Minggu, 05 Januari 2014

Child Maltreatment and Domestic Violence


     Hai semua...seru rasanya jika kita membicarakan mengenai kekerasan pada anak yang semakin marak akhir-akhir ini, dari pelecehan seksual, pengabaian anak oleh orang tua, kekerasan tubuh pada anak dan masih banyak lagi. Berdasarkan Konvensi Hak Anak Persatuan Bangsa-Bangsa (1989; Limber & Wilcox, 1996), setiap anak di seluruh dunia berhak untuk mendapatkan “standar hidup yang memadai bagi fisik, mental, spiritual, moral, dan perkembangan sosial anak”. Dalam literatur psikopatologi perkembangan, kebutuhan mendasar untuk well-being ini merujuk sebagai lingkungan dapat diharapkan rata-rata (Ciccehetti & Lynch, 1995). Mungkin kegagalan yang paling sangat besar dari lingkungan interpersonal untuk memperoleh kesempatan pempromosian pertumbuhan yang muncul ini ketika rumah sang anak merupakan sumber rasa takut daripada tempat pelipur lara. Sementara yang lain mungkin menganiaya sang anak, perlakuan kasar yang dilakukan oleh orangtua, orang yang paling dicari oleh seorang anak untuk rasa nyaman dan perlindungan, telah menjadi pengaruh yang paling merasuk dan betahan lama pada perkembangan anak.
     Penemuan mengenai penganiayaan anak (juga disebut perlakuan kasar pada anak) juga merepresentasikan salah satu dari babak yang paling sensasional dalam sejarah psikologi anak. Keberadaan yang paling nyata dari perlakuan kasar fisik dan seksual pada anak telah luas disangkal hingga awal pada tahun 1960-an ketika C. Hennry Kempe dan kawan-kawan membawakan masalah dari “battered child syndrome” pada perhatian negara (Helfer, Kempe, & Krugman, 1997). Kempe menemukan bahwa sementara banyak dokter dan profesional kesehatan mental secara jujur percaya bahwa mereka belum pernah menemukan kasus penganiayaan anak, ini dapat dipastikan bahwa mereka tidak membawa diri pada pengakuan bahwa hal tersebut perlu mendapatkan tempat.
     Seperti yang telah kita pahami dari faktor yang menentukan penganiayaan anak menjadi semakin rumit dan multi dimensional, begitu halnya dengan pandangan kita mengenai apa yang merupakan penganiayaan pada anak. Penganiayaan anak muncul dalam berbagai bentuk, tidak semunya meninggalkan tanda-tanda yang mencolok mata seperti memar atau patah tulang. Bersamaan dengan definisi yang lebih luas ini telah berkembang menjadi pengenalan yang penting dari variabel perkembangan, interpersonal, dan sosial budaya yang menentukan pengaruh dari perlakuan kasar tertentu yang terjadi pada anak.
     Satu dari rintangan pertama yang harus kita atasi adalah permasalahan untuk mendefinisikan penganiayaan. Malangnya, tidak ada yang menerima secara universal definisi yang ada. Dalam praktek yang sesungguhnya, pada umumnya para profesional mendasari definisi mereka pada mandat hukum yang mengatur pelaporan perlakuan kasar pada anak dalam wilayah hukum mereka. Bagaimana pun juga, sejak hukum lokal berubah-ubah secara signifikan dari tempat ke tempat, hukum seperti itu tidak memperoleh definisi yang memuaskan. Lebih lanjut lagi, sementara beberapa bentuk dari penganiayaan mungkin saja jelas, dengan efek yang langsung terdeteksi (contohnya: pukulan fisik yang menyebabkan merah, bilur kemarahan), bentuk lain lebih tak kentara, dengan efek hanya muncul setelah beberapa waktu (contohnya: pengabaian terus menerus dari orangtua yang menyebabkan berkurangnya harga diri). Terlebih lagi, perbedaan budaya dalam membesarkan anak dan norma memungkinkan seorang orangtua “cinta kuat” menjadi “perlakuan buruk” yang lain.
     Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1999 mengeluarkan naskah mengenai definisi perlakuan kasar atau penganiayaan anak merupakan semua bentuk dari tindakan sewenang-wenang secara fisik dan/atau emosional, perlakuan kasar secara seksual, diabaikan atau lalai dalam perawatan atau diperdagangkan atau eksploitasi lainnya, yang menyebabkan bahaya yang sesungguhnya atau berpotensi membahayakan pada kesehatan, kelangsungan hidup, perkembangan atau martabat anak dalam konteks pada hubungan dari tanggungjawab, kepercayaan, atau kekuatan.


Berikut ini akan dipaparkan mengenai Kekerasan Fisik yang sering terjadi pada anak:
1.      Physical Abuse
Definisi dan Karakteristik Definisi
Perlakuan kasar secara fisik melibatkan tindakan yang menghasilkan kerusakan fisik yang nyata maupun yang berpotensi demikian pada anak dan hal tersebut dilakukan oleh pengasuh yang layak diduga sebagai pengendali dari tindakan tersebut (Organisasi Kesehatan Dunia [WHO], 1999). Perlakuan kasar secara fisik dapat tersebar luas dalam terminologi dari kerasnya dan potensi yang menyebabkan kekalnya kerusakan fisik. Luka-luka dapat saja relatif kecil, seperti memar atau tersayat, atau lebih besar, seperti kerusakan otak, luka dalam, terbakar, dan luka terkoyak. Bentuk yang jarang dari perlakuan kasar secara fisik adalah Munchausen by proxy syndrome, dimana orangtua mengarang atau bahkan membuat sakit fisik pada anak, yang menyebabkan kerusakan psikologi atau fisik karena memperlakukan anak untuk prosedur medis yang berulang-ulang dan tidak perlu.

Prevalensi
Prevalensi rata-rata bermacam-macam tersebar dari suatu penelitian ke penelitian oleh karena definisi yang berbeda dan pengukuran yang dilakukan. Sebuah survei melalui telepon pada sampel representatif nasional dari 2.030 anak Amerika Serikat usia 2 hingga 17 tahun menemukan bahwa selama tahun yang sebelumnya, sekitar 3 persen dari anak telah diperlakukan kasar oleh pengasuh (Finkelhor et al., 2005). Perlakuan kasar secara fisik terhitung sebanyak 23 persen dari semua kasus yang telah terbukti sebagai bentuk penganiayaan (DHHS, 2001). Bagaimana pun juga, dipercaya bahwa kemungkinan rata-rata yang sesungguhnya jauh lebih besar. Sementara itu lebih dari 1.200 perlakuan kasar yang menyebabkan kematian terjadi di Amerika Serikat setiap tahun, sesuatu yang terlalu banyak ini dipercaya sebagai perkiraan yang terlalu rendah oleh karena banyak anak yang meninggal salah dihubungkan kepada “kecelakaan” atau “sindrom kematian mendadak anak”.

