Sabtu, 12 Juli 2014

Kecemasan



Hai semua... kali ini saya akan membahas tentang kecemasan. Kecemasan adalah keadaan yang beroeriantasi pada masa yang akan datang, yang ditandai dengan efak negatif, dimana seseorang memfokuskan diri pada kemungkinan datangnya bahaya atau kemalangan yang tidak dikontrol. Biasanya rasa cemas ini terjadi pada saat adanya kejadian atau peristiwa tertentu, maupun dalam menghadapi suatu hal. Bahkan kecemasan ini perlu dimiliki oleh manusia. Apabila kecemasan itu berlebihan akan berubah menjadi abnormal, ketika kecemasan yang ada dalam diri individu menjadi berlebihan atau melebihi dari kapasitas umumnya. Individu yang mengalami gangguan seperti ini bisa dikatakan mengalami gangguan kecemasan yaitu ketakutan yang berlebihan dan sifatnya tidak rasional. Seseorang dikatakan menderita anxiety disorder apabila kecemasan atau anxietas ini mengganggu aktivitas dalam kehidupan dari diri individu tersebut. salah satunya terganggunya fungsi sosial dalam diriindividu. Misalnya, kecemasan yang berlebihan ini menghambat diri seseorang untuk menjalin hubungan akrab antar individu maupun kelompoknya.

Gangguan kecemasan berdasarkan DSM IV TR terdapat 9 kategori(Mash & Wolfe, 2010)
1.      Separation Anxiety Disorder
2.      Generalized Anxiety Disorder
3.      Specific Phobia
4.      Social Phobia
5.      Obsessive-Compulsive Disorder
6.      Panic Disorder
7.      Panic Disorder with Agoraphobia
8.      Post-traumatic Stress Disorder
9.      Acute Stress Disorder

Generalized Anxiety Disorder (GAD)
Kekhawatiran akan sesuatu yang tidak jelas.Penyebabnya tersebar luas dan focus pada kejadian setiap harinya. Dengan demikian anak yang mengalami GAD dapat menjadikan semua hal penyebab kecemasan.
Ada perbedaan secara budaya dalam gejala yang dialami. Budaya barat akan menunjukkan gejala kognitif sedangkan budaya Asia kan menunjukkan  gejala fisik (somatic).
Intervensi yang dilakukan dengan pendekatan cognitive-behavioral treatments. Salah satu yang sering digunakan adalah Program Coping Cat(dalam budaya lain dikenal dengan istilah Coping Koala). Proses perlakuan mengacu pada perwakilan kognisi dari lingkungan terhadap respon yang diberikan oleh anak.Tugas terapis adalah mengubah ketidaksesuaian pikiran, serta merubah perilaku dan respon emosi yang muncul bersamaan, dengan membuat pengalaman belajar baru bagi anak.
Tahap pertama FEAR,Feeling Fightened berarti gokus membantu anak untuk menyadari ketika merngalami perasaan takut.Tahap kedua Expecting Bad Things to Happen, dalam hal ini anak dibantu untuk mengidentifikasikan hal buruk yang menyertai ketika muncul rasa takut. Tahap yang ketiga  Attitudes and Action That Can Help, ini adalah bagian terapis untuk membantu anak melihat dengan lebih realistikmengenai kejadian takut yang dialami, dan kemudian mengatasi rasa takut itu. Tahap terakhir adalah Result and rewards, pada tahap ini anak mengevaluasi keberhasilan dari penyelesaian yang dilakukannya dan mendorong untuk berpikir kemungkinan rewards dari penyelesaian atas situasi kecemeasan.(Kerig & Wenar, 2006)
Hasil penelitian menemukan bahwa penderita GAD memberikan keluhan somatic dari laporan orangtua pada anak usia 9-11 tahun dan laporan diri pada anak usia 11-13 tahun (oleh Pimentel&Kendall, 2003. Dalam WILMHURST, 2009). Keluhan somatic yang dimaksud adalah :
Ø  Kegelisahan (restlessness)
Ø  Mudah lelah (ease of fatigue)
Ø  Mudah marah (irritability)
Ø  Masalah konsentrasi (concentration problems)
Ø  Otot menegang (muscle tension)
Ø  Masalah tidur (sleep problems)

