Hai semua...seru rasanya jika
kita membicarakan mengenai kekerasan pada anak yang semakin marak akhir-akhir
ini, dari pelecehan seksual, pengabaian anak oleh orang tua, kekerasan tubuh
pada anak dan masih banyak lagi. Berdasarkan
Konvensi Hak Anak Persatuan Bangsa-Bangsa (1989; Limber & Wilcox, 1996),
setiap anak di seluruh dunia berhak untuk mendapatkan “standar hidup yang
memadai bagi fisik, mental, spiritual, moral, dan perkembangan sosial anak”.
Dalam literatur psikopatologi perkembangan, kebutuhan mendasar untuk well-being ini merujuk sebagai lingkungan dapat diharapkan rata-rata
(Ciccehetti & Lynch, 1995). Mungkin kegagalan yang paling sangat besar dari
lingkungan interpersonal untuk memperoleh kesempatan pempromosian pertumbuhan
yang muncul ini ketika rumah sang anak merupakan sumber rasa takut daripada
tempat pelipur lara. Sementara yang lain mungkin menganiaya sang anak,
perlakuan kasar yang dilakukan oleh orangtua, orang yang paling dicari oleh
seorang anak untuk rasa nyaman dan perlindungan, telah menjadi pengaruh yang
paling merasuk dan betahan lama pada perkembangan anak.
Penemuan
mengenai penganiayaan anak (juga disebut perlakuan kasar pada anak) juga
merepresentasikan salah satu dari babak yang paling sensasional dalam sejarah
psikologi anak. Keberadaan yang paling nyata dari perlakuan kasar fisik dan
seksual pada anak telah luas disangkal hingga awal pada tahun 1960-an ketika C.
Hennry Kempe dan kawan-kawan membawakan masalah dari “battered child syndrome” pada perhatian negara (Helfer, Kempe,
& Krugman, 1997). Kempe menemukan bahwa sementara banyak dokter dan
profesional kesehatan mental secara jujur percaya bahwa mereka belum pernah
menemukan kasus penganiayaan anak, ini dapat dipastikan bahwa mereka tidak
membawa diri pada pengakuan bahwa hal tersebut perlu mendapatkan tempat.
Seperti yang telah kita pahami dari faktor
yang menentukan penganiayaan anak menjadi semakin rumit dan multi dimensional,
begitu halnya dengan pandangan kita mengenai apa yang merupakan penganiayaan
pada anak. Penganiayaan anak muncul dalam berbagai bentuk, tidak semunya
meninggalkan tanda-tanda yang mencolok mata seperti memar atau patah tulang.
Bersamaan dengan definisi yang lebih luas ini telah berkembang menjadi
pengenalan yang penting dari variabel perkembangan, interpersonal, dan sosial
budaya yang menentukan pengaruh dari perlakuan kasar tertentu yang terjadi pada
anak.
Satu dari
rintangan pertama yang harus kita atasi adalah permasalahan untuk
mendefinisikan penganiayaan. Malangnya, tidak ada yang menerima secara
universal definisi yang ada. Dalam praktek yang sesungguhnya, pada umumnya para
profesional mendasari definisi mereka pada mandat hukum yang mengatur pelaporan
perlakuan kasar pada anak dalam wilayah hukum mereka. Bagaimana pun juga, sejak
hukum lokal berubah-ubah secara signifikan dari tempat ke tempat, hukum seperti
itu tidak memperoleh definisi yang memuaskan. Lebih lanjut lagi, sementara
beberapa bentuk dari penganiayaan mungkin saja jelas, dengan efek yang langsung
terdeteksi (contohnya: pukulan fisik yang menyebabkan merah, bilur kemarahan),
bentuk lain lebih tak kentara, dengan efek hanya muncul setelah beberapa waktu
(contohnya: pengabaian terus menerus dari orangtua yang menyebabkan
berkurangnya harga diri). Terlebih lagi, perbedaan budaya dalam membesarkan
anak dan norma memungkinkan seorang orangtua “cinta kuat” menjadi “perlakuan
buruk” yang lain.
Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1999 mengeluarkan naskah mengenai definisi
perlakuan kasar atau penganiayaan anak merupakan semua bentuk dari tindakan
sewenang-wenang secara fisik dan/atau emosional, perlakuan kasar secara
seksual, diabaikan atau lalai dalam perawatan atau diperdagangkan atau
eksploitasi lainnya, yang menyebabkan bahaya yang sesungguhnya atau berpotensi
membahayakan pada kesehatan, kelangsungan hidup, perkembangan atau martabat
anak dalam konteks pada hubungan dari tanggungjawab, kepercayaan, atau
kekuatan.
Berikut ini akan
dipaparkan mengenai Kekerasan Fisik yang sering terjadi pada anak:
1. Physical
Abuse
Definisi dan Karakteristik Definisi
Perlakuan kasar secara fisik melibatkan tindakan yang
menghasilkan kerusakan fisik yang nyata maupun yang berpotensi demikian pada
anak dan hal tersebut dilakukan oleh pengasuh yang layak diduga sebagai
pengendali dari tindakan tersebut (Organisasi Kesehatan Dunia [WHO], 1999).
Perlakuan kasar secara fisik dapat tersebar luas dalam terminologi dari
kerasnya dan potensi yang menyebabkan kekalnya kerusakan fisik. Luka-luka dapat
saja relatif kecil, seperti memar atau tersayat, atau lebih besar, seperti
kerusakan otak, luka dalam, terbakar, dan luka terkoyak. Bentuk yang jarang
dari perlakuan kasar secara fisik adalah Munchausen
by proxy syndrome, dimana orangtua mengarang atau bahkan membuat sakit
fisik pada anak, yang menyebabkan kerusakan psikologi atau fisik karena
memperlakukan anak untuk prosedur medis yang berulang-ulang dan tidak perlu.
Prevalensi
Prevalensi rata-rata bermacam-macam tersebar dari
suatu penelitian ke penelitian oleh karena definisi yang berbeda dan pengukuran
yang dilakukan. Sebuah survei melalui telepon pada sampel representatif
nasional dari 2.030 anak Amerika Serikat usia 2 hingga 17 tahun menemukan bahwa
selama tahun yang sebelumnya, sekitar 3 persen dari anak telah diperlakukan
kasar oleh pengasuh (Finkelhor et al., 2005). Perlakuan kasar secara fisik
terhitung sebanyak 23 persen dari semua kasus yang telah terbukti sebagai
bentuk penganiayaan (DHHS, 2001). Bagaimana pun juga, dipercaya bahwa
kemungkinan rata-rata yang sesungguhnya jauh lebih besar. Sementara itu lebih
dari 1.200 perlakuan kasar yang menyebabkan kematian terjadi di Amerika Serikat
setiap tahun, sesuatu yang terlalu banyak ini dipercaya sebagai perkiraan yang
terlalu rendah oleh karena banyak anak yang meninggal salah dihubungkan kepada
“kecelakaan” atau “sindrom kematian mendadak anak”.