Karakteristik Anak
     Timbulnya perlakuan kasar secara fisik bervariasi oleh umur. Kebanyakan dari perlakuan kasar pada anak adalah sangat muda: 51 persen adalah usia 7 tahun atau lebih muda, sementara 26 persen adalah 3 tahun atau lebih muda. Remaja terhitung sebanyak 20 persen dari sampel, yang merupakan ketiga terbesar dari kelompok. Luka serius merupakan yang paling biasa terjadi di antara anak yang lebih tua, namun kematian anak yang paling sering terjadi muncul pada mereka yang berusia di bawah 2 tahun. Sebagai tambahan, usia berpengaruh pada gender. Anak laki-laki usia 4 hingga 8 tahun adalah yang paling sering diperlakukan kasar secara fisik, sementara anak perempuan lebih sering mendapatkan perlakuan kasar secara fisik pada usia antara 12 hingga 15 tahun (DHHS, 2001). Dengan memperhatikan etnisitas, yang memunculkan hal demikian, di antara anak yang mengalami penganiayaan, anak Eropa Amerika adalah yang lebih sering menjadi korban perlakuan kasar secara fisik daripada anak Afrika Amerika (Office of Juvenile Justice, 2000).
     Anak yang mengalami hambatan atau yang berkebutuhan khusus adalah yang paling terbesar mengalami perlakuan kasar, termasuk mereka yang prematur atau mengalami retardasi secara mental. Sebagai contoh, Sulivan dan Knutson (1998) menemukan bahwa anak yang mengalami kelumpuhan mengalami hampir dua kali mendapatkan penganiayaan fisik daripada mereka yang tidak dianiaya. Anak dengan behavior disorders, seperti oppositional-defiant disorder, juga berada pada resiko mengalami perlakuan kasar secara fisik (Ford, Racusin, Ellis, Davis, Reiser, Fleischer, et al., 1999). Anak yang menantang secara perilaku atau secara perkembangan dapat melemahkan sumber penghasilan dari orangtua, untuk orangtua yang miskin, membesarkan anak yang demikian adalah sulit, yang selanjutnya akan membuat stress orangtua, yang kemudian akan membawanya kepada kekerasan.

Konteks Biologis
     Penelitian terkini dalam neuropsikologi menunjukan bahwa perlakuan kasar pada anak telah signifikan dan berakibat merugikan dalam perkembangan otak. Magnetic Resonance Imaging (MRI) telah menyikap konsekuensi negatif dari penganiayaan yang berhubungan dengan trauma, termasuk volume otak yang lebih kecil, corpus collosum dan temporal lobe kanan yang lebih kecil, dan sedikitnya material putih pada prefrontal cortex (Beers & De Bellis, 2002). Penyusutan ini kemungkinan besar mempengaruhi pelaksana dan komunikasi yang efesien antara bagian dari otak, bertentangan dengan kapasitas perkembangan penting tersebut sebagai regulasi emosi, kendali dorongan, dan memberi alasan. Lebih lanjut, perbedaan struktural ini berhubungan dengan usia permulaan dari perlakuan kasar. Trauma berasosiasi dengan konsekuensi yang paling negatif ketika hal ini muncul awal pada perkembangan.
     Pengusulan penjelasan untuk pengaruh ini perpanjangan dari stress traumatik adalah pemproduksian dari catecholamines-neurotransmitters, termasuk norepinephrine, epinephrine, dan dopamine; dan mengaktivasi axis limbic-hypothalamic-pituitary-adrenal (LHPA) dari otak. Peristiwa ini membawa pada hipersekresi dari kortisol dari gland adrenal dan menstimulasi sistem syaraf simpatik, menyebabkan aktivasi perilaku dan getaran hebat. Ketika aktivasi ini berlanjut tidak berkurang untuk periode waktu yang panjang, kelebihan kortisol pada dasarnya telah memiliki efek racun pada perkembangan otak (De Bellis, 2001). Pada catatan lanjutan, bukti juga telah menyatakan bahwa anak yang telah diselamatkan dari lingkungan yang memperlakukan secara kasar juga dapat menunjukan pemulihan dan normalisasi dari proses kogniti mereka.
     Penelitian neuropsikologi biasanya telah mengelompokan bersama anak yang telah mengalami bermacam-macam bentuk dari penganiayaan. Oleh sebab itu, penemuan ini tidaklah spesifik untuk perlakuan kasar secara fisik dan akan relevan dengan diskusi kita pada bentuk lain dari perilaku kasar yang mengikuti.

Perkembangan Kognitif
     Anak kecil yang dianiaya menunjukan keterlambatan dalam perkembangan kognitif dan bahasa, terutama bahasa pengekspresian. Ketika mereka memasuki masa kanak-kanak menengah, anak yang mengalami perlakuan kasar secara fisik berlanjut menunjukan keterlambatan kognitif pada semua area, skor IQ 20 poin lebih rendah daripada anak yang tidak mengalami perlakuan kasar pada tes IQ yang terstandarisasi. Sama halnya dengan tes prestasi sekolah menunjukan bahwa anak yang mengalami perlakuan kasar menunjukan 2 tahun di bawah tingkat kelas dalam kemampuan verbal dan matematika, dengan sepertiga dari mereka membutuhkan pendidikan khusus. Mereka juga lebih mewakili diantara mereka yang dengan gangguan belajar. Pada remaja, rendahnya prestasi dan tahan kelas yang lebih dapat terlihat.