Penyebab GAD dapat dipengaruhi oleh 3 model, yaitu: Biologi, kognitif, dan pengasuhan.  Model Biologi dalam penelitian pada anak kembar ditemukan bahwa 30-40% ditemukan dari factor genetik (oleh Eley, 1999. Dalam WILMSHURST, 2009).  Selain itu, beberapa penelitian menyebutkan pula bahwa akan meningkat pada hubungan keturunan pertama dengan GAD.Model Kognitif, Anak yang cemas akan mengembangkan respon menolak berdasarkan interpretasi terhadap situasi yang ambigu dengan cara yang negative (oleh Barrett, Rapee, Dadds, & Ryan,1996; Muris, Luermans, Merckelbach, & Mayer, 2000. Dalam WILMSHURST, 2009). Dalam dituasi yang lain, orang dewasa menunjukkan perkiraan yang berlebihan terhadap ancaman, bahaya, dan ketakutan, serta ketidakyakinan akan kemampuan untuk menyelesaikannnya (oleh Beck, Emery, & Greenberg, 1996. Dalam WILMSHURST, 2009).Model Pengasuhan, Orangtua yang terlalu menjaga anaknya atau merasa cemas akan dirinya akan bersikap melindungi anaknya dari ancaman dan dengan demikian akan menurunkan kesempatan anak untuk mengembangkan kemampuan menyelesaikan masalah serta mengembangkan kecenderungan sikap penolakan anak. Ada satu penelitian yang menunjukkan bahwa anak yang mengalami kecemasan kelekatan pada masa bayi memperlihatkan dua kali lipat kemungkinan untuk menderita gangguan kecemasan dalam masa dewasa dibandingkan dengan anak-anak yang mendapat cukup kelekatan (securely attached) (oleh Warren et al., 1997. Dalam WILMSHURST, 2009).
Tambahan penelitian. Dalam sebuah penelitian pada lebih dari 250 anak usia sekolah (7-12 tahun), peneliti menemukan bahwa tiga lingkup kecemasan terjadi di pada bidang sekolah, kesehatan, dan bahaya pribadi. Walaupun perbedaanusia tidak terlalu nampak, tetapi anak perempuan ditemukan lebih cemas daripada laki-laki (oleh BarrettRapee, Dadds, & Ryan, 1996. Dalam WILMSHURST, 2009).

Specificic Phobias
Definisi dan Karakteristik
Specific phobias adalah ketakutan berlebihan yang tidak beralasan yang terjadi karena kehadiran suatu objek spesifik atau saat berada dalam suatu situasi tertentu.
Prevalence
Cenderung lebih banyak terjadi pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki.
School phobia
School phobia merupakan salah satu contoh specific phobia yang sering ditemukan.
Pada school phobia, seorang anak mengalami ketakutan yang berlebihan terhadap beberapa hal di sekolah yang diikuti oleh simptom simptom kecemasan dan kepanikan, yang mengakibatkan anak tidak sanggup untuk pergi ke sekolah, baik parsial maupun total.
Umumnya, school phobia lebih cenderung dialami oleh anak laki-laki, berusia lebih dari 10 tahun, dan berasal dari keluarga yang berstatus sosial ekonomi yang baik (Blagg & Yule, dalam Kerig &Wenar).
Perbedaannya dengan SAD adalah anak-anak dengan school phobia dapat merasa nyaman dalam beberapa situasi selain di sekolah, sedangkan anak dengan SAD jika berada di rumah tetap harus ditemani oleh figur lekatnya agar merasa nyaman.
Developmental Course
Specific phobia memiliki age of onset yang berbeda-beda.
Animal phobia (takut terhadap hewan) dimulai pada usia 7 tahun, blood phobia (takut terhadap darah) muncul sekitar usia 9 tahun, dan dental phobia (takut terhadap dokter gigi) muncul pada usia 12 tahun. Sedangkan fear of enclosures dan social phobias dimulai pasa masa remaja atau dewasa awal (Silverman&Rabian, dalam Kerig&Wenar.
Intervention
Systematic Desensitization, yaitu mencoba mengurangi respon ketidaknyamanan terhadap objek yang ditakuti dengan cara riileksasi. 
Misalnya pada anak yang mengalami kecemasan saat berada di jalan raya.
Setelah anak melakukan tahap awal, anak tersebut diminta untuk rileks dulu sebelum memulai membayangkan situasi lain yang lebih membuat dia cemas (yang berhubungan dengan phobia yang dialaminya). 
Jika tahap rileksasi ini dapat dilewati dengan baik, maka prosedur berikutnya adalah dengan masuk ke situasi nyata yang ditakuti.Prosedur ini disebut in vivo "(real life") desensitization.
Prolonged Exposure
Prolonged Exposure merupakan kebalikan dari Systematic Desensitization, dimana pada metode ini anak dihadapkan pada stimulus yang menimbulkan ketakutan yang sepenuhnya, kemudian anak tersebut diberikan reinforcement jika mampu menghadapinya dalam periode waktu yang panjang.Reinforcement saat reaksi-reaksi fisiologis dari kecemasan tersebut mulai hilang ataupun berkurang mendekati normal.Metode ini bisa dilakukan dengan imajinasi maupun in vivo.
