas dan focus pada kejadian
setiap harinya. Dengan demikian anak yang mengalami GAD dapat menjadikan semua hal penyebab kecemasan.
Ada perbedaan secara
budaya dalam gejala yang dialami. Budaya barat akan menunjukkan gejala kognitif
sedangkan budaya Asia kan menunjukkan
gejala fisik (somatic).
Intervensi yang
dilakukan dengan pendekatan cognitive-behavioral treatments.
Salah satu yang sering digunakan adalah Program Coping Cat(dalam budaya
lain dikenal dengan istilah Coping Koala). Proses perlakuan mengacu
pada perwakilan kognisi dari lingkungan terhadap respon yang diberikan oleh
anak.Tugas terapis adalah mengubah ketidaksesuaian pikiran, serta merubah
perilaku dan respon emosi yang muncul bersamaan, dengan membuat pengalaman
belajar baru bagi anak.
Tahap pertama FEAR,Feeling
Fightened berarti gokus membantu anak untuk menyadari ketika merngalami
perasaan takut.Tahap kedua Expecting Bad
Things to Happen, dalam hal ini anak dibantu untuk mengidentifikasikan hal
buruk yang menyertai ketika muncul rasa takut. Tahap yang ketiga Attitudes and Action That Can Help, ini
adalah bagian terapis untuk membantu anak melihat dengan lebih
realistikmengenai kejadian takut yang dialami, dan kemudian mengatasi rasa
takut itu. Tahap terakhir adalah Result
and rewards, pada tahap ini anak mengevaluasi keberhasilan dari
penyelesaian yang dilakukannya dan mendorong untuk berpikir kemungkinan rewards dari penyelesaian atas situasi
kecemeasan.(Kerig & Wenar, 2006)
Hasil penelitian menemukan
bahwa penderita GAD memberikan keluhan
somatic dari laporan orangtua pada anak usia 9-11 tahun dan laporan diri pada
anak usia 11-13 tahun (oleh Pimentel&Kendall, 2003. Dalam WILMHURST, 2009).
Keluhan somatic yang dimaksud adalah :
Ø Kegelisahan
(restlessness)
Ø Mudah
lelah (ease of fatigue)
Ø Mudah
marah (irritability)
Ø Masalah
konsentrasi (concentration problems)
Ø Otot
menegang (muscle tension)
Ø Masalah
tidur (sleep problems)
Penyebab
GAD dapat dipengaruhi
oleh 3 model, yaitu: Biologi, kognitif, dan pengasuhan. Model Biologi dalam penelitian pada
anak kembar ditemukan bahwa 30-40% ditemukan dari factor genetik (oleh Eley,
1999. Dalam WILMSHURST, 2009). Selain
itu, beberapa penelitian menyebutkan pula bahwa akan meningkat pada hubungan
keturunan pertama dengan GAD.Model
Kognitif, Anak yang cemas akan
mengembangkan respon menolak berdasarkan interpretasi terhadap situasi yang
ambigu dengan cara yang negative (oleh Barrett, Rapee, Dadds, & Ryan,1996;
Muris, Luermans, Merckelbach, & Mayer, 2000. Dalam WILMSHURST, 2009). Dalam
dituasi yang lain, orang dewasa menunjukkan perkiraan yang berlebihan terhadap
ancaman, bahaya, dan ketakutan, serta ketidakyakinan akan kemampuan untuk
menyelesaikannnya (oleh Beck, Emery, & Greenberg, 1996. Dalam WILMSHURST,
2009).Model Pengasuhan, Orangtua yang terlalu menjaga anaknya atau
merasa cemas akan dirinya akan bersikap melindungi anaknya dari ancaman dan
dengan demikian akan menurunkan kesempatan anak untuk mengembangkan kemampuan
menyelesaikan masalah serta mengembangkan kecenderungan sikap penolakan anak.
Ada satu penelitian yang menunjukkan bahwa anak yang mengalami kecemasan
kelekatan pada masa bayi memperlihatkan dua kali lipat kemungkinan untuk menderita
gangguan kecemasan dalam masa dewasa dibandingkan dengan anak-anak yang
mendapat cukup kelekatan (securely attached) (oleh Warren et al., 1997. Dalam
WILMSHURST, 2009).
Tambahan penelitian.
Dalam sebuah penelitian pada lebih dari 250 anak usia sekolah (7-12 tahun),
peneliti menemukan bahwa tiga lingkup kecemasan terjadi di pada bidang sekolah,
kesehatan, dan bahaya pribadi. Walaupun perbedaanusia tidak terlalu nampak,
tetapi anak perempuan ditemukan lebih cemas daripada laki-laki (oleh BarrettRapee,
Dadds, & Ryan, 1996. Dalam WILMSHURST, 2009).