Perkembangan Emosional
     Konteks intrapersonal dan interpersonal bersilangan pada tugas tingkatan penting utama pada masa pertumbuhan – formasi dari hubungan keamanan kasih sayang – yang mana penting untuk menyediakan anak dengan perasaan aman, saling membutuhkan, dan harga diri. Secara signifikan, dari 70 hingga 100 persen anak yang dianiaya menampilkan ketidakamanan kasih sayang dengan pengasuh mereka. Anak yang dianiaya secara fisik pada umumnya menunjukan pola penghindaran kasih sayang, yang mana mereka menahan diri untuk mencari perhatian atau berhubungan ketika mereka sedang stress (Crittenden, 1992). Perilaku dapat beradaptasi dengan mengurangi kemarahan yang berhubungan dengan ibu dengan cara memelihara permintaan akan perhatian yang minimal dan nada rendah. Bagaimana pun juga, karena penghindaran akan kebutuhan anak pada keamanan dan rasa nyaman tidak dapat bertemu, maka perkembangan masa depan mereka secara negatif terpengaruh.
     Permasalahan yang secara eksternal, seperti agresi, ketidakmengalahan, dan conduct disorder, sering kali terlihat pada anak laki-laki yang mengalami perlakuan kasar. Masalah secara internal seperti depresi dan rendahnya harga diri juga muncul selama usia sekolah, khususnya, namun tidak secara eksklusif pada anak perempuan. Toth, Manly, dan Cicchetti (1992) menemukan bahwa 22 persen dari sampel pada anak yang mengalami penganiayaan secara fisik terbukti secara klinis tingkat dari depresi, sebaliknya pada 3 persen dari mereka yang pernah mengalami pengabaian dan 6 persen pada kelompok yang tidak mengalami penganiayaan. Bentuk dari depresi kognitif biasanya terutama berkembang jika penganiayaan dimulai sebelum usia 11 tahun, ketika anak kecil bergantung pada orangtua mereka untuk memperoleh mereka dengan perasaan pada kepercayaan interpersonal dan afikasi personal.
     Terdapat juga bukti perlakuan kasar secara fisik turut campur dengan perkembangan normal dari self dalam tahun-tahun awal. Satu dari tes pada perkembangan awal dari self sebagai sesuatu yang sungguh bebas adalah remaja dengan kemampuan untuk mengenali bayangan mereka di cermin. Pengenalan diri secara visual tersebut tertunda pada remaja yang mengalami penganiayaan. Lebih lanjut lagi, mereka bereaksi dengan afek netral atau negatif ketika mereka memeriksa wajah mereka dalam cermin, daripada dengan afek positif yang ditunjukan oleh anak yang tidak mengalami perlakuan kasar. Sementara berkurangnya dalam harga diri sering kali membentuk penilaian yang rendah pada anak yang mengalami penganiayaan terhadap kapasitas mereka, beberapa anak yang mengalami penganiayaan juga menampilkan pemompaan harga diri yang tidak nyata. Pernyataan empati yang tegas bahwa “Saya adalah yang terbaik dalam segala hal!” dapat tersajikan sebagai pertahanan primitif terhadap perasaan mendalam pada ketidakberdayaan dan ketidakmampuan (Vondra, Barnett, & Cicchetti, 1989). Bagaimana pun juga, karena ini tidak dilandasi dengan kompetensi yang nyata, pertahanan dari penilaian yang berlebihan dari self yang rapuh dan mudah pecah. Demikian, penilaian berlebihan dari self menyajikan bukan sebagai mekanisme perlindungan tetapi lebih sebagai sumber baru dari kerapuhan (Cicchetti & Howes, 1991).
     Perkembangan dari self dalam tahun-tahun awal juga tidak memungkinkan untuk lepas dari ikatan pada kemampuan untuk mengenal dan membicarakan mengenai emosi secara sendiri maupun dengan hal lainnya. Beeghly dan Cicchetti (1994) menemukan bahwa penganiayaan pada remaja menyebabkan buruknya dalam tingkat perbendaharaan kata – hal ini menyebabkan, mereka memiliki kata-kata yang sedikit untuk menggambarkan tingkat emosional, terutama mengenai emosi negatif. Konsekuensi jangka panjang adalah ketiadaannya akses kepada emosi dan kemampuan untuk meregulasi mereka. Demikian, dalam tahun-tahun sekolah anak yang mengalami perlakuan kasar secara fisik berlanjut menjadi kurang di dalam kemampuan untuk mendeteksi dan merespon kepada emosi yang lain. Sebagai tambahan, mereka menampilkan regulasi emosi yang buruk, menghasilkan baik itu kontrol yang berlebih atau kontrol yang kurang dari emosi. Sebagai contoh, dalam sampel 325 anak China dan keluarga mereka, Chang dan kawan-kawan (2003) menemukan bahwa hubungan antara kerasnya pola asuh dan pandangan tajam agresi anak telah dimediasi ketidakberaturan emosi. Kemarahan yang berhubungan dengan orangtua, oleh peneliti diargumentasikan, bahwa bentuk dari kecenderungan komunikasi yang keduanya mensosialisasikan anak ke dalam pola negatif dari pertukaran emosi dan mengganggu kemampuan mereka untuk mengatur perasaan bersedih. Ekspresi dari kemarahan, perasaan dingin, atau kebencian yang menemani tindakan fisik dari agresi orangtua dapat lebih merusak daripada tindakan itu sendiri.
     Jauh dari berkurangnya masalah emosi dan perilaku dari anak yang mengalami perlakuan kasar meningkat pada remaja. Perlakuan kasar pada masa kanak-kanak merupakan prediktor yang signifikan dari depresi, rendahnya harga diri, conduct disorder, dan perilaku antisosial.

Perkembangan Sosial
     Anak kecil yang mengalami penganiayaan memandang tajam pada kebiasaan yang menyerupai perilaku orangtua mereka. Sebagai contoh, ketika terarahkan pada pandangan tajam dalam distress, anak kecil yang mengalami perlakuan kasar memberikan respon yang lebih sedikit dengan simpati atau keprihatinan daripada anak kecil lain dan lebih suka berreaksi dengan ketakutan, dan agresi fisik. Sama halnya, Egeland (1991) pada penelitian longitudinalnya menunjukan bahwa anak yang mengalami perlakuan kasar secara fisik merupakan yang lebih agresif di dalam prasekolah ketika dibandingkan dengan anak yang mengalami pengabaian, perlakuan kasar secara pikologi, dan juga pada anak yang tidak mengalami perlakuan kasar.
     Hubungan teman sebaya menjadi meningkat penting dalam tahun-tahun usia sekolah; oleh sebab itu, ini adalah signifikan bahwa satu dari konsekuensi yang paling konsisten dari perlakuan kasar secara fisik adalah permusuhan dan agresi tehadap yang lain. Anak yang mengalami penganiayaan adalah reaktif terhadap provokasi paling tipis dan paling berkemungkinan besar daripada anak lain untuk dendam terhadap merasa pandangan merendahkan dengan agresi. Seperti anak dengan conduct disorder, mereka memiliki kemampuan pemecahan masalah interpersonal yang buruk dan menampilkan bias atribusi permusuhan. Anak yang mengalami perlakuan kasar menganggap bahwa yang lain mempunyai perhatian negatif pada mereka dan sehingga sudah selayaknya sama dalam macam ini. Permasalahan perilaku pada anak yang mengalami perlakuan kasar memberikan sumbangan pada perkembangan dari reputasi negatif dalam kelompok teman sebaya. Mereka kemungkinan besar mengalami penolakan teman sebaya. Sebagai contoh, mereka lebih sedikit untuk sering dipilih sebagai pilihan teman sepermainan dan menerima lebih sedikit dukungan sosial dari teman sekelas (Salzinger et al., 1993). Dam, seperti yang telah kita saksikan bahwa penolakan teman sebaya dapat menjadi alasan lebih jauh dari agresi.
     Remaja merupakan waktu ketika orang muda memulai perkembangan yang signifikan pada hubungan yang romantis, dan keluarga mereka sering memberikan kepada mereka gambaran cetak biru dari keintiman. Wolfe dan kawan-kawan (1998) menyelidiki efek dari masa kecil yang mengalami perlakuan kasar pada hubungan perkencanan remaja. Mereka menemukan bahwa pemuda yang mengalami perlakuan kasar oleh orangtua mereka lebih berkemungkinan besar menjadi berlaku kasar terhadap pasangan kencannya. Keintiman perilaku orangtua mereka tetap terjadi meskipun faktanya bahwa mereka yang mengalami perlakuan kasar secara fisik berpegang pada sikap negatif dari orangtua mereka dan menyalahkan mereka untuk perlakuan buruk tersebut. Menjadi korban pada masa kecil akan menunjukan kekerasan dalam hubungan yang intim berikutnya dan demikian juga untuk penularan dari perlakuan kasar tersebut.