Modeling
Dalam modeling, anak-anak mengobservasi individu yang mampu beradaptasi dengan objek yang menimbulkan phobia.Metode ini lebih efektif jika partisipan yang dilibatkan juga anak-anak, setelah observasi, partisipan tersebut dapat menemani anak untuk menghadapi objek yang ditakuti.
Cognitive self-Management
Metode ini menekankan “self talk” untuk menghadapi efek-efek dari phobia, seperti mengatakan pernyataan “ aku berani dan bisa menjaga diriku sendiri”, “naik bis adalah sesuatu yang menyenangkan”, dan lain-lain.
Effectiveness
Ollendick dan King (dalam Kerig dan Wenar, 2006) melakukan studi tentang keefektifan metode-metode di atas menemukan bahwa metode-metode ini mungkin berkhasiat.

Social Phobias (Social Anxiety Disorder)
Definition and Characteristics
Anak-anak dengan Social Phobiaadalah  anak-anak yang mengalami masalah dalam self concept dan melakukan penolakan terhadap situasi-situasi social, mereka takut jika mereka akan melakukan hal-hal yang  memalukan atau
Anak-anak dengan social phobia mengalami symptom-simptom fisik yang menimbulkan ketidaknyamanan jika berada dalam situasi-situasi social (peningkatan denyut jantung, gemetar, keringat berlebihan, pikiran menjadi “blank”/ bingung, dan lain-lain) yang memberikan pengaruh kepada ketakutan-ketakutannya tersebut (seperti merasa bahwa ia ingin pergi dari tempat itu secepat mungkin). Hal ini dapat meningkat menjadi rasa panic, kehilangan control, dan merasa bahwa dia akan mati.
Anak-anak ini juga cenderung menjadi tidak asertif dan terlalu sensitive terhadap kritikan.
Pada masa kanak-kanak awal, social anxiety muncul dalam bentuk excessive shyness (rasa malu yang berlebihan). Anak-anak mungkin menunjukkan reaksi distress terhadap kehadiran orang dewasa atau anak sebaya yang belum dikenalnya, menangis, tidak mau berpisah (clinging), menjadi tantrum, serta mengarah kepada ketidakmampuan bicara. Mereka terkadang menolak untuk bermain dalam kelompok , tidak mau terlibat ke dalam kegiatan social, dan lebih memilih untuk menemaniorang dewasa dibandingkan bergaul dengan teman sebaya (Rapee & Sweeney, dalam Kerig & Wenar). Kelompok teman sebaya menjadi kurang tertarik pada anak-anak yang angkuh dan  kaku., dan anak-anak dengan kecemasan social mungkin akan ditolak dan tidak memiliki teman, sehingga self esteem mereka menjadi rendah dan merasakan suatu ketidakmampuan (inferiority).
Jarang ditemukan anak-anak dengan social phobia yang tidak diikuti oleh disorder yang lain, seperti yang diungkapkan oleh last dan koleganya (1992) bahwa 87 persen anak-anak dengan social phobia juga mengalami anxiety disorder yang lain.
Intervention
Treatment yang efektif untuk mengatasi social anxiety adalah Cognitive Behavioral  (Kendall, dkk, 2003). Beidel dan koleganya (2000) merancang sebuah program yang dinamakan Social Effectiveness Treatment for Children. Pada program ini, anak-anak akan mendapatkan 2 sesi treatment, yang pertama berfokus pada bagaimana menghadapi situasi yang menakutkan dan sesi kedua berfokus pada pelatihan keterampilan social.
Dalam studi yang lain, Spence dan koleganya (2000) menyelidiki tentang keefektifan suatu group treatment for children yang dikombinasikan dengan exposured therapy dan social skill training dengan relaksasi, problem solving, dan cognitive restructuring. Treatment juga lebih efektif jika melibatkan orangtua.

SEPARATION ANXIETY DISORDER (SAD)
SAD adalah ketakutan berlebihan yang dialami anak jika berpisah dengan subjek lekatnya, terutama orangtua.
SAD ditemukan sebanyak2-12 persen pada populasi umum, dan sekitar 29-45 persen pada populasi klinis.
Age of onset dimulai dari 7.5 sampai 8.7tahun.
SAD meningkatkan resiko mengalami anxiety atau depressive disorder pada masa dewasa.Pada wanita dewasa bisa meningkatkan resiko panic disorder dan agoraphobia.