Specificic
Phobias
Definisi dan
Karakteristik
Specific phobias adalah
ketakutan berlebihan yang tidak beralasan yang terjadi karena kehadiran suatu
objek spesifik atau saat berada dalam suatu situasi tertentu.
Prevalence
Cenderung lebih
banyak terjadi pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki.
School phobia
School phobia merupakan
salah satu contoh specific phobia yang sering ditemukan.
Pada school phobia,
seorang anak mengalami ketakutan yang berlebihan terhadap beberapa hal di
sekolah yang diikuti oleh simptom simptom kecemasan dan kepanikan, yang
mengakibatkan anak tidak sanggup untuk pergi ke sekolah, baik parsial maupun
total.
Umumnya, school
phobia lebih cenderung dialami oleh anak laki-laki, berusia lebih dari 10
tahun, dan berasal dari keluarga yang berstatus sosial ekonomi yang baik (Blagg
& Yule, dalam Kerig &Wenar).
Perbedaannya dengan
SAD adalah anak-anak dengan school phobia dapat merasa nyaman dalam
beberapa situasi selain di sekolah, sedangkan anak dengan SAD jika berada di
rumah tetap harus ditemani oleh figur lekatnya agar merasa nyaman.
Developmental Course
Specific phobia memiliki age
of onset yang berbeda-beda.
Animal phobia (takut
terhadap hewan) dimulai pada usia 7 tahun, blood phobia (takut terhadap
darah) muncul sekitar usia 9 tahun, dan dental phobia (takut terhadap
dokter gigi) muncul pada usia 12 tahun. Sedangkan fear of enclosures dan
social phobias dimulai pasa masa remaja atau dewasa awal
(Silverman&Rabian, dalam Kerig&Wenar.
Intervention
Systematic
Desensitization, yaitu mencoba mengurangi respon ketidaknyamanan terhadap objek
yang ditakuti dengan cara riileksasi.
Misalnya pada anak
yang mengalami kecemasan saat berada di jalan raya.
Setelah anak
melakukan tahap awal, anak tersebut diminta untuk rileks dulu sebelum memulai
membayangkan situasi lain yang lebih membuat dia cemas (yang berhubungan dengan
phobia yang dialaminya).
Jika tahap rileksasi
ini dapat dilewati dengan baik, maka prosedur berikutnya adalah dengan masuk ke
situasi nyata yang ditakuti.Prosedur ini disebut in vivo "(real
life") desensitization.
Prolonged Exposure
Prolonged Exposure merupakan
kebalikan dari Systematic Desensitization, dimana pada metode ini anak
dihadapkan pada stimulus yang menimbulkan ketakutan yang sepenuhnya, kemudian
anak tersebut diberikan reinforcement jika mampu menghadapinya dalam
periode waktu yang panjang.Reinforcement saat reaksi-reaksi fisiologis
dari kecemasan tersebut mulai hilang ataupun berkurang mendekati normal.Metode
ini bisa dilakukan dengan imajinasi maupun in vivo.
Modeling
Dalam modeling,
anak-anak mengobservasi individu yang mampu beradaptasi dengan objek yang
menimbulkan phobia.Metode ini lebih efektif jika partisipan yang
dilibatkan juga anak-anak, setelah observasi, partisipan tersebut dapat
menemani anak untuk menghadapi objek yang ditakuti.
Cognitive
self-Management
Metode ini menekankan
“self talk” untuk menghadapi efek-efek dari phobia, seperti
mengatakan pernyataan “ aku berani dan bisa menjaga diriku sendiri”, “naik bis
adalah sesuatu yang menyenangkan”, dan lain-lain.
Effectiveness
Ollendick dan King
(dalam Kerig dan Wenar, 2006) melakukan studi tentang keefektifan metode-metode
di atas menemukan bahwa metode-metode ini mungkin berkhasiat.
Social
Phobias (Social Anxiety Disorder)
Definition and
Characteristics
Anak-anak dengan Social
Phobiaadalah anak-anak yang
mengalami masalah dalam self concept dan melakukan penolakan terhadap
situasi-situasi social, mereka takut jika mereka akan melakukan hal-hal yang memalukan atau
Anak-anak dengan
social phobia mengalami symptom-simptom fisik yang menimbulkan ketidaknyamanan
jika berada dalam situasi-situasi social (peningkatan denyut jantung, gemetar,
keringat berlebihan, pikiran menjadi “blank”/ bingung, dan lain-lain) yang
memberikan pengaruh kepada ketakutan-ketakutannya tersebut (seperti merasa
bahwa ia ingin pergi dari tempat itu secepat mungkin). Hal ini dapat meningkat
menjadi rasa panic, kehilangan control, dan merasa bahwa dia akan mati.