Kesimpulan
     Menuang kembali penemuan mengenai perlakuan kasar secara fisik dalam hubungan dengan variabel kepribadian yang telah kita gunakan dalam penulisan ini, kita menemukan bahwa kasih sayang, perkembangan emosi, kognitif, dan hubungan interpersonal semuanya telah dengan kurang baik terpengaruh. Penghindaran terhadap kasih sayang membentuk suatu tingkatan dengan menyangkal anak untuk memperoleh kebutuhan akan pemenuhan rasa aman dan untuk mengembangkan model kerja positif dari self dan yang lain. Perlakuan kasar secara fisik merupakan faktor utama untuk perkembangan dari regulasi emosi yang buruk,  yang mana menampakan sendiri dalam berbagai bentuk tersebut sebagai agresi dengan teman sebaya dan anggota keluarga dan menginternalisasi permasalahan seperti penarikan diri dan depresi. Secara kognitif, anak yang mengalami perlakuan kasar membuktikan gaya kognitif negatif dan bias sifat bermusuhan. Dalam hubungan dari perkembangan interpersonal, anak yang mengalami perlakuan kasar memiliki kemampuan sosial yang buruk, sedikitnya teman, dan ketiadaan sensitivitas emosional terhadap orang lain.

Etiology: The Physically Abusive Parent
     Orangtua yang melakukan 77 persen penganiayaan terhadap anak, sementara anggota keluarga terhitung untuk 12 persen lainnya (Wolfe & McEachran, 1997). Karena ibu merupakan penyedia utama perhatian kepada anak, ibu adalah yang paling sering melakukan perlakuan kasar; bagaimana pun juga, ayah dan pengasuh laki-laki yang bertanggungjawab untuk sebagian besar kematian dari anak (National Center on Child Abuse and Neglect, 2001). Kematian anak disebabkan oleh bentuk ekstrim dari penganiayaan, seperti memukul anak pada kepala atau mengguncang dengan kasar, mencekek, atau menyiramkan air kepada mereka.

Konteks individu
     Individu atau orang  tua yang melakukan  tindakan kekerasan terhadap anaknya biasa  memiliki tingkat kecemasan, kemarahan, dan pertahanan yang  tinggi. Sedangkan orang  tua yang tidak melakukan kekerasan lebih dapat mengendalikan stres. Emosi dari orang tua menjadi faktor penting dalam kontribusi  melakukan kekerasan terhadap anak sedangkan stres dan dukungan social adalah faktor kedua. Dukewich, Bokowskim Whitman mengatakan kurangnya persiapan untuk menjadi orangtua adalah faktor utama. Kurangnya persiapan tersebut diantaranya  adalah kurang pengetahuan akan perkembangan anak, pemusatan  berlebihan terhadap  anak, harapan terhadap anak yang berlebihan. Kekerasan  terhadap fisik juga dipercaya  memiliki kontrol  impuls yang rendah dan  toleransi frustasi yang rendah. Orang tua yang  melakukan kekerasan  mungkin dikarenakan proses kognitif yang terganggu. Mereka memiliki kesalahan  pandangan  terhadap anaknya yaitu kesalahan  dalam melihat atau menilai  tingkah laku anak, sifat negatif  anak yang melekat terus di kepala orang tua, diskriminasi terhadap anak tersebut. Orang tua yang depresi juga merupakan faktor mengapa orang tua melakukan kekerasan terhadap anaknya

Konteks budaya
        Orang tua yang  melakukan kekerasan rata-rata terjadi pada negara yang memiliki norma atau aturan tertentudan tingkat sosio ekonomi yang lemah.  Kemiskinan, kekacauan dalam keluarga, lingkungan yang bising, keluarga yang  bercerai, terlalu sering  berpindah tempat, kekerasan dalam pernikahan  meningkatkan  faktor kekerasan  terhadap anak.

Integrasi Model
TAHAPAN
FAKTOR DESTABILISASI
FAKTOR KOMPENSASI
Kurangnya toleransi terhadap stres  dan rasa malu  serta agresi
-        Tidak ada persiapan dalam mendidik
-        Kontrol yang  lemah dan coping stres  yang kurang
-        Stres kehidupan
-        Dukungan  social
-        Stabilitas ekonomi,  sukses dalam kerja  dan sekolah
-        Memiliki model dalam mengembangkan coping stres  yang baik
Krisis manajemen dan  provokasi
-        Emosi yang mudah meledak
-        Penilaian akan bahaya, ancaman, dan kehilangan

-        Memperbaiki perilaku  anak
-        Bantuan terhadap  stres
-        Respon coping yang baik
Terbiasa dengan hal –hal yang penuh agresi
-        Jangka  pendek : orang  tua melakukan kekerasan bila anak tidak patuh
-        Jangka panjang  :  Anak terbiasa dengan hukuman
-        Memberikan insight kepada  anak
-        Intervensi terhadap anak.

2. Neglect
Pola asuh Neglect adalah kegagalan untuk memberikan kesehatan fisik dan mental untuk anak, pendidikan, nutrisi, perlindungan, keamanan yang  seharusnya di  dapatkan oleh anak.

Perkembangan kognitif
Perkembangan kognitif dan  bahasa lebih sering  terjadi pada anak yang diabaikan karena tidak ada stimulus dari lingkungan dan tidakadarespon pada awal kehidupan. Anak neglected menunjukkan lemahnya dasar pada masa sekolah dan terlihat kemampuannya dua tahun di  bawah umur  yang  sesungguhnya.

Perkembangan emosi
Anak biasanya kurang  dapat  mengekspresikan perasaan karena  kurangnya afeksi , insecure attachment juga  merupakan konsekuensi dari anak neglected. Bayi yang diabaikan oleh ibunya akan merasa tidak aman.  Bayi yang  diabaikan akan  meningkatkan kemarahan, agresi, dan perlawanan saat  dirinya  beranjak usia kanak-kanak. Anak yang  diabaikan akan mengalami kecemasan, kesedihan, masalah social.