Intervention
Terapi untuk Generalized Anxiety yang juga digunakan untuk SAD salah satunya adalah Kendall’s Cognitive-Behavioral  Coping Cat Program.


OBSESSIVE-COMPULSIVE DISORDER (OCD)
Gangguan kecemasan  lain yang dapat muncul pada anak-anak adalah obsessive-compulsive disorder  atau gangguan obsesif-kompulsif (OCD), yaitu merupakan gangguan kecemasan yang ditandai oleh ide-ide atau pikiran-pikiran (obsesi) dan perilaku (kompulsi) yang mengacau.  Mash & Wolfe (2010) mengemukakan bahwa pikiran-pikiran atau obsesi meliputi ide-ide, impuls, imej-imej yang terus muncul secara berulang, tak masuk akal, tidak dapat ditolak oleh anak dan menimbulkan kecemasan.Kecemasannya tidak beralasan dan untuk meredakan kecemasannya, anak melakukan perilaku kompulsi.Kompulsi adalah perilaku atau mental act berulang, disengaja, dan bertujuan sebagai respon terhadap obsesi.Obsesi dan kompulsi ini tidak dapat dikontrol oleh individu sehingga dapat berlangsung dengan durasi yang relatif lama dalam sehari dan mengganggu fungsi sehari-hari dari anak.Selain itu, karena ingin menyembunyikan ‘keanehan’-nya, anak cenderung menarik diri dari lingkungannya.
Obsesi yang paling sering muncul adalah terkontaminasi kuman, rasa takut akan bahaya yang menimpa diri sendiri ataupun orang lain, dan religiusitas yang berlebihan (Chang & Piacentini, 2002). Sesuai dengan tema obsesi yang sering muncul pada anak, kompulsi yang sering ditampilkan oleh mereka adalah mencuci tangan, pemeriksaan berulang-ulang (berkali-kali memeriksa pintu apakah sudah dikunci), preokupasi dengan keteraturan, dan berulangkali berhitung sampai angka tertentu dan menyentuh objek berkali-kali dalam jumlah tertentu.Kompulsi harus dilakukan secara tepat karena apabila tidak sesuai dengan ‘seharusnya’, dapat menimbulkan konsekuensi yang berbahaya dan menakutkan.
Contoh Obsesi dan Kompulsi  yang sering muncul pada anak yang mengalami gangguan obsesif-kompulsif (March dan Mulle, 1998)
Table 3 Contoh Perilaku Obesesi-Kompulsi
Obsesi
Kompulsi
Kontaminasi
Bahaya pada diri atau orang lain
Agresi
Seks
Agama, moralitas
Pikiran-pikiran terlarang
Simetri
Kebutuhan untuk memberitahu, bertanya, mengakui
Mencuci
Mengulang-ulang
Memeriksa
Menyentuh
Berhitung
Menyusun
Menimbun
Berdoa

Gejala-gejala OCD cenderung meningkat pada masa-masa di mana anak mengalami stress, seperti pada awal masuk sekolah, pindah rumah, perpisahan dengan anggota keluarga. Terdapat perbedaan gender pada masa kanak-kanak di mana anak laki-laki lebih awal dan juga lebih banyak dibandingkan perempuan (Rapoport dkk, 2000).
Gangguan obsesif-kompulsif biasanya komorbid dengan gangguan depresi dan gangguan kecemasan lainnya, khususnya social phobia, tic, dan gangguan kebiasaan (contoh : menggigiti kuku dan menarik rambut), juga penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Sedangkan pada anak, OCD umumnya komorbid dengan gangguan-gangguan disruptif seperti ADHD.Gangguan belajar juga biasanya terdapat pada anak penderita OCD, terutama yang bermasalah pada nonverbal reasoning
Pada masa perkembangan awal, beberapa pikiran semacam obsesi atau perilaku yang mirip dengan kompulsi umum ditampilkan oleh anak-anak karena mereka sedang berusaha menguasai tugas tahapan “mastery”. Gangguan obsesif-kompulsif dapat muncul pada usia 7 tahun meskipun rata-rata usia permulaan adalah 10-14 tahun (Weiss & Last, 2001).
Terdapat berbagai intervensi yang dapat diberikan kepada penderita gangguan obsesif-kompulsif :
1.      Farmakoterapi, dengan memberikan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors. Namun, bagi penderita OCD, terapi medis ini lebih merupakan pelengkap dari treatment lainnya.