Karakteristik Anak
Timbulnya
perlakuan kasar secara fisik bervariasi oleh umur. Kebanyakan dari perlakuan
kasar pada anak adalah sangat muda: 51 persen adalah usia 7 tahun atau lebih
muda, sementara 26 persen adalah 3 tahun atau lebih muda. Remaja terhitung
sebanyak 20 persen dari sampel, yang merupakan ketiga terbesar dari kelompok.
Luka serius merupakan yang paling biasa terjadi di antara anak yang lebih tua,
namun kematian anak yang paling sering terjadi muncul pada mereka yang berusia
di bawah 2 tahun. Sebagai tambahan, usia berpengaruh pada gender. Anak
laki-laki usia 4 hingga 8 tahun adalah yang paling sering diperlakukan kasar
secara fisik, sementara anak perempuan lebih sering mendapatkan perlakuan kasar
secara fisik pada usia antara 12 hingga 15 tahun (DHHS, 2001). Dengan
memperhatikan etnisitas, yang memunculkan hal demikian, di antara anak yang
mengalami penganiayaan, anak Eropa Amerika adalah yang lebih sering menjadi
korban perlakuan kasar secara fisik daripada anak Afrika Amerika (Office of
Juvenile Justice, 2000).
Anak yang
mengalami hambatan atau yang berkebutuhan khusus adalah yang paling terbesar
mengalami perlakuan kasar, termasuk mereka yang prematur atau mengalami
retardasi secara mental. Sebagai contoh, Sulivan dan Knutson (1998) menemukan
bahwa anak yang mengalami kelumpuhan mengalami hampir dua kali mendapatkan
penganiayaan fisik daripada mereka yang tidak dianiaya. Anak dengan behavior disorders, seperti oppositional-defiant disorder, juga
berada pada resiko mengalami perlakuan kasar secara fisik (Ford, Racusin,
Ellis, Davis, Reiser, Fleischer, et al., 1999). Anak yang menantang secara
perilaku atau secara perkembangan dapat melemahkan sumber penghasilan dari
orangtua, untuk orangtua yang miskin, membesarkan anak yang demikian adalah
sulit, yang selanjutnya akan membuat stress orangtua, yang kemudian akan
membawanya kepada kekerasan.
Konteks Biologis
Penelitian
terkini dalam neuropsikologi menunjukan bahwa perlakuan kasar pada anak telah
signifikan dan berakibat merugikan dalam perkembangan otak. Magnetic Resonance Imaging (MRI) telah
menyikap konsekuensi negatif dari penganiayaan yang berhubungan dengan trauma,
termasuk volume otak yang lebih kecil, corpus collosum dan temporal lobe kanan
yang lebih kecil, dan sedikitnya material putih pada prefrontal cortex (Beers
& De Bellis, 2002). Penyusutan ini kemungkinan besar mempengaruhi pelaksana
dan komunikasi yang efesien antara bagian dari otak, bertentangan dengan
kapasitas perkembangan penting tersebut sebagai regulasi emosi, kendali dorongan,
dan memberi alasan. Lebih lanjut, perbedaan struktural ini berhubungan dengan
usia permulaan dari perlakuan kasar. Trauma berasosiasi dengan konsekuensi yang
paling negatif ketika hal ini muncul awal pada perkembangan.
Pengusulan
penjelasan untuk pengaruh ini perpanjangan dari stress traumatik adalah
pemproduksian dari catecholamines-neurotransmitters,
termasuk norepinephrine, epinephrine, dan dopamine; dan mengaktivasi axis limbic-hypothalamic-pituitary-adrenal
(LHPA) dari otak. Peristiwa ini membawa pada hipersekresi dari kortisol dari
gland adrenal dan menstimulasi sistem syaraf simpatik, menyebabkan aktivasi
perilaku dan getaran hebat. Ketika aktivasi ini berlanjut tidak berkurang untuk
periode waktu yang panjang, kelebihan kortisol pada dasarnya telah memiliki
efek racun pada perkembangan otak (De Bellis, 2001). Pada catatan lanjutan,
bukti juga telah menyatakan bahwa anak yang telah diselamatkan dari lingkungan
yang memperlakukan secara kasar juga dapat menunjukan pemulihan dan normalisasi
dari proses kogniti mereka.
Penelitian
neuropsikologi biasanya telah mengelompokan bersama anak yang telah mengalami
bermacam-macam bentuk dari penganiayaan. Oleh sebab itu, penemuan ini tidaklah
spesifik untuk perlakuan kasar secara fisik dan akan relevan dengan diskusi
kita pada bentuk lain dari perilaku kasar yang mengikuti.
Perkembangan Kognitif
Anak kecil
yang dianiaya menunjukan keterlambatan dalam perkembangan kognitif dan bahasa,
terutama bahasa pengekspresian. Ketika mereka memasuki masa kanak-kanak
menengah, anak yang mengalami perlakuan kasar secara fisik berlanjut menunjukan
keterlambatan kognitif pada semua area, skor IQ 20 poin lebih rendah daripada
anak yang tidak mengalami perlakuan kasar pada tes IQ yang terstandarisasi.
Sama halnya dengan tes prestasi sekolah menunjukan bahwa anak yang mengalami
perlakuan kasar menunjukan 2 tahun di bawah tingkat kelas dalam kemampuan
verbal dan matematika, dengan sepertiga dari mereka membutuhkan pendidikan
khusus. Mereka juga lebih mewakili diantara mereka yang dengan gangguan
belajar. Pada remaja, rendahnya prestasi dan tahan kelas yang lebih dapat
terlihat.
Perkembangan Emosional
Konteks
intrapersonal dan interpersonal bersilangan pada tugas tingkatan penting utama
pada masa pertumbuhan – formasi dari hubungan keamanan kasih sayang – yang mana
penting untuk menyediakan anak dengan perasaan aman, saling membutuhkan, dan
harga diri. Secara signifikan, dari 70 hingga 100 persen anak yang dianiaya
menampilkan ketidakamanan kasih sayang dengan pengasuh mereka. Anak yang
dianiaya secara fisik pada umumnya menunjukan pola penghindaran kasih sayang,
yang mana mereka menahan diri untuk mencari perhatian atau berhubungan ketika
mereka sedang stress (Crittenden, 1992). Perilaku dapat beradaptasi dengan mengurangi
kemarahan yang berhubungan dengan ibu dengan cara memelihara permintaan akan
perhatian yang minimal dan nada rendah. Bagaimana pun juga, karena penghindaran
akan kebutuhan anak pada keamanan dan rasa nyaman tidak dapat bertemu, maka
perkembangan masa depan mereka secara negatif terpengaruh.