Anak-anak ini juga
cenderung menjadi tidak asertif dan terlalu sensitive terhadap kritikan.
Pada masa kanak-kanak
awal, social anxiety muncul dalam bentuk excessive shyness (rasa malu yang
berlebihan). Anak-anak mungkin menunjukkan reaksi distress terhadap kehadiran
orang dewasa atau anak sebaya yang belum dikenalnya, menangis, tidak mau
berpisah (clinging), menjadi tantrum, serta mengarah kepada ketidakmampuan
bicara. Mereka terkadang menolak untuk bermain dalam kelompok , tidak mau
terlibat ke dalam kegiatan social, dan lebih memilih untuk menemaniorang dewasa
dibandingkan bergaul dengan teman sebaya (Rapee & Sweeney, dalam Kerig
& Wenar). Kelompok teman sebaya menjadi kurang tertarik pada anak-anak yang
angkuh dan kaku., dan anak-anak dengan
kecemasan social mungkin akan ditolak dan tidak memiliki teman, sehingga self
esteem mereka menjadi rendah dan merasakan suatu ketidakmampuan (inferiority).
Jarang ditemukan
anak-anak dengan social phobia yang tidak diikuti oleh disorder yang
lain, seperti yang diungkapkan oleh last dan koleganya (1992) bahwa 87 persen
anak-anak dengan social phobia juga mengalami anxiety disorder yang lain.
Intervention
Treatment yang
efektif untuk mengatasi social anxiety adalah Cognitive Behavioral (Kendall, dkk, 2003). Beidel dan koleganya
(2000) merancang sebuah program yang dinamakan Social Effectiveness
Treatment for Children. Pada program ini, anak-anak akan mendapatkan 2 sesi
treatment, yang pertama berfokus pada bagaimana menghadapi situasi yang
menakutkan dan sesi kedua berfokus pada pelatihan keterampilan social.
Dalam studi yang
lain, Spence dan koleganya (2000) menyelidiki tentang keefektifan suatu group
treatment for children yang dikombinasikan dengan exposured therapy
dan social skill training dengan relaksasi, problem solving, dan cognitive
restructuring. Treatment juga lebih efektif jika melibatkan
orangtua.
SEPARATION
ANXIETY DISORDER (SAD)
SAD adalah ketakutan
berlebihan yang dialami anak jika berpisah dengan subjek lekatnya, terutama
orangtua.
SAD ditemukan
sebanyak2-12 persen pada populasi umum, dan sekitar 29-45 persen pada populasi
klinis.
Age of onset dimulai
dari 7.5 sampai 8.7tahun.
SAD meningkatkan
resiko mengalami anxiety atau depressive disorder pada masa dewasa.Pada wanita
dewasa bisa meningkatkan resiko panic disorder dan agoraphobia.
Intervention
Terapi untuk
Generalized Anxiety yang juga digunakan untuk SAD salah satunya adalah
Kendall’s Cognitive-Behavioral Coping
Cat Program.
OBSESSIVE-COMPULSIVE
DISORDER (OCD)
Gangguan
kecemasan lain yang dapat muncul pada anak-anak
adalah obsessive-compulsive disorder
atau gangguan obsesif-kompulsif (OCD), yaitu merupakan gangguan
kecemasan yang ditandai oleh ide-ide atau pikiran-pikiran (obsesi) dan perilaku
(kompulsi) yang mengacau. Mash &
Wolfe (2010) mengemukakan bahwa pikiran-pikiran atau obsesi meliputi ide-ide,
impuls, imej-imej yang terus muncul secara berulang, tak masuk akal, tidak
dapat ditolak oleh anak dan menimbulkan kecemasan.Kecemasannya tidak beralasan
dan untuk meredakan kecemasannya, anak melakukan perilaku kompulsi.Kompulsi
adalah perilaku atau mental act
berulang, disengaja, dan bertujuan sebagai respon terhadap obsesi.Obsesi dan
kompulsi ini tidak dapat dikontrol oleh individu sehingga dapat berlangsung
dengan durasi yang relatif lama dalam sehari dan mengganggu fungsi sehari-hari
dari anak.Selain itu, karena ingin menyembunyikan ‘keanehan’-nya, anak
cenderung menarik diri dari lingkungannya.