2.      Cognitive-behavioral Treatment (CBT), terbukti sangat efektif bagi anak-anak penderita OCD (March & Mulle, 1998). CBT ini terdiri dari lima langkah :
a.      Psychoeducation, di sini anak diajak membuat perumpamaan-perumpamaan yang dekat dengan dunia mereka seperti mengganti  istilah ‘obsesi’ dengan ‘cegukan otak’  dan mengeksternalisasi gejala-gejala mereka dengan memberi nama
b.      Memperkenalkan strategi kognitif untuk ‘memerintah balik’ OCD, seperti self-talk yang konstruktif
c.      Pemetaan gejala-gejala dengan mengidentifikasi situasi-situasi di mana anak merasa dapat ‘menang’ melawan OCD dan juga situasi-situasi di mana anak merasa tak berdaya. Area tengah, di mana anak memperoleh sukses sebagian dalam melawan gejala-gejala, merupakan saat di mana terapis hadir bersama anak untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk menolak obsesi dan kompulsi
d.      Inti dari intervensi CBT yaitu pemaparan dengan pencegahan respon atau Exposure with Response Prevention (ERP). Exposure, sesuai dengan namanya, memaparkan anak dengan stimulus yang ditakutinya. Biasanya dilakukan bertahap meski terkadang dilakukan dengan secara tiba-tiba (Implosion therapy). Selanjutnya, di dalam response prevention, ritual kompulsif dihadang sehingga anak tidak dapat melakukan perilaku kompulsinya pada saat obsesi muncul.

POSTTRAUMATIC STRESS DISORDER
Seorang anak dikatakan mengalami gangguan stress pascatrauma  (PTSD) apabila ia menunjukkan kecemasan terus menerus menyusul peristiwa traumatis yang  berada di luar jangkauan pengalaman manusia sehari-hari (Fletcher,2007) dalam Mash & Wolfe (2010). Menurut DSM-IV-TR, pengalaman traumatis didefinisikan sebagai sebuah peristiwa yang meliputi ancaman kematian atau kematian yang nyata, luka berat, atau ancaman kepada diri sendiri atau orang lain.
Pengalaman-pengalaman yang biasanya masuk ke dalam kategori traumatis diantaranya adalah peristiwa-peristiwa malapetaka, seperti perang, penyiksaan, perkosaan, bencana alam (gempa bumi, tsunami, banjir, badai), juga bencana akibat kelalaian manusia (kebakaran dan kecelakaan kendaraan bermotor). Namun, pengalaman baru dapat dikatakan traumatis apabila memang dipersepsikan seperti itu (Pynoos, Steinberg, & Wraith, 1995). Dengan kata lain, penilaian anak pada peristiwa memegang peranan besar dalam menentukan muncul atau tidaknya PTSD. Seorang anak yang kognisinya mengenai peristiwa tersebut meliputi penilaian negatif seperti rasa malu, ketidakberdayaan, penyalahan diri sendiri, lebih cenderung untuk mengalami reaksi pascatrauma yang parah. Reaksi yang muncul biasanya adalah rasa takut yang intens, tidak berdaya, horror, dan pada anak-anak, perilaku disorganized dan agitated.
Yang membedakan PTSD dengan gangguan-gangguan kecemasan lainnya adalah sedikitnya aspek ‘irasionalitas’ atau ketidakmasukakalan.
Terdapat tiga kelompok gejala yang membentuk PTSD : mengalami kembali, menghindar, dan mati rasa (APA,2000) . Namun, dalam Kerig dan Wenar (2006), ditambahkan satu aspek lagi yaitu increased arousal.
1.      Mengalami kembali (reexperiencing), anak-anak yang mengalami PTSD menampilkan ‘mengalami kembali’ dari peristiwa traumatis, ditandai oleh ingatan-ingatan yang mengganggu dan menimbulkan kesulitan (distress) mengenai kejadian tersebut. Reexperiencing ini dapat muncul di saat-saat tak terduga, namun seringkali muncul ketika anak terpapar dengan hal-hal yang mengingatkan pada kejadian traumatis.  Pada anak, bentuk mengalami kembali dapat berupa mimpi buruk dan ‘memainkan’ kejadian traumatis tersebut.
2.      Penghindaran (avoidance) yang terus menerus dari stimulus-stimulus yang diasosiasikan dengan trauma atau justru meresponnya dengan mati rasa. Anak-anak dengan PTSD secara aktif menghindari pikiran-pikiran, kegiatan, ataupun orang-orang yang dapat memancing ingatan kembali mengenai trauma. Mati rasa ditandai dengan berkurangnya minat secara drastis yang sebelumnya dianggap menyenangkan.