Perkembangan social
Dalam perkembangan social dengan teman-teman  sebaya,  anak-anak neglected akan menghindar, bermasalah, tidak  tegas, tidak ada minat  kompetensi, intepretasi yang  kurang baik, tidak punya ketekunan, antusias, afek negatif, bergantung .

Orangtua yang  menggunakan pola  asuh neglected
Konteks individu
Orang tua  biasanya memiliki karakteristik kurangnya dukungan social, pencandu obat, stres yang  tinggi, impulsif, kesepia, tidak  terpenuhi  kebutuhannya, melihat hubungan dengan orang lain dengan pandangan yang  negative, tidak melihat pentingnya pola asuh, tidak punya motivasi untuk mengubah, low self efficacy, self occupation, depresi,  harapan tidak sesuai dengan anaknya, mengalami kekerasan fisik, dan hal ini biasa dilakukan secara bertahun-tahun atau  dalam jangka  waktu yang lama.

Konteks budaya
Kemiskinan memiliki keterkaitan yang tinggi dalam kasus neglected.

3.      Psychological abuse
Yang dimaksudkan adalah mengucapkan kata-kata  yang membuat anak merasa tidak bnerharga, tidak dicintai, merasa  terancam.  Dalam bentuk perilaku contohnya  adalah menolak anak, bermusuhan dengan anak, merendahkan anak, meneror anak, mengasingkan anak, tidak dibiarkan  bersosialisasi, eksploitasi anak, tidak ada respon  emosional untuk anak.

Perkembangan kognitif
Menurut Erickson anak  akan mengalami hambatan  jika  pada usia 9-24 bulan  tidak memiliki ibu  yang  siaga. Pada waktu anak  bersekolah biasanya anak akan mendapatkan nilai rendah.

Perkembangan emosi
Emosi  anak yang mengalami kekerasan psikologi adalah tidak mau mengalah,  rendahnya kontrol diri, tidak ada  ketekunan, tidak ada antusias dalam mengerjakan tugas, suka menyiksa diri sendiri, depresi ketika remaja,  rendahnya kepercayaan  diri, tidak ada harapan, eksternal locus of control, pesimis dalam kehidupan,  agresif pada usia sekolah. Ketika  anak beranjak remaja maka anak akan mengalami conduct disorder, agresi, tidak berdaya, tidak memiliki kepercayaan diri, eating disorder.

4.      Sexual abuse
Sexual abuse adalah keterlibatan anak dalam aktivitas seksual dimana anak tidak mengerti, tidak dalam masa perkembangan untuk  mengerti aktivitas seksual, dipengaruhi komunitas. Pelakunya biasa orang dewasa atau orang yang lebih tua. Tindakan seksual tidak harus berhubungan fisik tetapi bisa juga dalam bentukpornografi.  Dampaknya akan berlangsung terus menerus.  Di  Amerika, 27 % anak perempuan dan 16% anak laki-laki  mengalami pelecehan seksual seperti sexual intercourse, menyentuh dan mencium tubuh anak, mengambil gambar mereka ketika tidak berpakaian, oral seks, sodomi. Biasa yang menjadi korban adalah perempuan.

Perkembangan kognitif
Anak-anak ini akan mengalami kurang minat untuk berkompetensi dalam akademis, tidak ada  orientasi, menarik diri dari lingkungan sekolaj, mudah  teralih. Kognitif mereka akan mengingat kejadian-kejadian dalam pikiran dan mengintegrasi hal  tersebut dalam perkembangan mereka untuk mengenal orang lain.
Pelaku biasanya akan merasionalisasi dengan mengatakan  hal tersebut normal, dilakukan atas dasar  cinta, dan untuk memuaskan anak tersebut. Dampaknya kepada anak adalah  menyalahkan diri sendiri,  eksternal locus of control, tidak memiliki kekuatan.

Perkembangan emosi
Anak-anak akan memiliki masalah internal yaitu ketakutan, kecemasan, depresi, rendahnya kepercayaan diri, pemalu.  Pada masa dewasa anak akan memunculkan ide untuk bunuh diri, eating  disorder, kecanduan obat, melarikan diri, memiliki reaksi  stres seperti sakit kepala, perut, sensitif terhadap  sentuhan, tidak bisa menahan buang  air kecil,sering muntah.

Perkembangan social
Berlebihan  dalam  melakukan masturbasi, compulsive dalam aktivitas seksual, menjadikan orang  lain sebagai  korban, kebutuhan berlebihan untuk melakukan hubungan seksual, kekrasan seksual, merasa diri tidak berarti,  memalukan, rendah harga diri

Long  term course
Kebanyakan anak yang mengalami sexual  abuse tidak memiliki gejala yang  langsung terlihat  sampai pada jangka waktu yang panjang. Anak  yang tidak menunjukkan gejala yang terlihat biasanya mengalami trauma yang  mendalam.  Faktor-faktor  yang  mempengaruhi terlihatnya gejala  didasarkan kepada frekuensi dan durasi kontak seksual, tekanan  yang dihadapi, seberapa dekat dengan pelaku,  penetrasi di oral, anal, atau vagina.
Dalam sexual  abuse ada yang disebut sleeper effect yaitu dampak dari suatu peristiwa yang  terlihat  beberapa lama setelah terjadinya  peristiwa tersebut.

Integrasi model
1.      Traumatic  sexualization:  perkembangan seksual anak menjadi tidak  wajar dan mengalami disfungsi.  Anak akan mempelajari bahwa  seks adalah cara untuk memanipulasi atau mendapatkan perhatian orang  lain dengan  memenuhi kebutuhan yang tidak pantas. Dampak psikologis terhadap anak adalah  meningkatkan keinginan hasrat seksual, kebimbangan akan seks, asosiasi negative antara  seks dan intimacy. Konsekuensi terhada perilaku anak adalah tingkah laku agresi dan prostitusi.
2.      Betrayal. Anak akan merasa dikhianati oleh anggota keluarga yang  dirasa tidak  dapat menjaga atau mempercayai mereka.  Hal ini akan menimbulkan reaksi afeksi yang  rendah seperti  depresi, kemarahan. Betrayal mengembangakan sikap tidak percaya anak kepada orang lain dan mempengaruhi kehidupan pribadi  saat  dewasa.
3.      Powerlessness.  Terjadi ketika anak menjadi frustasi dan ketika diabaikan oleh  orang dewasa  ketika mereka mau  menyampaikan hal tersebut. Terdapat dua efek yang  berbeda yaitu anak akan merasa cemas dan tidak  berdaya atau  anak akan mengidentifikasi perilaku agresif,  kebutuhan berlebihan untuk dominan dan mengontrol,. Terhadap  perilaku anak: mimpi buruk, phobia, eating disorder, pergi dari rumah,  menjadi anti social, perilaku kekerasan pada  orang lain.
4.      Stigmatization. Anak mengetahui bahwa aktivitas seksual adalah hal yang tabu dan tidak pantas dilakukan. Sehingga anak akan merasa  dirinya berbeda dari  orang  lainnya dan merasa  akan ditolak bila kebenaran terungkap. Sehingga anak akan malu pada diri sendiri, merasa bersalah, dan memiliki self image yang rendah.