Permasalahan yang secara eksternal, seperti agresi, ketidakmengalahan,
dan conduct disorder, sering kali
terlihat pada anak laki-laki yang mengalami perlakuan kasar. Masalah secara
internal seperti depresi dan rendahnya harga diri juga muncul selama usia
sekolah, khususnya, namun tidak secara eksklusif pada anak perempuan. Toth,
Manly, dan Cicchetti (1992) menemukan bahwa 22 persen dari sampel pada anak
yang mengalami penganiayaan secara fisik terbukti secara klinis tingkat dari
depresi, sebaliknya pada 3 persen dari mereka yang pernah mengalami pengabaian
dan 6 persen pada kelompok yang tidak mengalami penganiayaan. Bentuk dari
depresi kognitif biasanya terutama berkembang jika penganiayaan dimulai sebelum
usia 11 tahun, ketika anak kecil bergantung pada orangtua mereka untuk
memperoleh mereka dengan perasaan pada kepercayaan interpersonal dan afikasi
personal.
Terdapat
juga bukti perlakuan kasar secara fisik turut campur dengan perkembangan normal
dari self dalam tahun-tahun awal.
Satu dari tes pada perkembangan awal dari self
sebagai sesuatu yang sungguh bebas adalah remaja dengan kemampuan untuk
mengenali bayangan mereka di cermin. Pengenalan diri secara visual tersebut
tertunda pada remaja yang mengalami penganiayaan. Lebih lanjut lagi, mereka
bereaksi dengan afek netral atau negatif ketika mereka memeriksa wajah mereka
dalam cermin, daripada dengan afek positif yang ditunjukan oleh anak yang tidak
mengalami perlakuan kasar. Sementara berkurangnya dalam harga diri sering kali
membentuk penilaian yang rendah pada anak yang mengalami penganiayaan terhadap
kapasitas mereka, beberapa anak yang mengalami penganiayaan juga menampilkan
pemompaan harga diri yang tidak nyata. Pernyataan empati yang tegas bahwa “Saya
adalah yang terbaik dalam segala hal!” dapat tersajikan sebagai pertahanan
primitif terhadap perasaan mendalam pada ketidakberdayaan dan ketidakmampuan
(Vondra, Barnett, & Cicchetti, 1989). Bagaimana pun juga, karena ini tidak
dilandasi dengan kompetensi yang nyata, pertahanan dari penilaian yang
berlebihan dari self yang rapuh dan
mudah pecah. Demikian, penilaian berlebihan dari self menyajikan bukan sebagai mekanisme perlindungan tetapi lebih
sebagai sumber baru dari kerapuhan (Cicchetti & Howes, 1991).
Perkembangan dari self dalam
tahun-tahun awal juga tidak memungkinkan untuk lepas dari ikatan pada kemampuan
untuk mengenal dan membicarakan mengenai emosi secara sendiri maupun dengan hal
lainnya. Beeghly dan Cicchetti (1994) menemukan bahwa penganiayaan pada remaja
menyebabkan buruknya dalam tingkat perbendaharaan kata – hal ini menyebabkan,
mereka memiliki kata-kata yang sedikit untuk menggambarkan tingkat emosional,
terutama mengenai emosi negatif. Konsekuensi jangka panjang adalah ketiadaannya
akses kepada emosi dan kemampuan untuk meregulasi mereka. Demikian, dalam
tahun-tahun sekolah anak yang mengalami perlakuan kasar secara fisik berlanjut
menjadi kurang di dalam kemampuan untuk mendeteksi dan merespon kepada emosi
yang lain. Sebagai tambahan, mereka menampilkan regulasi emosi yang buruk,
menghasilkan baik itu kontrol yang berlebih atau kontrol yang kurang dari
emosi. Sebagai contoh, dalam sampel 325 anak China dan keluarga mereka, Chang
dan kawan-kawan (2003) menemukan bahwa hubungan antara kerasnya pola asuh dan
pandangan tajam agresi anak telah dimediasi ketidakberaturan emosi. Kemarahan
yang berhubungan dengan orangtua, oleh peneliti diargumentasikan, bahwa bentuk
dari kecenderungan komunikasi yang keduanya mensosialisasikan anak ke dalam pola
negatif dari pertukaran emosi dan mengganggu kemampuan mereka untuk mengatur
perasaan bersedih. Ekspresi dari kemarahan, perasaan dingin, atau kebencian
yang menemani tindakan fisik dari agresi orangtua dapat lebih merusak daripada
tindakan itu sendiri.
Jauh dari
berkurangnya masalah emosi dan perilaku dari anak yang mengalami perlakuan
kasar meningkat pada remaja. Perlakuan kasar pada masa kanak-kanak merupakan
prediktor yang signifikan dari depresi, rendahnya harga diri, conduct disorder, dan perilaku
antisosial.
Perkembangan Sosial
Anak kecil
yang mengalami penganiayaan memandang tajam pada kebiasaan yang menyerupai
perilaku orangtua mereka. Sebagai contoh, ketika terarahkan pada pandangan
tajam dalam distress, anak kecil yang
mengalami perlakuan kasar memberikan respon yang lebih sedikit dengan simpati
atau keprihatinan daripada anak kecil lain dan lebih suka berreaksi dengan
ketakutan, dan agresi fisik. Sama halnya, Egeland (1991) pada penelitian
longitudinalnya menunjukan bahwa anak yang mengalami perlakuan kasar secara
fisik merupakan yang lebih agresif di dalam prasekolah ketika dibandingkan
dengan anak yang mengalami pengabaian, perlakuan kasar secara pikologi, dan
juga pada anak yang tidak mengalami perlakuan kasar.
Hubungan
teman sebaya menjadi meningkat penting dalam tahun-tahun usia sekolah; oleh
sebab itu, ini adalah signifikan bahwa satu dari konsekuensi yang paling
konsisten dari perlakuan kasar secara fisik adalah permusuhan dan agresi
tehadap yang lain. Anak yang mengalami penganiayaan adalah reaktif terhadap
provokasi paling tipis dan paling berkemungkinan besar daripada anak lain untuk
dendam terhadap merasa pandangan merendahkan dengan agresi. Seperti anak dengan
conduct disorder, mereka memiliki
kemampuan pemecahan masalah interpersonal yang buruk dan menampilkan bias
atribusi permusuhan. Anak yang mengalami perlakuan kasar menganggap bahwa yang
lain mempunyai perhatian negatif pada mereka dan sehingga sudah selayaknya sama
dalam macam ini. Permasalahan perilaku pada anak yang mengalami perlakuan kasar
memberikan sumbangan pada perkembangan dari reputasi negatif dalam kelompok
teman sebaya. Mereka kemungkinan besar mengalami penolakan teman sebaya.
Sebagai contoh, mereka lebih sedikit untuk sering dipilih sebagai pilihan teman
sepermainan dan menerima lebih sedikit dukungan sosial dari teman sekelas
(Salzinger et al., 1993). Dam, seperti yang telah kita saksikan bahwa penolakan
teman sebaya dapat menjadi alasan lebih jauh dari agresi.