3.      Meningkatnya arousal (arousal), contohnya gangguan tidur, kerentanan emosional sehingga menjadi mudah marah, kesulitan berkonsentrasi, reaktivitas fisiologis yang tinggi, dan hypervigilance (waspada berlebihan). Seorang anak yang hypervigilant menjadi sangat peka terhadap lingkungannya, memindai secara konstan tanda-tanda bahaya dan bereaksi secara intens kepada stimulus-stimulus yang tak diduga, seperti respon kejut yang dilebih-lebihkan.
Kondisi komorbid (penyerta) yang umumnya muncul pada penderita PTSD  adalah depresi, kecemasan, gangguan perilaku disruptif (Amaya-Jackson & March, 1995).
Ragam gejala yang muncul pada anak setelah mengalami peristiwa traumatis bervariasi sesuai dengan usianya (Kerig et al, 2000). Anak-anak yang berusia lebih kecil dapat mengalami regresi ke tingkat perkembangan sebelumnya, seperti kehilangan kontrol fisiologis seperti tidak bisa menahan pipis dan buang air besar, menangis hanya karena frustrasi sepele, menghisap jempol, dan menampilkan gangguan makan dan ketakutan, termasuk separation anxiety.
Pada usia prasekolah rentan terhadap distorsi kognitif yang akhirnya meningkatkan distress mereka. Selain itu, mereka juga bisa keliru tentang urutan kejadian traumatis yang dialami. Anak-anak usia sekolah lebih sering menampilkan ketakutan dan kecemasan, yang dapat disertai dengan sakit kepala, gangguan pendengaran dan penglihatan, berkelahi dengan peer group atau justru menarik diri. Mereka juga bisa mengalami gangguan tidur, seperti mimpi buruk dan mengompol. Anak-anak yang lebih muda mengalami kembali melalui perilaku, memainkan kembali peristiwa traumatis, sedangkan anak-anak yang lebih besar, mengalaminya melalui pikiran. Selanjutnya, pada anak-anak yang lebih besar dan remaja menampilkan perasaan futurelessness atau merasa bahwa mereka tidak berharap untuk bertumbuh, menikah, atau mencapai kebahagiaan di masa dewasa (Saigh, 1992).
Karakteristik dari anak serta sifat dari peristiwa traumatis menentukan apakah PTSD akan muncul atau apakah akan berlangsung lama (Kerig et al, 2000). Risiko meningkat ketika trauma yang dialami bersifat intens dan berulang serta meliputi agresi manusia, khususnya ketika kekerasan ditujukan kepada si anak atau seseorang yang dapat memberikan rasa aman kepada anak, seperti orangtua. Risiko dapat berkurang apabila peristiwa traumatis bersifat akut dengan akhir yang spesifik sehingga ketika kondisi kembali normal, anak dapat memiliki kesempatan untuk melampaui dampaknya.
Kerentanan (vulnerability) anak terhadap trauma mencakup traumatisasi yang pernah terjadi sebelumnya, temperamen yang sulit, serta penyesuaian emosional yang buruk. Sedangkan faktor-faktor protektif, yaitu faktor-faktor yang bersifat melindungi, termasuk di dalamnya temperamen yang resilien, kemampuan pengaturan afek, locus of control internal, sejarah pembelajaran bagaimana menghadapi peristiwa yang penuh stress, juga lingkungan keluarga yang suportif (Pynoos et al, 1995).
Dalam memulihkan PTSD, terdapat berbagai strategi yang dapat dilakukan.Strategi intervensi krisis (Nader and Pynoos, 1991) berupa “pertolongan psikologis pertama”.Pemulihan didatangkan langsung ke tempat terjadinya peristiwa traumatis sehingga dapat merangkul anak-anak dengan segera untuk mencegah terbentuknya reaksi-reaksi psikopatologis.Tujuan utama dari program ini adalah untuk menormalisasi reaksi PTSD, meminimalisir kekeliruan dan ketakutan, dan mengikutsertakan anak dalam reexposure (pemaparan kembali) yang bersifat terapeutik.
Selain itu, Amaya-Jackson dkk (2002) menggunakan cognitive behavioral therapy (CBT) yang dilakukan dalam kelompok.Sesi dimulai dengan psikoedukasi mengenai PTSD untuk menormalisasi gejala-gejala yang terkadang membuat anak merasa ‘menjadi gila’. Kemudian anak diminta menceritakan traumanya kepada anggota kelompok lain lalu menulis narasi penyembuhan mereka dalam bentuk buku cerita dengan akhir yang bahagia. Di sesi-sesi berikutnya, anak diajari mengenai strategi manajemen kecemasan serta kemampuan kognitif untuk menghadapi PTSD.