Faktor Protektif
     Faktor protektif yang paling konsisten teridentifikasi untuk anak-anak yang mengalami pelecehan seksual adalah hubungan suportif dengan ibu yang baik. Bertentangan dengan pengalaman seorang anak yang menjadi kambing hitam dalam keluarga, dukungan dari ibu merupakan mediator yang paling penting terhadap efek penyesuaian anak pada pelecehan seksual seiring dengan waktu.

Kotroversi dalam penelitian pelecehan seksual
Tuduhan yang salah
     Dalam beberapa dekade yang lalu, pengadilan telah mulai mengijinkan anak untuk memberikan testimoni yang belum dipastikan tentang pelecehan seksual, dan seringkali bukti yang tersedia hanya laporan anak tersebut. Dengan adanya peningkatan ketersediaan anak untuk bersaksi, bagaimanapun juga meningkatkan perhatian atas reliabilitas dan validitasnya. Yang paling menjadi sorotan atas tuduhan yang salah adalah laporan pelecehan seksual yang direkayasa.
     Secara umum, diperkirakan prevalensi dari laporan palsu bervariasi dari 5-30%. Hal ini menjadi lebih umum pada situasi-situasi seperti pada konflik perceraian dimana orang tua mungkin saja melatih seorang anak untuk membuat pernyataan palsu untuk mendapatkan hak asuh dari orang tua lainnya. Dalam kasus yang lain, laporan palsu dapat berangkat dari pertanyaan-pertanyaan yang sengaja diarahkan termasuk pertanyaan yang datang dari investigator pelecehan seksual pada anak. Anak yang berusia 3-5 tahun lebih rentan terhadap arahan ini daripada anak yang lebih tua. Arahan cenderung diterima oleh anak ketika ia merasa terintimidasi oleh pewawancara tersebut, terutama ketika wawancara menyatakannya dengan tegas dan mengulanginya berkali-kali dan ketika lebih dari satu pewawancara melakukan pengarahan yang sama.
     Dapat disimpulkan peneliti menunjukkan posisi dokter dalam dilema. Di saat pertanyaan-pertanyaan spesifik dapat meningkatkan terbuktinya suatu kesalahan, wawancara yang dibatasi pada pertanyaan-pertanyaan yang open-ended dapat mengakibatkan pelecehan seksual jadi tidak terdeteksi.

Penyebab: pelaku pelecehan seksual
     Secara garis besar, pelaku pelecehan seksual adalah pria (82% dari kasus yang berkaitan). Pelecehan seksual pada anak dapat merupakan salah satu bentuk keadaan yang lebih umum dari terangsang secar seksual oleh pedofilia. Pelaku pelecehan seksual dapat juga tetap memiliki hubungan dengan wanita dewasa. Lebih dari 40% dari pelaku adalah remaja.

Konteks individual
     Sampai sekarang, tidak adanya profil psikiatris yang dapat mengemukakan acuan karakter pelaku pelecehan seksual. Caffin, Letourneau, dan Silovsky (2002) menyatakan bahwa beberapa pelaku pelecehan dapat dideskripsikan sebagai orang yang pemalu dan tidak asertif, sedangkan lainnya mempesona, pandai berbicara, mudah bergaul. Pria yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak beberapa kali terbukti memiliki masalah penyalahgunaan obat dan alkohol sebelum peristiwa tersebut terjadi, tapi tidak selalu konsisten.
     Remaja pelaku pelecehan seksual memiliki kesamaan dengan anak sebayanya yang tidak melakukan pelecehan seksual, dimana mereka memiliki kemampuan sosial dan pengendalian impuls yang rendah. Masalah dalam kemampuan belajar dan bahasa mungkin menyebabkan terisolasinya mereka secara sosial. Depresi juga sering dihubungkan dengan sejarah mereka dilecehkan secara seksual atau fisik (kekerasan dalam keluarga dan korban pelecehan seksual pada usia dini menyebabkan agresi seksual mereka).

Konteks keluarga
     Karakteristik dari keluarga yang anaknya mengalami pelecehan seksual antara lain adanya hubungan ibu dan anak yang agak jauh, keberadaan orang tua tiri, dan fungsi utama keluarga yang tidak berjalan. Karakteristik lainnya meliputi keluarga dengan koalisi orang tua yang lemah, keluarga yang tidak menunjang kemandirian, sistem nilai yang kaku, orang tua yang tidak bisa menunjukkan dukungan emosional dan ketidakmampuan dalam menghargai kebutuhan anak yang terpisah dari kebutuhan mereka.

Model integratif
     Finkelhor (1984) mengidentifikasi 4 hal yang dapat memprediksi potensi orang dewasa melakukan pelecehan seksual terhadap anak, dengan mengintegrasikan konteks-konteks interpersonal dan sosiokultural, seperti:
1.      Motivasi untuk melakukan pelecehan seksual. Kebutuhan akan kekuasaan dan pengendalian terhadap orang lain, begitu pula kebutuhan untuk mengulang pengalaman pelecehan dan trauma. Dari sisi sosiokultural, ketersediaannya penggambaran erotis atas anak-anak pada periklanan dan pornografi dapat mengembangkan impuls ini.
2.      Tidak adanya hambatan konstrain internal. Karakteristik pelaku yang dapat mengatasi konstrain internal meliputi mental retardasi, impulsivitas, kurangnya rasa empati, penggunaan alkohol, dan sistem nilai keluarga yang memungkinkan incest atau menggunakan anak untuk tujuan seksual.
3.      Tidak adanya hambatan konstrain eksternal. Faktor utama di sini adalah kemudahan pelaku untuk mengakses anak.
4.      Mengatasi perlawanan anak. Seringkali pelecehan terjadi setelah periode pendekatan yang cukup lama dan indoktrinasi yang bertahap. Kekuasaan pelaku terhadap korban meningkat ketika ia berada dalam posisi yang sudah diberikan kepercayaan dan tanggung jawab. Contohnya, sebagai pelatih, pengasuh anak, atau orang tua tiri, dimana anak sudah terbiasa untuk berinteraksi dan menurut.


5.      Pemeparan terhadap kekerasan domestik dalam rumah tangga
     Menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga ketika hal ini dilakukan terhadap figur ibu (yang dapat menimbulkan pengalaman traumatis), investigator juga melihat ini sebagai efek yang membahayakan bagi perkembangan anak.