Obsesi yang paling
sering muncul adalah terkontaminasi kuman, rasa takut akan bahaya yang menimpa
diri sendiri ataupun orang lain, dan religiusitas yang berlebihan (Chang &
Piacentini, 2002). Sesuai dengan tema obsesi yang sering muncul pada anak,
kompulsi yang sering ditampilkan oleh mereka adalah mencuci tangan, pemeriksaan
berulang-ulang (berkali-kali memeriksa pintu apakah sudah dikunci), preokupasi
dengan keteraturan, dan berulangkali berhitung sampai angka tertentu dan
menyentuh objek berkali-kali dalam jumlah tertentu.Kompulsi harus dilakukan
secara tepat karena apabila tidak sesuai dengan ‘seharusnya’, dapat menimbulkan
konsekuensi yang berbahaya dan menakutkan.
Contoh Obsesi dan
Kompulsi yang sering muncul pada anak
yang mengalami gangguan obsesif-kompulsif (March dan Mulle, 1998)
Table
3
Contoh Perilaku Obesesi-Kompulsi
Obsesi
|
Kompulsi
|
Kontaminasi
Bahaya pada
diri atau orang lain
Agresi
Seks
Agama,
moralitas
Pikiran-pikiran
terlarang
Simetri
Kebutuhan untuk
memberitahu, bertanya, mengakui
|
Mencuci
Mengulang-ulang
Memeriksa
Menyentuh
Berhitung
Menyusun
Menimbun
Berdoa
|
Gejala-gejala OCD
cenderung meningkat pada masa-masa di mana anak mengalami stress, seperti pada
awal masuk sekolah, pindah rumah, perpisahan dengan anggota keluarga. Terdapat
perbedaan gender pada masa kanak-kanak di mana anak laki-laki lebih awal dan
juga lebih banyak dibandingkan perempuan (Rapoport dkk, 2000).
Gangguan
obsesif-kompulsif biasanya komorbid dengan gangguan depresi dan gangguan
kecemasan lainnya, khususnya social phobia, tic, dan gangguan kebiasaan (contoh
: menggigiti kuku dan menarik rambut), juga penyalahgunaan obat-obatan
terlarang. Sedangkan pada anak, OCD umumnya komorbid dengan gangguan-gangguan
disruptif seperti ADHD.Gangguan belajar juga biasanya
terdapat pada anak penderita OCD, terutama yang bermasalah pada nonverbal reasoning.
Pada masa perkembangan
awal, beberapa pikiran semacam obsesi atau perilaku yang mirip dengan kompulsi
umum ditampilkan oleh anak-anak karena mereka sedang berusaha menguasai tugas
tahapan “mastery”. Gangguan obsesif-kompulsif dapat muncul pada usia 7 tahun
meskipun rata-rata usia permulaan adalah 10-14 tahun (Weiss & Last, 2001).
Terdapat berbagai
intervensi yang dapat diberikan kepada penderita gangguan obsesif-kompulsif :
1.
Farmakoterapi, dengan memberikan Selective
Serotonin Reuptake Inhibitors. Namun, bagi penderita OCD,
terapi medis ini lebih merupakan pelengkap dari treatment lainnya.
2.
Cognitive-behavioral Treatment (CBT),
terbukti sangat efektif bagi anak-anak penderita OCD (March & Mulle, 1998).
CBT ini terdiri dari lima langkah :
a.
Psychoeducation, di sini
anak diajak membuat perumpamaan-perumpamaan yang dekat dengan dunia mereka
seperti mengganti istilah ‘obsesi’
dengan ‘cegukan otak’ dan
mengeksternalisasi gejala-gejala mereka dengan memberi nama
b.
Memperkenalkan strategi kognitif untuk
‘memerintah balik’ OCD, seperti self-talk yang konstruktif
c. Pemetaan gejala-gejala dengan mengidentifikasi situasi-situasi di mana anak
merasa dapat ‘menang’ melawan OCD dan juga situasi-situasi di mana anak merasa
tak berdaya. Area tengah, di mana anak memperoleh sukses sebagian dalam melawan
gejala-gejala, merupakan saat di mana terapis hadir bersama anak untuk
meningkatkan kemampuan mereka untuk menolak obsesi dan kompulsi
d. Inti dari intervensi CBT yaitu pemaparan dengan pencegahan respon atau
Exposure with Response Prevention (ERP). Exposure,
sesuai dengan namanya, memaparkan anak dengan stimulus yang ditakutinya.