Remaja
merupakan waktu ketika orang muda memulai perkembangan yang signifikan pada
hubungan yang romantis, dan keluarga mereka sering memberikan kepada mereka
gambaran cetak biru dari keintiman. Wolfe dan kawan-kawan (1998) menyelidiki
efek dari masa kecil yang mengalami perlakuan kasar pada hubungan perkencanan
remaja. Mereka menemukan bahwa pemuda yang mengalami perlakuan kasar oleh
orangtua mereka lebih berkemungkinan besar menjadi berlaku kasar terhadap
pasangan kencannya. Keintiman perilaku orangtua mereka tetap terjadi meskipun
faktanya bahwa mereka yang mengalami perlakuan kasar secara fisik berpegang
pada sikap negatif dari orangtua mereka dan menyalahkan mereka untuk perlakuan
buruk tersebut. Menjadi korban pada masa kecil akan menunjukan kekerasan dalam
hubungan yang intim berikutnya dan demikian juga untuk penularan dari perlakuan
kasar tersebut.
Kesimpulan
Menuang
kembali penemuan mengenai perlakuan kasar secara fisik dalam hubungan dengan
variabel kepribadian yang telah kita gunakan dalam penulisan ini, kita
menemukan bahwa kasih sayang, perkembangan emosi, kognitif, dan hubungan
interpersonal semuanya telah dengan kurang baik terpengaruh. Penghindaran
terhadap kasih sayang membentuk suatu tingkatan dengan menyangkal anak untuk
memperoleh kebutuhan akan pemenuhan rasa aman dan untuk mengembangkan model
kerja positif dari self dan yang
lain. Perlakuan kasar secara fisik merupakan faktor utama untuk perkembangan
dari regulasi emosi yang buruk, yang
mana menampakan sendiri dalam berbagai bentuk tersebut sebagai agresi dengan teman
sebaya dan anggota keluarga dan menginternalisasi permasalahan seperti
penarikan diri dan depresi. Secara kognitif, anak yang mengalami perlakuan
kasar membuktikan gaya kognitif negatif dan bias sifat bermusuhan. Dalam
hubungan dari perkembangan interpersonal, anak yang mengalami perlakuan kasar
memiliki kemampuan sosial yang buruk, sedikitnya teman, dan ketiadaan
sensitivitas emosional terhadap orang lain.
Etiology: The Physically
Abusive Parent
Orangtua
yang melakukan 77 persen penganiayaan terhadap anak, sementara anggota keluarga
terhitung untuk 12 persen lainnya (Wolfe & McEachran, 1997). Karena ibu merupakan penyedia utama perhatian kepada anak, ibu adalah
yang paling sering melakukan perlakuan kasar; bagaimana pun juga, ayah dan
pengasuh laki-laki yang bertanggungjawab untuk sebagian besar kematian dari
anak (National Center on Child Abuse and Neglect, 2001). Kematian anak
disebabkan oleh bentuk ekstrim dari penganiayaan, seperti memukul anak pada
kepala atau mengguncang dengan kasar, mencekek, atau menyiramkan air kepada
mereka.
Konteks individu
Individu
atau orang tua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anaknya
biasa memiliki tingkat kecemasan,
kemarahan, dan pertahanan yang tinggi.
Sedangkan orang tua yang tidak melakukan
kekerasan lebih dapat mengendalikan stres. Emosi dari orang tua menjadi faktor
penting dalam kontribusi melakukan
kekerasan terhadap anak sedangkan stres dan dukungan social adalah faktor
kedua. Dukewich, Bokowskim Whitman mengatakan kurangnya persiapan untuk menjadi
orangtua adalah faktor utama. Kurangnya persiapan tersebut diantaranya adalah kurang pengetahuan akan perkembangan
anak, pemusatan berlebihan terhadap anak, harapan terhadap anak yang berlebihan.
Kekerasan terhadap fisik juga dipercaya memiliki kontrol impuls yang rendah dan toleransi frustasi yang rendah. Orang tua
yang melakukan kekerasan mungkin dikarenakan proses kognitif yang terganggu.
Mereka memiliki kesalahan pandangan terhadap anaknya yaitu kesalahan dalam melihat atau menilai tingkah laku anak, sifat negatif anak yang melekat terus di kepala orang tua,
diskriminasi terhadap anak tersebut. Orang tua yang depresi juga merupakan
faktor mengapa orang tua melakukan kekerasan terhadap anaknya
Konteks budaya
Orang
tua yang melakukan kekerasan rata-rata
terjadi pada negara yang memiliki norma atau aturan tertentudan tingkat sosio
ekonomi yang lemah. Kemiskinan,
kekacauan dalam keluarga, lingkungan yang bising, keluarga yang bercerai, terlalu sering berpindah tempat, kekerasan dalam
pernikahan meningkatkan faktor kekerasan terhadap anak.
Integrasi Model
TAHAPAN
|
FAKTOR DESTABILISASI
|
FAKTOR KOMPENSASI
|
Kurangnya toleransi terhadap stres dan rasa malu serta agresi
|
-
Tidak
ada persiapan dalam mendidik
-
Kontrol
yang lemah dan coping stres yang kurang
-
Stres
kehidupan
|
-
Dukungan social
-
Stabilitas
ekonomi, sukses dalam kerja dan sekolah
-
Memiliki
model dalam mengembangkan coping stres
yang baik
|
Krisis manajemen dan
provokasi
|
-
Emosi
yang mudah meledak
-
Penilaian
akan bahaya, ancaman, dan kehilangan
|
-
Memperbaiki
perilaku anak
-
Bantuan
terhadap stres
-
Respon
coping yang baik
|
Terbiasa dengan hal –hal yang penuh agresi
|
-
Jangka pendek : orang tua melakukan kekerasan bila anak tidak
patuh
-
Jangka
panjang : Anak terbiasa dengan hukuman
|
-
Memberikan
insight kepada anak
-
Intervensi
terhadap anak.
|
2. Neglect
Pola asuh Neglect
adalah kegagalan untuk memberikan kesehatan fisik dan mental untuk anak,
pendidikan, nutrisi, perlindungan, keamanan yang seharusnya di
dapatkan oleh anak.
Perkembangan kognitif
Perkembangan kognitif dan bahasa lebih sering terjadi pada anak yang diabaikan karena tidak
ada stimulus dari lingkungan dan tidakadarespon pada awal kehidupan. Anak neglected menunjukkan lemahnya dasar pada
masa sekolah dan terlihat kemampuannya dua tahun di bawah umur
yang sesungguhnya.
Perkembangan emosi
Anak biasanya kurang
dapat mengekspresikan perasaan
karena kurangnya afeksi , insecure attachment juga merupakan konsekuensi dari anak neglected. Bayi yang diabaikan oleh ibunya
akan merasa tidak aman. Bayi yang diabaikan akan meningkatkan kemarahan, agresi, dan
perlawanan saat dirinya beranjak usia kanak-kanak. Anak yang diabaikan akan mengalami kecemasan,
kesedihan, masalah social.