Jalur Perkembangan Gangguan Kecemasan
Memiliki gangguan kecemasan pada masa kecil meningkatkan risiko gangguan kecemasan di masa depan serta gangguan-gangguan sejenis (Kovacs & Devlin, 1998). Oleh karena itu, penting untuk mengetahui bagaimana proses berkembangnya gangguan kecemasan pada anak sebagai berikut :
Model Psikopatologi Perkembangan Terintegrasi dikembangkan oleh Vasey dan rekan-rekannya (Vasey & Dadds, 2001; Vasey & Ollendick, 2001). Terdiri dari empat elemen, yaitu :
1.      Faktor-faktor Predisposisi
a.      Konteks Biologis, ditemukan adanya pengaruh genetik dalam proses terbentuknya gangguan kecemasan, khususnya pada kasus OCD (Chang & Piacentini, 2002). Namun, lingkungan tetap memiliki andil besar di dalamnya. Selain itu, apa yang diturunkan dari generasi sebelumnya bukanlah gangguan kecemasan secara spesifik, tetapi lebih kepada predisposisi untuk mengembangkan gangguan dalam spektrum kecemasan.
Temperamen yang bersifat inhibited (terhambat) juga diasumsikan memainkan peran yang besar dalam timbulnya gangguan kecemasan. Bayi yang bertemperamen inhibited memiliki karakteristik aktivitas motor yang tinggi dan iritabilitas (lekas terganggu dan marah), bereaksi terhadap hal baru dengan membatasi dan menarik diri dan munculnya distres. Mereka juga umumnya pemalu, penuh ketakutan, serta menghindar dari tantangan.
Faktor neurobiologi, menunjukkan adanya peran sirkuit HPA (Hypothalamic-pituitary-adrenocortical) di otak yang diasosiasikan dengan ketakutan. Anak-anak inhibited memiliki ambang batas arousal yang rendah di dalam sirkuit HPA (Oosterlaan, 2001). Sedangkan dari segi biologis, orangtua anak-anak inhibited cenderung menampilkan social phobia dan memiliki sejarah gangguan kecemasan di masa kecilnya
b.      Konteks Keluarga, insecure attachment dikatakan meningkatkan kemungkinan berkembangnya gangguan kecemasan (Thompson, 2001). Pada attachment yang insecure, biasanya para pengasuh bersifat tidak peka dan tidak responsif sehingga anak memandang dunia sebagai tidak dipercaya (unreliable) dan tidak dapat ditebak (unpredictable) serta melihat dirinya tidak berdaya. Khususnya pada attachment yang bersifat resistant karena pengasuhan yang tidak konsisten dapat menimbulkan kekhawatiran yang kronis mengenai apakah kebutuhan sang anak akan dipenuhi.
c.      Konteks Individual, bias kognitif seperti bias pemrosesan informasi biasanya ditampilkan oleh anak-anak dengan gangguan kecemasan (Vasey dan Dadds, 2001). Pertama, attentional bias (bias perhatian) di mana anak-anak secara selektif peka terhadap peristiwa yang berpotensi menimbulkan bahaya. Mereka cenderung menginterpretasi situasi ambigu sebagai situasi yang bersifat mengancam. Kemudian, mereka memiliki keyakinan kognisi yang tidak realistis seperti persepsi bahwa dunia adalah tempat yang berbahaya dan memandang diri mereka tidak kompeten untuk mengatasi ancaman tersebut. Oleh karena itulah pada akhirnya mereka memiliki self-efficacy yang rendah. Kekurangan pada pengaturan emosi (emotion regulation), yakin mereka tidak dapat mengontrol respon cemas mereka.
2.      Dua Jalur Menuju Permulaan Gangguan Kecemasan
a.      Jalur Risiko Kumulatif, mencakup dampak-dampak yang berbahaya dari berbagai faktor-faktor predisposisi yang menumpuk dari waktu ke waktu menghasilkan tingkat kecemasan yang signifikan secara klinis.
b.      Jalur Peristiwa Pemicu, pengaruh dari peristiwa spesifik yang memicu timbulnya gangguan. Respondent conditioning, pada peristiwa traumatis, stimulus yang netral dapat diasosiasikan dengan stimulus menakutkan yang menimbulkan respon cemas dan takut. Operant conditioning, ketika anak belajar bahwa perilaku (misalnya, mendekati stimulus yang ditakuti) diikuti dengan konsekuensi aversif. Hukuman ini dapat menambah intensitas kecemasan anak dan meningkatkan upaya menghindari stimulus tersebut di masa mendatang. Noncontingent exposure, beberapa gangguan kecemasan dapat muncul sebagai reaksi dari peristiwa stressful yang tidak terkait (contoh :separation anxiety muncul karena pindah sekolah atau mengalami sakit dalam kurun waktu lama). Salah satu kemungkinannya adalah stressor-stressor yang tidak terkait tersebut ‘menghilangkan’ penguasaan terhadap ketakutan yang sebelumnya sudah dimiliki anak sehingga menimbulkan regresi atau mengganggu faktor protektif yang dimiliki anak.