Biasanya dilakukan bertahap meski terkadang dilakukan dengan secara tiba-tiba
(Implosion therapy). Selanjutnya, di dalam response
prevention, ritual kompulsif dihadang sehingga anak tidak dapat melakukan
perilaku kompulsinya pada saat obsesi muncul.
POSTTRAUMATIC
STRESS DISORDER
Seorang anak
dikatakan mengalami gangguan stress pascatrauma
(PTSD) apabila ia menunjukkan kecemasan terus menerus menyusul peristiwa
traumatis yang berada di luar jangkauan
pengalaman manusia sehari-hari (Fletcher,2007) dalam Mash & Wolfe (2010).
Menurut DSM-IV-TR, pengalaman traumatis didefinisikan sebagai sebuah peristiwa
yang meliputi ancaman kematian atau kematian yang nyata, luka berat, atau ancaman
kepada diri sendiri atau orang lain.
Pengalaman-pengalaman
yang biasanya masuk ke dalam kategori traumatis diantaranya adalah
peristiwa-peristiwa malapetaka, seperti perang, penyiksaan, perkosaan, bencana
alam (gempa bumi, tsunami, banjir, badai), juga bencana akibat kelalaian
manusia (kebakaran dan kecelakaan kendaraan bermotor). Namun, pengalaman baru
dapat dikatakan traumatis apabila memang dipersepsikan seperti itu (Pynoos,
Steinberg, & Wraith, 1995). Dengan kata lain, penilaian anak pada peristiwa
memegang peranan besar dalam menentukan muncul atau tidaknya PTSD. Seorang anak
yang kognisinya mengenai peristiwa tersebut meliputi penilaian negatif seperti
rasa malu, ketidakberdayaan, penyalahan diri sendiri, lebih cenderung untuk
mengalami reaksi pascatrauma yang parah. Reaksi yang muncul biasanya adalah
rasa takut yang intens, tidak berdaya, horror, dan pada anak-anak, perilaku disorganized dan agitated.
Yang membedakan
PTSD dengan gangguan-gangguan kecemasan lainnya adalah sedikitnya aspek ‘irasionalitas’
atau ketidakmasukakalan.
Terdapat tiga
kelompok gejala yang membentuk PTSD : mengalami kembali, menghindar, dan mati
rasa (APA,2000) . Namun, dalam Kerig dan Wenar (2006), ditambahkan satu
aspek lagi yaitu increased arousal.
1.
Mengalami kembali (reexperiencing), anak-anak yang mengalami PTSD menampilkan
‘mengalami kembali’ dari peristiwa traumatis, ditandai oleh ingatan-ingatan
yang mengganggu dan menimbulkan kesulitan (distress)
mengenai kejadian tersebut. Reexperiencing
ini dapat muncul di saat-saat tak terduga, namun seringkali muncul ketika anak
terpapar dengan hal-hal yang mengingatkan pada kejadian traumatis. Pada anak, bentuk mengalami kembali dapat
berupa mimpi buruk dan ‘memainkan’ kejadian traumatis tersebut.
2.
Penghindaran (avoidance) yang terus menerus dari stimulus-stimulus yang
diasosiasikan dengan trauma atau justru meresponnya dengan mati rasa. Anak-anak
dengan PTSD secara aktif menghindari pikiran-pikiran, kegiatan, ataupun
orang-orang yang dapat memancing ingatan kembali mengenai trauma. Mati rasa ditandai dengan berkurangnya minat secara drastis yang sebelumnya
dianggap menyenangkan.
3.
Meningkatnya arousal (arousal), contohnya gangguan tidur,
kerentanan emosional sehingga menjadi mudah marah, kesulitan berkonsentrasi,
reaktivitas fisiologis yang tinggi, dan hypervigilance
(waspada berlebihan). Seorang anak yang hypervigilant
menjadi sangat peka terhadap lingkungannya, memindai secara konstan
tanda-tanda bahaya dan bereaksi secara intens kepada stimulus-stimulus yang tak
diduga, seperti respon kejut yang dilebih-lebihkan.
Kondisi komorbid
(penyerta) yang umumnya muncul pada penderita PTSD adalah depresi, kecemasan, gangguan perilaku
disruptif (Amaya-Jackson & March, 1995).