Perkembangan social
Dalam perkembangan social dengan teman-teman sebaya,
anak-anak neglected akan
menghindar, bermasalah, tidak tegas,
tidak ada minat kompetensi, intepretasi
yang kurang baik, tidak punya ketekunan,
antusias, afek negatif, bergantung .
Orangtua yang menggunakan pola asuh neglected
Konteks individu
Orang tua
biasanya memiliki karakteristik kurangnya dukungan social, pencandu
obat, stres yang tinggi, impulsif,
kesepia, tidak terpenuhi kebutuhannya, melihat hubungan dengan orang
lain dengan pandangan yang negative,
tidak melihat pentingnya pola asuh, tidak punya motivasi untuk mengubah, low self efficacy, self occupation,
depresi, harapan tidak sesuai dengan
anaknya, mengalami kekerasan fisik, dan hal ini biasa dilakukan secara
bertahun-tahun atau dalam jangka waktu yang lama.
Konteks budaya
Kemiskinan memiliki keterkaitan yang tinggi dalam
kasus neglected.
3. Psychological
abuse
Yang dimaksudkan adalah mengucapkan kata-kata yang membuat anak merasa tidak bnerharga,
tidak dicintai, merasa terancam. Dalam bentuk perilaku contohnya adalah menolak anak, bermusuhan dengan anak,
merendahkan anak, meneror anak, mengasingkan anak, tidak dibiarkan bersosialisasi, eksploitasi anak, tidak ada respon emosional untuk anak.
Perkembangan kognitif
Menurut Erickson anak akan mengalami hambatan jika
pada usia 9-24 bulan tidak
memiliki ibu yang siaga. Pada waktu anak bersekolah biasanya anak akan mendapatkan
nilai rendah.
Perkembangan emosi
Emosi anak yang
mengalami kekerasan psikologi adalah tidak mau mengalah, rendahnya kontrol diri, tidak ada ketekunan, tidak ada antusias dalam
mengerjakan tugas, suka menyiksa diri sendiri, depresi ketika remaja, rendahnya kepercayaan diri, tidak ada harapan, eksternal locus of control, pesimis dalam
kehidupan, agresif pada usia sekolah.
Ketika anak beranjak remaja maka anak
akan mengalami conduct disorder,
agresi, tidak berdaya, tidak memiliki kepercayaan diri, eating disorder.
4. Sexual
abuse
Sexual abuse adalah keterlibatan anak dalam aktivitas
seksual dimana anak tidak mengerti, tidak dalam masa perkembangan untuk mengerti aktivitas seksual, dipengaruhi
komunitas. Pelakunya biasa orang dewasa atau orang yang lebih tua. Tindakan
seksual tidak harus berhubungan fisik tetapi bisa juga dalam
bentukpornografi. Dampaknya akan berlangsung
terus menerus. Di Amerika, 27 % anak perempuan dan 16% anak
laki-laki mengalami pelecehan seksual
seperti sexual intercourse, menyentuh
dan mencium tubuh anak, mengambil gambar mereka ketika tidak berpakaian, oral
seks, sodomi. Biasa yang menjadi korban adalah perempuan.
Perkembangan kognitif
Anak-anak ini akan mengalami kurang minat untuk
berkompetensi dalam akademis, tidak ada orientasi,
menarik diri dari lingkungan sekolaj, mudah
teralih. Kognitif mereka akan mengingat kejadian-kejadian dalam pikiran
dan mengintegrasi hal tersebut dalam
perkembangan mereka untuk mengenal orang lain.
Pelaku biasanya akan merasionalisasi dengan mengatakan hal tersebut normal, dilakukan atas dasar cinta, dan untuk memuaskan anak tersebut.
Dampaknya kepada anak adalah menyalahkan
diri sendiri, eksternal locus of control, tidak memiliki
kekuatan.
Perkembangan emosi
Anak-anak akan memiliki masalah internal yaitu
ketakutan, kecemasan, depresi, rendahnya kepercayaan diri, pemalu. Pada masa dewasa anak akan memunculkan ide
untuk bunuh diri, eating disorder, kecanduan obat, melarikan diri,
memiliki reaksi stres seperti sakit
kepala, perut, sensitif terhadap
sentuhan, tidak bisa menahan buang
air kecil,sering muntah.
Perkembangan social
Berlebihan
dalam melakukan masturbasi,
compulsive dalam aktivitas seksual, menjadikan orang lain sebagai
korban, kebutuhan berlebihan untuk melakukan hubungan seksual, kekrasan
seksual, merasa diri tidak berarti,
memalukan, rendah harga diri
Long term
course
Kebanyakan anak yang mengalami sexual abuse tidak memiliki
gejala yang langsung terlihat sampai pada jangka waktu yang panjang.
Anak yang tidak menunjukkan gejala yang
terlihat biasanya mengalami trauma yang
mendalam. Faktor-faktor yang
mempengaruhi terlihatnya gejala
didasarkan kepada frekuensi dan durasi kontak seksual, tekanan yang dihadapi, seberapa dekat dengan
pelaku, penetrasi di oral, anal, atau
vagina.
Dalam sexual abuse ada yang disebut sleeper effect yaitu dampak dari suatu
peristiwa yang terlihat beberapa lama setelah terjadinya peristiwa tersebut.
Integrasi model
1.
Traumatic sexualization:
perkembangan seksual anak menjadi tidak
wajar dan mengalami disfungsi.
Anak akan mempelajari bahwa seks
adalah cara untuk memanipulasi atau mendapatkan perhatian orang lain dengan
memenuhi kebutuhan yang tidak pantas. Dampak psikologis terhadap anak
adalah meningkatkan keinginan hasrat
seksual, kebimbangan akan seks, asosiasi negative antara seks dan intimacy. Konsekuensi terhada
perilaku anak adalah tingkah laku agresi dan prostitusi.
2.
Betrayal. Anak akan merasa
dikhianati oleh anggota keluarga yang
dirasa tidak dapat menjaga atau
mempercayai mereka. Hal ini akan menimbulkan
reaksi afeksi yang rendah seperti depresi, kemarahan. Betrayal mengembangakan
sikap tidak percaya anak kepada orang lain dan mempengaruhi kehidupan
pribadi saat dewasa.
3.
Powerlessness. Terjadi ketika anak menjadi frustasi dan
ketika diabaikan oleh orang dewasa ketika mereka mau menyampaikan hal tersebut. Terdapat dua efek
yang berbeda yaitu anak akan merasa
cemas dan tidak berdaya atau anak akan mengidentifikasi perilaku agresif, kebutuhan berlebihan untuk dominan dan mengontrol,.
Terhadap perilaku anak: mimpi buruk, phobia, eating disorder, pergi dari
rumah, menjadi anti social, perilaku
kekerasan pada orang lain.
4.
Stigmatization. Anak mengetahui bahwa
aktivitas seksual adalah hal yang tabu dan tidak pantas dilakukan. Sehingga
anak akan merasa dirinya berbeda dari orang lainnya
dan merasa akan ditolak bila kebenaran
terungkap. Sehingga anak akan malu pada diri sendiri, merasa bersalah, dan
memiliki self image yang rendah.