Definisi dan karakteristik
     Seperti kekerasan pada anak yang memiliki berbagai bentuk, kekerasan domestik dapat melibatkan agresi fisik, ancaman verbal, pelecehan seksual, dan kekerasan psikologis, keseluruhan dapat disaksikan oleh anak di dalam rumah. Tanpa menjadi saksi visual pun (mendengar tangisan, atau bahkan pada anak yang tuli, merasakan hempasan tubuh seorang ibu yang terlempar membentur pintu ruangan dimana anak tersebut bersembunyi sudah cukup untuk membuat anak tersebut merasakan teror), anak dapat terpengaruh oleh hal tersebut.

Tahap Perkembangan
Perkembangan kognitif
     Meskipun anak-anak yang tumbuh di dalam rumah yang terjadi kekerasan tidak secara konsisten menunjukan penurunan kognitif, mereka sering memperlihatkan masalah-masalah akademis. Penelitian terhadap penilaian anak-anak menunjukkan bahwa anak-anak yang sering menyaksikan kekerasan yang intens dan mengancam antara orang tuanya cenderung mengalami tekanan, contohnya menyalahkan diri sendiri. Anak-anak dapat mengembangkan harapan yang tidak realistis atas kemampuannya sendiri dalam mengendalikan pertengkaran orang tuanya. Bahayanya termasuk sang anak dapat menempatkan dirinya pada posisi yang berbahaya dengan mencoba ikut campur secara fisik dalam perkelahian orang tua, atau anak akan merasa bersalah dan tidak berguna.

Perkembangan emosional
     Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang terpapar pada kekerasan domestik memiliki serangkaian masalah emosional dan perilaku. Pada anak yang lebih muda, hal ini meliputi insecure attatchment, dan pada usia sekolah masalah eksternal dan internal (depresi, kecemasan, dan agresi). Pada remaja, masalah perilaku akan semakin parah, terlibat kenakalan remaja, dan pikiran bunuh diri. Pemaparan terhadap kekerasan di rumah merupakan prediktor independen pada masalah eksternal bagi anak laki-laki dan internal bagi anak perempuan.
     Waktu pemaparan terhadap kekerasan juga berpengaruh. Jika pemaparan terjadi pada usia prasekolah, maka ketika remaja, mereka akan menghadapi kesulitan dalam menyesuaikan diri. Sedangkan, perilaku anak laki-laki pada usia kanak-kanak menengah yang nakal dapat diprediksi karena kekerasan pada masa yang sama.
     Masa kanak-kanak yang terpapar akan kekerasan adalah salah satu prediksi terbaik terhadap perilaku kriminal laki-laki dewasa. Anak-anak yang terpapar pada kekerasan kronis di rumah akan menjadi terbiasa dengan hal tersebut dan pada kenyataannya mengarah kepada sensitivitas.

Perkembangan sosial
     Pemaparan kekerasan memiliki efek negatif pada hubungan interpersonal anak-anak. Anak usia prasekolah menunjukkan agresi dan efek negatif dalam berinteraksi dengan anak yang lain. Pada usia sekolah, mereka mengalam kesulitan dalam membangun kepercayaan dan kemampuan sosial yang rendah daripada anak lain dan cenderung terbiasa mempercayai bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah normal dan dapat dibenarkan. Pada usia remaja, tidak mengherankan bahwa mereka cenderung terlibat dalam hubungan asmara yang kasar dan mereplikasikan pola kekerasan yang mereka lihat di rumah.

Penyebab: Pelaku Kekerasan Fisik
     Laki-laki yang melakukan kekerasan terhadap pasangannya kebanyakan terbukti memiliki banyak gejala PTSD dan memiliki sejarah masa kanak-kanak yang penuh dengan kekerasan fisik, malu terhadap orang tua, kekerasan psikologis, dan kekerasan domestik yang signifikan. Anak-anak yang tidak memiliki attachment yang aman tidak dapat menenangkan dirinya sendiri di hadapan ancaman, dan mengarah kepada emosi yang tidak dapat dikontrol dan berujung kepada agresi.
     Emery dan Laumann-Billings (1998) menyarankan bahwa kerangka referensi harus lebih diperluas melihat faktor individu hanya merupakan 1 dari 4 rangkaian variabel yang saling berinteraksi sehingga meningkatkan resiko kekerasan domestik. Kekerasan dapat dikonsepkan sebagai hasil dari: (1) karakteristik keribadian individu, (2) konteks sosial langsung, seperti strutur keluarga dan stresor akut (contohnya hilangnya pekerjaan atau kematian anggota keluarga), (3) karakteristik lingkungan, seperti kemiskinan, isolasi sosial, dan kekerasan di daerah tempat tinggal, (4) faktor kemasyarakatan, seperti kepercayaan budaya yang mengijinkan penggunaan agresi dalam hubungan dan prevalensi kekerasan di media.


Intervensi dan pencegahan
Kekerasan fisik, penelantaran, kekerasan psikologis
Intervensi untuk anak yang mengalami kekerasan dan penelantaran
     Regulasi emosi dihambat pengalaman emosi negatif yang sangat berpengaruh tanpa adanya hal yang bersifat menenangkan sama sekali. Dan sebagai akibatnya, anak yang tidak dapat mentolerir emosi yang kuat cenderung akan melarikan diri proses membuka pikiran dan perasaan yang berhubungan dengan kekerasan yang mereka alami (yang justru sangat dibutuhkan dari mereka dalam terapi ini). Teknik untuk menangani masalah ini meliputi memberikan anak-anak kendali atas proses, seperti dalam penentuan waktu kapan dan untuk berapa lama mereka akan berbicara tentang kekerasan tersebut, ataupun penggunaan strategi pengurangan kecemasan pada latihan relaksasi.

Intervensi untuk orang tua yang melakukan kekerasan
     Beragam strategi dapat digunakan, termasuk edukasi orang tua, latihan kemampuan pemecahan masalah, pengurangan tekanan, kelompok diskusi, dan terapi psikodinamis individual. Azar (1997) menyatakan bahwa pendekatan kognitif behavioral yang terarah pada restrukturisasi kognisi salah yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan cukup menjanjikan.