Ragam gejala yang
muncul pada anak setelah mengalami peristiwa traumatis bervariasi sesuai dengan
usianya (Kerig et al, 2000). Anak-anak yang berusia lebih kecil dapat mengalami
regresi ke tingkat perkembangan sebelumnya, seperti kehilangan kontrol
fisiologis seperti tidak bisa menahan pipis dan buang air besar, menangis hanya
karena frustrasi sepele, menghisap jempol, dan menampilkan gangguan makan dan
ketakutan, termasuk separation anxiety.
Pada usia
prasekolah rentan terhadap distorsi kognitif yang akhirnya meningkatkan
distress mereka. Selain itu, mereka juga bisa keliru tentang urutan kejadian
traumatis yang dialami. Anak-anak usia sekolah lebih sering menampilkan
ketakutan dan kecemasan, yang dapat disertai dengan sakit kepala, gangguan
pendengaran dan penglihatan, berkelahi dengan peer group atau justru menarik diri. Mereka juga bisa mengalami
gangguan tidur, seperti mimpi buruk dan mengompol. Anak-anak yang lebih muda
mengalami kembali melalui perilaku, memainkan kembali peristiwa traumatis,
sedangkan anak-anak yang lebih besar, mengalaminya melalui pikiran. Selanjutnya,
pada anak-anak yang lebih besar dan remaja menampilkan perasaan futurelessness atau merasa bahwa mereka
tidak berharap untuk bertumbuh, menikah, atau mencapai kebahagiaan di masa
dewasa (Saigh, 1992).
Karakteristik
dari anak serta sifat dari peristiwa traumatis menentukan apakah PTSD akan
muncul atau apakah akan berlangsung lama (Kerig et al, 2000). Risiko meningkat
ketika trauma yang dialami bersifat intens dan berulang serta meliputi agresi
manusia, khususnya ketika kekerasan ditujukan kepada si anak atau seseorang
yang dapat memberikan rasa aman kepada anak, seperti orangtua. Risiko dapat
berkurang apabila peristiwa traumatis bersifat akut dengan akhir yang spesifik
sehingga ketika kondisi kembali normal, anak dapat memiliki kesempatan untuk
melampaui dampaknya.
Kerentanan (vulnerability) anak terhadap trauma
mencakup traumatisasi yang pernah terjadi sebelumnya, temperamen yang sulit,
serta penyesuaian emosional yang buruk. Sedangkan faktor-faktor protektif,
yaitu faktor-faktor yang bersifat melindungi, termasuk di dalamnya temperamen
yang resilien, kemampuan pengaturan afek, locus
of control internal, sejarah pembelajaran bagaimana menghadapi peristiwa
yang penuh stress, juga lingkungan keluarga yang suportif (Pynoos et al, 1995).
Dalam memulihkan PTSD,
terdapat berbagai strategi yang dapat dilakukan.Strategi intervensi krisis
(Nader and Pynoos, 1991) berupa “pertolongan psikologis pertama”.Pemulihan
didatangkan langsung ke tempat terjadinya peristiwa traumatis sehingga dapat
merangkul anak-anak dengan segera untuk mencegah terbentuknya reaksi-reaksi
psikopatologis.Tujuan utama dari program ini adalah untuk menormalisasi reaksi
PTSD, meminimalisir kekeliruan dan ketakutan, dan mengikutsertakan anak dalam reexposure (pemaparan kembali) yang
bersifat terapeutik.
Selain itu,
Amaya-Jackson dkk (2002) menggunakan cognitive behavioral therapy (CBT) yang
dilakukan dalam kelompok.Sesi dimulai dengan psikoedukasi mengenai PTSD untuk
menormalisasi gejala-gejala yang terkadang membuat anak merasa ‘menjadi gila’.
Kemudian anak diminta menceritakan traumanya kepada anggota kelompok lain lalu
menulis narasi penyembuhan mereka dalam bentuk buku cerita dengan akhir yang
bahagia. Di sesi-sesi berikutnya, anak diajari mengenai strategi manajemen
kecemasan serta kemampuan kognitif untuk menghadapi PTSD.
Jalur
Perkembangan Gangguan Kecemasan
Memiliki gangguan
kecemasan pada masa kecil meningkatkan risiko gangguan kecemasan di masa depan
serta gangguan-gangguan sejenis (Kovacs & Devlin, 1998). Oleh karena itu,
penting untuk mengetahui bagaimana proses berkembangnya gangguan kecemasan pada
anak sebagai berikut :
Model Psikopatologi
Perkembangan Terintegrasi dikembangkan oleh Vasey dan rekan-rekannya (Vasey
& Dadds, 2001; Vasey & Ollendick, 2001). Terdiri dari empat elemen, yaitu
:
1.