Faktor
Protektif
Faktor protektif yang paling konsisten
teridentifikasi untuk anak-anak yang mengalami pelecehan seksual adalah hubungan
suportif dengan ibu yang baik. Bertentangan dengan pengalaman seorang anak yang
menjadi kambing hitam dalam keluarga, dukungan dari ibu merupakan mediator yang
paling penting terhadap efek penyesuaian anak pada pelecehan seksual seiring
dengan waktu.
Kotroversi dalam
penelitian pelecehan seksual
Tuduhan
yang salah
Dalam beberapa dekade yang lalu,
pengadilan telah mulai mengijinkan anak untuk memberikan testimoni yang belum
dipastikan tentang pelecehan seksual, dan seringkali bukti yang tersedia hanya
laporan anak tersebut. Dengan adanya peningkatan ketersediaan anak untuk
bersaksi, bagaimanapun juga meningkatkan perhatian atas reliabilitas dan
validitasnya. Yang paling menjadi sorotan atas tuduhan yang salah adalah
laporan pelecehan seksual yang direkayasa.
Secara umum, diperkirakan prevalensi dari
laporan palsu bervariasi dari 5-30%. Hal ini menjadi lebih umum pada
situasi-situasi seperti pada konflik perceraian dimana orang tua mungkin saja
melatih seorang anak untuk membuat pernyataan palsu untuk mendapatkan hak asuh
dari orang tua lainnya. Dalam kasus yang lain, laporan palsu dapat berangkat
dari pertanyaan-pertanyaan yang sengaja diarahkan termasuk pertanyaan yang
datang dari investigator pelecehan seksual pada anak. Anak yang berusia 3-5 tahun
lebih rentan terhadap arahan ini daripada anak yang lebih tua. Arahan cenderung
diterima oleh anak ketika ia merasa terintimidasi oleh pewawancara tersebut,
terutama ketika wawancara menyatakannya dengan tegas dan mengulanginya
berkali-kali dan ketika lebih dari satu pewawancara melakukan pengarahan yang
sama.
Dapat disimpulkan peneliti menunjukkan
posisi dokter dalam dilema. Di saat pertanyaan-pertanyaan spesifik dapat
meningkatkan terbuktinya suatu kesalahan, wawancara yang dibatasi pada pertanyaan-pertanyaan
yang open-ended dapat mengakibatkan
pelecehan seksual jadi tidak terdeteksi.
Penyebab:
pelaku pelecehan seksual
Secara garis besar, pelaku pelecehan
seksual adalah pria (82% dari kasus yang berkaitan). Pelecehan seksual pada
anak dapat merupakan salah satu bentuk keadaan yang lebih umum dari terangsang
secar seksual oleh pedofilia. Pelaku pelecehan seksual dapat juga tetap
memiliki hubungan dengan wanita dewasa. Lebih dari 40% dari pelaku adalah
remaja.
Konteks
individual
Sampai sekarang, tidak adanya profil
psikiatris yang dapat mengemukakan acuan karakter pelaku pelecehan seksual.
Caffin, Letourneau, dan Silovsky (2002) menyatakan bahwa beberapa pelaku
pelecehan dapat dideskripsikan sebagai orang yang pemalu dan tidak asertif, sedangkan
lainnya mempesona, pandai berbicara, mudah bergaul. Pria yang melakukan
pelecehan seksual terhadap anak beberapa kali terbukti memiliki masalah
penyalahgunaan obat dan alkohol sebelum peristiwa tersebut terjadi, tapi tidak
selalu konsisten.
Remaja pelaku pelecehan seksual memiliki
kesamaan dengan anak sebayanya yang tidak melakukan pelecehan seksual, dimana
mereka memiliki kemampuan sosial dan pengendalian impuls yang rendah. Masalah
dalam kemampuan belajar dan bahasa mungkin menyebabkan terisolasinya mereka
secara sosial. Depresi juga sering dihubungkan dengan sejarah mereka dilecehkan
secara seksual atau fisik (kekerasan dalam keluarga dan korban pelecehan
seksual pada usia dini menyebabkan agresi seksual mereka).
Konteks
keluarga
Karakteristik dari keluarga yang anaknya
mengalami pelecehan seksual antara lain adanya hubungan ibu dan anak yang agak
jauh, keberadaan orang tua tiri, dan fungsi utama keluarga yang tidak berjalan.
Karakteristik lainnya meliputi keluarga dengan koalisi orang tua yang lemah,
keluarga yang tidak menunjang kemandirian, sistem nilai yang kaku, orang tua
yang tidak bisa menunjukkan dukungan emosional dan ketidakmampuan dalam
menghargai kebutuhan anak yang terpisah dari kebutuhan mereka.
Model
integratif
Finkelhor (1984) mengidentifikasi 4 hal
yang dapat memprediksi potensi orang dewasa melakukan pelecehan seksual
terhadap anak, dengan mengintegrasikan konteks-konteks interpersonal dan
sosiokultural, seperti:
1.
Motivasi
untuk melakukan pelecehan seksual. Kebutuhan akan kekuasaan dan pengendalian
terhadap orang lain, begitu pula kebutuhan untuk mengulang pengalaman pelecehan
dan trauma. Dari sisi sosiokultural, ketersediaannya penggambaran erotis atas
anak-anak pada periklanan dan pornografi dapat mengembangkan impuls ini.
2.
Tidak
adanya hambatan konstrain internal. Karakteristik pelaku yang dapat mengatasi
konstrain internal meliputi mental retardasi, impulsivitas, kurangnya rasa
empati, penggunaan alkohol, dan sistem nilai keluarga yang memungkinkan incest
atau menggunakan anak untuk tujuan seksual.
3.
Tidak
adanya hambatan konstrain eksternal. Faktor utama di sini adalah kemudahan
pelaku untuk mengakses anak.
4.
Mengatasi
perlawanan anak. Seringkali pelecehan terjadi setelah periode pendekatan yang
cukup lama dan indoktrinasi yang bertahap. Kekuasaan pelaku terhadap korban
meningkat ketika ia berada dalam posisi yang sudah diberikan kepercayaan dan
tanggung jawab. Contohnya, sebagai pelatih, pengasuh anak, atau orang tua tiri,
dimana anak sudah terbiasa untuk berinteraksi dan menurut.
5. Pemeparan terhadap kekerasan
domestik dalam rumah tangga
Menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga
ketika hal ini dilakukan terhadap figur ibu (yang dapat menimbulkan pengalaman
traumatis), investigator juga melihat ini sebagai efek yang membahayakan bagi
perkembangan anak.