Pencegahan kekerasan
     Pencegahan utama yang bertujuan untuk mengubah pola interaksi orang tua-anak yang maladaptif sekaligus menangani keseluruhan keluarga dan lingkungan berkisar sekitar permulaan pola asuh yang menggunakan kekerasan. Program pencegahan ini membantu mereka dalam beberapa tingkatan: menjawab kebutuhan konkrit seperti latihan kemampuan mendapatkan makanan, popok, pengasuh anak, ataupun pekerjaan; meningkatkan kemampuan dan ketepatan pengasuhan melalui edukasi dan dukungan orang tua; meningkatkan kualitas interaksi orang tua-anak melalui intervensi yang berorientasi hubungan; dan dalam kasus tertentu memberikan rangsangan kognitif untuk balita atau terapi individual untuk ibunya.
     Intervensi berbasis rumah merupakan contoh utama dalam program kunjungan rumah pra-kelahiran dan balita. Bantuan berbasis rumah dilakukan oleh praktisi keperawatan, yang dapat memberikan edukasi orang tua yang berhubungan dengan perkembangan anak, mengikutsertakan keluarga dan teman dari sang ibu dalam membantu memperluas jaringan dukungan dan menghubungkan keluarga dengan pelayanan sosial dan medis lainnya.
     Program yang dilanjutkan sampai 2 bahkan 10-15 tahun menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan ibu-ibu grup kontrol, ibu yang mendapatkan program kunjungan rumah lebih sedikit mengalami kasus pengaduan pada lembaga perlindungan anak, memiliki lebih banyak pertimbangan untuk menambah anak, berpikiran lebih terbuka dalam masalah kesejahteraan keluarga, dan kecenderungan yang lebih rendah untuk tertangkap atau terlibat dalam kasus penyalahgunaan obat.

Pelecehan seksual
Intervensi untuk anak-anak yang mengalami pelecehan seksual
     Finkelhor dan Berliner (1995) merumuskan secara umum elemen intervensi yang dirancang untuk anak-anak yang mengalami kekerasan seksual, meliputi: (1) menyemangati anak untuk menceritakan perasaan atas pengalaman buruknya, (2) mengubah pandangan negatif seperti menyalahkan diri sendiri, (3) mengajarkan kemampuan pencegahan kekerasan, (4) menghilangkan perasaan terisolasi dan terstigmatisasi. Penelitian metaanalisis memastikan bahwa penanganan untuk menangani anak-anak yang mengalami pelecehan seksual bermanfaat dalam mengurangi gejala dengan bukti terkuat yang berhubungan dengan cognitive behavioral treatment (CBT) yang memfokuskan pada penilaian yang berhubungan dengan kekerasan spesifik. Celano et al. (1996) mengembangkan intervensi yang dirancang untuk mengurangi “kepercayaan traumagenik” – penyalahan diri dan ketidakberdayaan pada anak perempuan yang mengalami pelecehan seksual. Setelah terapi, figur ibu akan lebih suportif pada anaknya dan cenderung mengurangi penyalahan diri dan menunjukkan lebih sedikit ketakutan berlebih akan efek kekerasan terhadap anaknya.

Intervensi terhadap pelaku pelecehan seksual
     Ceffin et al. (2002) mengulas penelitian terkait intervensi terhadap pelaku pelecehan seksual. Beberapa tema yang berkaitan dengan tujuan penanganan dapat diidentifikasikan sebagai berikut: (1) menghadapi penyangkalan, (2) mengidentifikasikan faktor resiko, (3) mengurangi distorsi kognitif, (4) meningkatkan empati terhadap korban, (5) meningkatkan kompetensi sosial, (6) mengurangi penyimpangan seksual, dan (7) menangani trauma masa lalu dimana ia menjadi korban kekerasan.
     Salah satu intervensi yang menjanjikan adalah multisystemic therapy (MST) yang menargetkan beberapa aspek ekologi sosial remaja, seperti sekolah, keluarga, dan hubungan sejawat. Penelitian yang dilanjutkan selama 10 tahun memberikan efeksivitas MST terhadap pelaku pelecehan seksual remaja.

Pencegahan pelecehan seksual
     Kebanyakan program pencegahan melibatkan anak-anak dan memfokuskan pada pengajaran konsep kunci dan kemampuan tertentu. Diantaranya adalah mengajarkan kepada anak-anak bahwa mereka bertanggung jawab atas tubuhnya sendiri dan dapat mengendalikan aksesnya; adanya serangkaian sentuhan yang dapat berubah dari baik ke arah buruk, dan orang dewasa yang dipercaya tetap harus diingatkan jika ia membuat seorang anak merasa tidak nyaman atau aneh. Anak juga diberitahukan bahwa pelaku pelecehan seksual potensial biasanya lebih memilih individu yang dikenal baik daripada secara acak, dan anak-anak juga diajarkan cara untuk mempertahankan diri dari percobaan pelecehan seksual seperti menolak atau melarikan diri. Program pencegahan efektif dalam meningkatkan pengetahuan anak terhadap konsep pelecehan seksual dan kemampuan mempertahankan dirinya.

Pemaparan terhadap kekerasan domestik
Intervensi terhadap wanita yang dilukai dan anaknya
     Intervensi yang berkembang secara sensitif dan didukung secara empiris telah dikembangkan untuk anak-anak dari rumah yang mengalami kekerasan. Sebagai catatan, anak di bawah umur 5 tahun benar-benar tidak seharusnya berada di antara dan terpapar kekerasan antar orang tua, Jouriles et al. (1998) mengembangkan sebuah intervensi berbasis rumah yang menitikberatkan pada penyediaan bantuan dan pelatihan orang tua kepada ibu-ibu. Ibu-ibu yang menjalaninya terlihat memiliki strategi mempertahankan diri lebih baik dan kemampuan mengasuh yang lebih efektif serta masalah perilaku anak-anak pun berkurang.
     Sebuah program yang didukung baik untuk anak usia sekolah adalah kids club yang menyediakan intervensi paralel untuk anak dan ibunya. Kelompok-kelompok anak memberikan informasi atas kekerasan keluarga; menangani kepercayaan dan perilaku maladaptif; dan menyediakan strategi prososial untuk menghadapi masalah emosional, behavioral dan interpersonal. Intervensi terhadap ibu meliputi pendidikan mengenai efek kekerasan terhadap perkembangan anak, kemampuan mengasuh, dan manfaat dukungan dalam meningkatkan penguatan dan self esteem.

Intervensi terhadap pelaku kekerasan
     Ketika aman untuk melakukannya, ayah juga seringkali diikutsertakan dalam kelompok dimana wanita korban kekerasan berada. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan pemahaman ayah terhadap akibat dari kekerasan domestik pada anak-anak, menghadapi perilaku yang menganggap bahwa kekerasan terhadap istri merupakan hal normal, dan meningkatkan kemampuan mengasuh. Masalah kunci yang harus ditangani dari ayah meliputi: (1) resistensi dan penyangkalan, (2) pengetahuan mengenai perkembangan anak, (3) rasa malu dan cara menghadapinya, (4) empati terhadap anak, (5) masalah orang tua tiri, (6) keinginan untuk berkomitmen dalam melaksanakan pola asuh non- kekerasan.

Pencegahan kekerasan domestik
     Terapi kelompok terbukti merupakan alat yang kuat dalam pencegahan kekerasan interpersonal di seluruh tahap kehidupan. Wolfe et al. (1997) mengembangkan youth relationship project untuk mencegah perkembangan hubungan asmara yang kasar antar remaja.


Sekian dan Terima Kasih..