Faktor-faktor Predisposisi
a.
Konteks Biologis, ditemukan adanya pengaruh
genetik dalam proses terbentuknya gangguan kecemasan, khususnya pada kasus OCD
(Chang & Piacentini, 2002). Namun, lingkungan tetap memiliki andil besar di
dalamnya. Selain itu, apa yang diturunkan dari generasi sebelumnya bukanlah
gangguan kecemasan secara spesifik, tetapi lebih kepada predisposisi untuk
mengembangkan gangguan dalam spektrum kecemasan.
Temperamen yang bersifat inhibited (terhambat) juga diasumsikan memainkan peran yang besar
dalam timbulnya gangguan kecemasan. Bayi yang bertemperamen inhibited memiliki karakteristik
aktivitas motor yang tinggi dan iritabilitas (lekas terganggu dan marah),
bereaksi terhadap hal baru dengan membatasi dan menarik diri dan munculnya distres.
Mereka juga umumnya pemalu, penuh ketakutan, serta menghindar dari tantangan.
Faktor neurobiologi, menunjukkan
adanya peran sirkuit HPA (Hypothalamic-pituitary-adrenocortical) di otak yang
diasosiasikan dengan ketakutan. Anak-anak inhibited
memiliki ambang batas arousal yang
rendah di dalam sirkuit HPA (Oosterlaan, 2001). Sedangkan dari segi biologis,
orangtua anak-anak inhibited cenderung
menampilkan social phobia dan
memiliki sejarah gangguan kecemasan di masa kecilnya
b.
Konteks Keluarga, insecure attachment dikatakan meningkatkan kemungkinan
berkembangnya gangguan kecemasan (Thompson, 2001). Pada attachment yang insecure,
biasanya para pengasuh bersifat tidak peka dan tidak responsif sehingga anak
memandang dunia sebagai tidak dipercaya (unreliable)
dan tidak dapat ditebak (unpredictable)
serta melihat dirinya tidak berdaya. Khususnya pada attachment yang bersifat resistant
karena pengasuhan yang tidak konsisten dapat menimbulkan kekhawatiran yang
kronis mengenai apakah kebutuhan sang anak akan dipenuhi.
c. Konteks Individual, bias kognitif seperti bias pemrosesan informasi
biasanya ditampilkan oleh anak-anak dengan gangguan kecemasan (Vasey dan Dadds,
2001). Pertama, attentional bias
(bias perhatian) di mana anak-anak secara selektif peka terhadap peristiwa yang
berpotensi menimbulkan bahaya. Mereka cenderung menginterpretasi situasi ambigu
sebagai situasi yang bersifat mengancam. Kemudian, mereka memiliki keyakinan
kognisi yang tidak realistis seperti persepsi bahwa dunia adalah tempat yang
berbahaya dan memandang diri mereka tidak kompeten untuk mengatasi ancaman
tersebut. Oleh karena itulah pada akhirnya mereka memiliki self-efficacy yang rendah. Kekurangan pada pengaturan emosi (emotion regulation), yakin mereka tidak
dapat mengontrol respon cemas mereka.
2.
Dua Jalur Menuju
Permulaan Gangguan Kecemasan
a. Jalur Risiko Kumulatif, mencakup dampak-dampak yang berbahaya dari berbagai
faktor-faktor predisposisi yang menumpuk dari waktu ke waktu menghasilkan
tingkat kecemasan yang signifikan secara klinis.
b.
Jalur Peristiwa Pemicu,
pengaruh dari peristiwa spesifik yang memicu timbulnya gangguan. Respondent conditioning, pada
peristiwa traumatis, stimulus yang netral dapat diasosiasikan dengan stimulus
menakutkan yang menimbulkan respon cemas dan takut. Operant conditioning, ketika anak belajar bahwa perilaku (misalnya,
mendekati stimulus yang ditakuti) diikuti dengan konsekuensi aversif. Hukuman
ini dapat menambah intensitas kecemasan anak dan meningkatkan upaya menghindari
stimulus tersebut di masa mendatang. Noncontingent
exposure, beberapa gangguan kecemasan dapat muncul sebagai reaksi dari
peristiwa stressful yang tidak terkait (contoh :separation anxiety muncul karena pindah sekolah atau mengalami
sakit dalam kurun waktu lama). Salah satu kemungkinannya adalah stressor-stressor
yang tidak terkait tersebut ‘menghilangkan’ penguasaan terhadap ketakutan yang
sebelumnya sudah dimiliki anak sehingga menimbulkan regresi atau mengganggu
faktor protektif yang dimiliki anak.