Definisi
dan karakteristik
Seperti kekerasan pada anak yang memiliki
berbagai bentuk, kekerasan domestik dapat melibatkan agresi fisik, ancaman
verbal, pelecehan seksual, dan kekerasan psikologis, keseluruhan dapat
disaksikan oleh anak di dalam rumah. Tanpa menjadi saksi visual pun (mendengar
tangisan, atau bahkan pada anak yang tuli, merasakan hempasan tubuh seorang ibu
yang terlempar membentur pintu ruangan dimana anak tersebut bersembunyi sudah
cukup untuk membuat anak tersebut merasakan teror), anak dapat terpengaruh oleh
hal tersebut.
Tahap Perkembangan
Perkembangan
kognitif
Meskipun anak-anak yang tumbuh di dalam
rumah yang terjadi kekerasan tidak secara konsisten menunjukan penurunan
kognitif, mereka sering memperlihatkan masalah-masalah akademis. Penelitian
terhadap penilaian anak-anak menunjukkan bahwa anak-anak yang sering
menyaksikan kekerasan yang intens dan mengancam antara orang tuanya cenderung
mengalami tekanan, contohnya menyalahkan diri sendiri. Anak-anak dapat
mengembangkan harapan yang tidak realistis atas kemampuannya sendiri dalam
mengendalikan pertengkaran orang tuanya. Bahayanya termasuk sang anak dapat
menempatkan dirinya pada posisi yang berbahaya dengan mencoba ikut campur
secara fisik dalam perkelahian orang tua, atau anak akan merasa bersalah dan
tidak berguna.
Perkembangan
emosional
Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak
yang terpapar pada kekerasan domestik memiliki serangkaian masalah emosional
dan perilaku. Pada anak yang lebih muda, hal ini meliputi insecure attatchment, dan pada usia sekolah masalah eksternal dan
internal (depresi, kecemasan, dan agresi). Pada remaja, masalah perilaku akan
semakin parah, terlibat kenakalan remaja, dan pikiran bunuh diri. Pemaparan
terhadap kekerasan di rumah merupakan prediktor independen pada masalah
eksternal bagi anak laki-laki dan internal bagi anak perempuan.
Waktu pemaparan terhadap kekerasan juga
berpengaruh. Jika pemaparan terjadi pada usia prasekolah, maka ketika remaja,
mereka akan menghadapi kesulitan dalam menyesuaikan diri. Sedangkan, perilaku
anak laki-laki pada usia kanak-kanak menengah yang nakal dapat diprediksi
karena kekerasan pada masa yang sama.
Masa kanak-kanak yang terpapar akan
kekerasan adalah salah satu prediksi terbaik terhadap perilaku kriminal
laki-laki dewasa. Anak-anak yang terpapar pada kekerasan kronis di rumah akan
menjadi terbiasa dengan hal tersebut dan pada kenyataannya mengarah kepada
sensitivitas.
Perkembangan
sosial
Pemaparan kekerasan memiliki efek negatif
pada hubungan interpersonal anak-anak. Anak usia prasekolah menunjukkan agresi
dan efek negatif dalam berinteraksi dengan anak yang lain. Pada usia sekolah,
mereka mengalam kesulitan dalam membangun kepercayaan dan kemampuan sosial yang
rendah daripada anak lain dan cenderung terbiasa mempercayai bahwa kekerasan
terhadap perempuan adalah normal dan dapat dibenarkan. Pada usia remaja, tidak
mengherankan bahwa mereka cenderung terlibat dalam hubungan asmara yang kasar
dan mereplikasikan pola kekerasan yang mereka lihat di rumah.
Penyebab:
Pelaku Kekerasan Fisik
Laki-laki yang melakukan kekerasan
terhadap pasangannya kebanyakan terbukti memiliki banyak gejala PTSD dan
memiliki sejarah masa kanak-kanak yang penuh dengan kekerasan fisik, malu terhadap
orang tua, kekerasan psikologis, dan kekerasan domestik yang signifikan.
Anak-anak yang tidak memiliki attachment
yang aman tidak dapat menenangkan dirinya sendiri di hadapan ancaman, dan
mengarah kepada emosi yang tidak dapat dikontrol dan berujung kepada agresi.
Emery dan Laumann-Billings (1998)
menyarankan bahwa kerangka referensi harus lebih diperluas melihat faktor
individu hanya merupakan 1 dari 4 rangkaian variabel yang saling berinteraksi
sehingga meningkatkan resiko kekerasan domestik. Kekerasan dapat dikonsepkan
sebagai hasil dari: (1) karakteristik keribadian individu, (2) konteks sosial
langsung, seperti strutur keluarga dan stresor akut (contohnya hilangnya
pekerjaan atau kematian anggota keluarga), (3) karakteristik lingkungan, seperti
kemiskinan, isolasi sosial, dan kekerasan di daerah tempat tinggal, (4) faktor
kemasyarakatan, seperti kepercayaan budaya yang mengijinkan penggunaan agresi
dalam hubungan dan prevalensi kekerasan di media.
Intervensi dan
pencegahan
Kekerasan
fisik, penelantaran, kekerasan psikologis
Intervensi
untuk anak yang mengalami kekerasan dan penelantaran
Regulasi emosi dihambat pengalaman emosi
negatif yang sangat berpengaruh tanpa adanya hal yang bersifat menenangkan sama
sekali. Dan sebagai akibatnya, anak yang tidak dapat mentolerir emosi yang kuat
cenderung akan melarikan diri proses membuka pikiran dan perasaan yang
berhubungan dengan kekerasan yang mereka alami (yang justru sangat dibutuhkan
dari mereka dalam terapi ini). Teknik untuk menangani masalah ini meliputi
memberikan anak-anak kendali atas proses, seperti dalam penentuan waktu kapan
dan untuk berapa lama mereka akan berbicara tentang kekerasan tersebut, ataupun
penggunaan strategi pengurangan kecemasan pada latihan relaksasi.
Intervensi
untuk orang tua yang melakukan kekerasan
Beragam strategi dapat digunakan, termasuk
edukasi orang tua, latihan kemampuan pemecahan masalah, pengurangan tekanan,
kelompok diskusi, dan terapi psikodinamis individual. Azar (1997) menyatakan
bahwa pendekatan kognitif behavioral yang terarah pada restrukturisasi kognisi
salah yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan cukup menjanjikan.
Pencegahan
kekerasan
Pencegahan utama yang bertujuan untuk
mengubah pola interaksi orang tua-anak yang maladaptif sekaligus menangani
keseluruhan keluarga dan lingkungan berkisar sekitar permulaan pola asuh yang
menggunakan kekerasan. Program pencegahan ini membantu mereka dalam beberapa
tingkatan: menjawab kebutuhan konkrit seperti latihan kemampuan mendapatkan
makanan, popok, pengasuh anak, ataupun pekerjaan; meningkatkan kemampuan dan
ketepatan pengasuhan melalui edukasi dan dukungan orang tua; meningkatkan
kualitas interaksi orang tua-anak melalui intervensi yang berorientasi
hubungan; dan dalam kasus tertentu memberikan rangsangan kognitif untuk balita
atau terapi individual untuk ibunya.
Intervensi berbasis rumah merupakan contoh
utama dalam program kunjungan rumah pra-kelahiran dan balita. Bantuan berbasis
rumah dilakukan oleh praktisi keperawatan, yang dapat memberikan edukasi orang
tua yang berhubungan dengan perkembangan anak, mengikutsertakan keluarga dan
teman dari sang ibu dalam membantu memperluas jaringan dukungan dan
menghubungkan keluarga dengan pelayanan sosial dan medis lainnya.
Program yang dilanjutkan sampai 2 bahkan
10-15 tahun menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan ibu-ibu grup kontrol,
ibu yang mendapatkan program kunjungan rumah lebih sedikit mengalami kasus
pengaduan pada lembaga perlindungan anak, memiliki lebih banyak pertimbangan
untuk menambah anak, berpikiran lebih terbuka dalam masalah kesejahteraan
keluarga, dan kecenderungan yang lebih rendah untuk tertangkap atau terlibat
dalam kasus penyalahgunaan obat.
Pelecehan seksual
Intervensi
untuk anak-anak yang mengalami pelecehan seksual
Finkelhor dan Berliner (1995) merumuskan
secara umum elemen intervensi yang dirancang untuk anak-anak yang mengalami
kekerasan seksual, meliputi: (1) menyemangati anak untuk menceritakan perasaan
atas pengalaman buruknya, (2) mengubah pandangan negatif seperti menyalahkan
diri sendiri, (3) mengajarkan kemampuan pencegahan kekerasan, (4) menghilangkan
perasaan terisolasi dan terstigmatisasi. Penelitian metaanalisis memastikan
bahwa penanganan untuk menangani anak-anak yang mengalami pelecehan seksual
bermanfaat dalam mengurangi gejala dengan bukti terkuat yang berhubungan dengan
cognitive behavioral treatment (CBT)
yang memfokuskan pada penilaian yang berhubungan dengan kekerasan spesifik.
Celano et al. (1996) mengembangkan intervensi yang dirancang untuk mengurangi
“kepercayaan traumagenik” – penyalahan diri dan ketidakberdayaan pada anak
perempuan yang mengalami pelecehan seksual. Setelah terapi, figur ibu akan
lebih suportif pada anaknya dan cenderung mengurangi penyalahan diri dan
menunjukkan lebih sedikit ketakutan berlebih akan efek kekerasan terhadap
anaknya.
Intervensi
terhadap pelaku pelecehan seksual
Ceffin et al. (2002) mengulas penelitian
terkait intervensi terhadap pelaku pelecehan seksual. Beberapa tema yang
berkaitan dengan tujuan penanganan dapat diidentifikasikan sebagai berikut: (1)
menghadapi penyangkalan, (2) mengidentifikasikan faktor resiko, (3) mengurangi
distorsi kognitif, (4) meningkatkan empati terhadap korban, (5) meningkatkan
kompetensi sosial, (6) mengurangi penyimpangan seksual, dan (7) menangani
trauma masa lalu dimana ia menjadi korban kekerasan.
Salah satu intervensi yang menjanjikan
adalah multisystemic therapy (MST)
yang menargetkan beberapa aspek ekologi sosial remaja, seperti sekolah,
keluarga, dan hubungan sejawat. Penelitian yang dilanjutkan selama 10 tahun
memberikan efeksivitas MST terhadap pelaku pelecehan seksual remaja.
Pencegahan
pelecehan seksual
Kebanyakan program pencegahan melibatkan
anak-anak dan memfokuskan pada pengajaran konsep kunci dan kemampuan tertentu.
Diantaranya adalah mengajarkan kepada anak-anak bahwa mereka bertanggung jawab
atas tubuhnya sendiri dan dapat mengendalikan aksesnya; adanya serangkaian
sentuhan yang dapat berubah dari baik ke arah buruk, dan orang dewasa yang
dipercaya tetap harus diingatkan jika ia membuat seorang anak merasa tidak
nyaman atau aneh. Anak juga diberitahukan bahwa pelaku pelecehan seksual
potensial biasanya lebih memilih individu yang dikenal baik daripada secara
acak, dan anak-anak juga diajarkan cara untuk mempertahankan diri dari
percobaan pelecehan seksual seperti menolak atau melarikan diri. Program
pencegahan efektif dalam meningkatkan pengetahuan anak terhadap konsep
pelecehan seksual dan kemampuan mempertahankan dirinya.
Pemaparan terhadap
kekerasan domestik
Intervensi
terhadap wanita yang dilukai dan anaknya
Intervensi yang berkembang secara sensitif
dan didukung secara empiris telah dikembangkan untuk anak-anak dari rumah yang
mengalami kekerasan. Sebagai catatan, anak di bawah umur 5 tahun benar-benar
tidak seharusnya berada di antara dan terpapar kekerasan antar orang tua,
Jouriles et al. (1998) mengembangkan sebuah intervensi berbasis rumah yang
menitikberatkan pada penyediaan bantuan dan pelatihan orang tua kepada ibu-ibu.
Ibu-ibu yang menjalaninya terlihat memiliki strategi mempertahankan diri lebih
baik dan kemampuan mengasuh yang lebih efektif serta masalah perilaku anak-anak
pun berkurang.
Sebuah program yang didukung baik untuk
anak usia sekolah adalah kids club
yang menyediakan intervensi paralel untuk anak dan ibunya. Kelompok-kelompok
anak memberikan informasi atas kekerasan keluarga; menangani kepercayaan dan
perilaku maladaptif; dan menyediakan strategi prososial untuk menghadapi
masalah emosional, behavioral dan interpersonal. Intervensi terhadap ibu
meliputi pendidikan mengenai efek kekerasan terhadap perkembangan anak,
kemampuan mengasuh, dan manfaat dukungan dalam meningkatkan penguatan dan self
esteem.
Intervensi
terhadap pelaku kekerasan
Ketika aman untuk melakukannya, ayah juga
seringkali diikutsertakan dalam kelompok dimana wanita korban kekerasan berada.
Hal ini ditujukan untuk meningkatkan pemahaman ayah terhadap akibat dari
kekerasan domestik pada anak-anak, menghadapi perilaku yang menganggap bahwa
kekerasan terhadap istri merupakan hal normal, dan meningkatkan kemampuan
mengasuh. Masalah kunci yang harus ditangani dari ayah meliputi: (1) resistensi
dan penyangkalan, (2) pengetahuan mengenai perkembangan anak, (3) rasa malu dan
cara menghadapinya, (4) empati terhadap anak, (5) masalah orang tua tiri, (6)
keinginan untuk berkomitmen dalam melaksanakan pola asuh non- kekerasan.
Pencegahan
kekerasan domestik
Terapi kelompok terbukti merupakan alat
yang kuat dalam pencegahan kekerasan interpersonal di seluruh tahap kehidupan.
Wolfe et al. (1997) mengembangkan youth
relationship project untuk mencegah perkembangan hubungan asmara yang kasar
antar remaja.
Sekian dan Terima Kasih..