3.
Faktor-faktor yang Mempertahankan atau
Meningkatkan Kecemasan
a. Konsekuensi
dari menghindar: ketika anak menghindari situasi yang menakutkan, ia tidak
belajar untuk mengatasinya secara konstruktif. Dengan menghindari, anak juga akan membatasi kesempatannya dalam
membiasakan diri dengan situasi yang dianggap mengancam.
b. Kompetensi sosial, akademi, dan pengaturan emosi yang buruk: kurangnya
pembiasaan diri dan latihan menghadapi situasi sosial yang menakutkan dapat
berakibat tidak berkembangnya kemampuan bersosialisasi, kemampuan mengatur
emosi yang dapat mentoleransi dan menguasai rasa takut mereka.
c. Bias kognitif: Clark (2001) menjabarkan proses bagaimana kognisi berperan
dalam perkembangan kecemasan sosial à pikiran-pikiran negatif anak mengenai hasil yang ditakuti dalam situasi
meningkat dikarenakan asumsi-asumsi yang mereka buat tentang diri mereka dan
orang lain. Asumsi-asumsi tersebut adalah pengharapan yang terlalu tinggi pada
diri sendiri; keyakinan terkondisikan (conditional
beliefs) mengenai konsekuensi yang ditakuti; keyakinan negatif tentang
diri. Ketiga asumsi ini dapat membuat anak berpikir situasi-situasi sosial
bersifat mengancam dan memfokuskan perhatian pada diri mereka secara
berlebihan.
d. Pengalaman-pengalaman negatif: upaya menghindar berakibat pada kurangnya
kompetensi sosial yang pada akhirnya membawa anak kepada pengalaman negatif
yang nyata dan kegagalan di dalam lingkungan sosialnya.
e. Respon orangtua: orangtua yang bersifat overprotective
dan mengontrol dalam menjauhkan anak dari situasi-situasi yang menimbulkan
kecemasan justru akan menghambat anak dalam melatih kompetensinya mengatasi
situasi-situasi yang mengancam. Selain itu, orangtua yang tidak peka terhadap
kecemasan anak dengan memaksa mereka menghadapi situasi sosial yang mengancam
juga dapat semakin meningkatkan kecemasan dalam diri anak.
f. Proses transaksional: anak-anak dapat belajar dengan mengimitasi kecemasan
dari orangtua mereka yang juga mengalami kecemasan. Orangtua yang cemas
mengatasi kecemasan anaknya dengan menghindar karena mereka sendiri tidak dapat
menguasai kecemasan yang mereka alami. Asumsi bahwa orangtua yang cemas akan
lebih empatik dan suportif pada anak mereka yang mengalami kecemasan ternyata
tidak sepenuhnya benar. Justru pemasangan ini dapat meningkatkan kemungkinan
munculnya afek negatif dalam hubungan orangtua-anak.
4.
Faktor-faktor yang
Berperan dalam Desistance
Vasey & Dadds (2001) menciptakan model faktor-faktor amelioratif yang
dapat membawa pada desistensi, di mana kelima faktor yang disebutkan sebelumnya
digantikan dengan lawannya. Avoidance
digantikan dengan approach,
inkompetensi digantikan oleh self-efficacy,
pengalaman kegagalan ditransformasi menjadi kisah sukses, dan penjagaan
berlebihan dari orangtua dapat digantikan dengan dorongan untuk menguasai
kecemasan.
Konteks budaya, perbedaan budaya dalam pengasuhan dan membesarkan anak dapat memberikan
dampak dalam pemunculan gangguan kecemasan pada anak. Contohnya budaya Asia
menekankan inhibition, kepatuhan,
penilaian sosial yang dapat menimbulkan rasa malu, inhibition, dan gangguan somatis pada anak. Namun, apakah
perilaku cemas tersebut dianggap bermasalah
dan bagaimana dapat berkembang ke arah yang patologis, tergantung pada
interpretasi budaya terhadap perilaku tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Kerig, P. K., & Wenar, C. (2006). DEVELOPMENTAL
PSYCHOPATHOLOGY. From Infancy through Adolescence. New York: McGraw-Hill.
Mash, E. J., & Wolfe, D. A. (2010). Abnormal Child
Psychology. Canada: Wadsworth.
WILMSHURST, L. (2009). ABNORMALCHILD PSYCHOLOGY. A
Developmental Perspective. New York: Taylor & Francis Group, LLC.