3.      Faktor-faktor yang Mempertahankan atau Meningkatkan Kecemasan
a.      Konsekuensi dari menghindar: ketika anak menghindari situasi yang menakutkan, ia tidak belajar untuk mengatasinya secara konstruktif. Dengan menghindari, anak juga akan membatasi kesempatannya dalam membiasakan diri dengan situasi yang dianggap mengancam.
b.      Kompetensi sosial, akademi, dan pengaturan emosi yang buruk: kurangnya pembiasaan diri dan latihan menghadapi situasi sosial yang menakutkan dapat berakibat tidak berkembangnya kemampuan bersosialisasi, kemampuan mengatur emosi yang dapat mentoleransi dan menguasai rasa takut mereka.
c.      Bias kognitif: Clark (2001) menjabarkan proses bagaimana kognisi berperan dalam perkembangan kecemasan sosial à pikiran-pikiran negatif anak mengenai hasil yang ditakuti dalam situasi meningkat dikarenakan asumsi-asumsi yang mereka buat tentang diri mereka dan orang lain. Asumsi-asumsi tersebut adalah pengharapan yang terlalu tinggi pada diri sendiri; keyakinan terkondisikan (conditional beliefs) mengenai konsekuensi yang ditakuti; keyakinan negatif tentang diri. Ketiga asumsi ini dapat membuat anak berpikir situasi-situasi sosial bersifat mengancam dan memfokuskan perhatian pada diri mereka secara berlebihan.
d.      Pengalaman-pengalaman negatif: upaya menghindar berakibat pada kurangnya kompetensi sosial yang pada akhirnya membawa anak kepada pengalaman negatif yang nyata dan kegagalan di dalam lingkungan sosialnya.
e.      Respon orangtua: orangtua yang bersifat overprotective dan mengontrol dalam menjauhkan anak dari situasi-situasi yang menimbulkan kecemasan justru akan menghambat anak dalam melatih kompetensinya mengatasi situasi-situasi yang mengancam. Selain itu, orangtua yang tidak peka terhadap kecemasan anak dengan memaksa mereka menghadapi situasi sosial yang mengancam juga dapat semakin meningkatkan kecemasan dalam diri anak.
f.       Proses transaksional: anak-anak dapat belajar dengan mengimitasi kecemasan dari orangtua mereka yang juga mengalami kecemasan. Orangtua yang cemas mengatasi kecemasan anaknya dengan menghindar karena mereka sendiri tidak dapat menguasai kecemasan yang mereka alami. Asumsi bahwa orangtua yang cemas akan lebih empatik dan suportif pada anak mereka yang mengalami kecemasan ternyata tidak sepenuhnya benar. Justru pemasangan ini dapat meningkatkan kemungkinan munculnya afek negatif dalam hubungan orangtua-anak.
4.      Faktor-faktor yang Berperan dalam Desistance
Vasey & Dadds (2001) menciptakan model faktor-faktor amelioratif yang dapat membawa pada desistensi, di mana kelima faktor yang disebutkan sebelumnya digantikan dengan lawannya. Avoidance digantikan dengan approach, inkompetensi digantikan oleh self-efficacy, pengalaman kegagalan ditransformasi menjadi kisah sukses, dan penjagaan berlebihan dari orangtua dapat digantikan dengan dorongan untuk menguasai kecemasan.

Konteks budaya, perbedaan budaya dalam pengasuhan dan membesarkan anak dapat memberikan dampak dalam pemunculan gangguan kecemasan pada anak. Contohnya budaya Asia menekankan inhibition, kepatuhan, penilaian sosial yang dapat menimbulkan rasa malu, inhibition, dan gangguan somatis pada anak. Namun, apakah perilaku cemas tersebut dianggap bermasalah  dan bagaimana dapat berkembang ke arah yang patologis, tergantung pada interpretasi budaya terhadap perilaku tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
Kerig, P. K., & Wenar, C. (2006). DEVELOPMENTAL PSYCHOPATHOLOGY. From Infancy through Adolescence. New York: McGraw-Hill.
Mash, E. J., & Wolfe, D. A. (2010). Abnormal Child Psychology. Canada: Wadsworth.
WILMSHURST, L. (2009). ABNORMALCHILD PSYCHOLOGY. A Developmental Perspective. New York: Taylor & Francis Group, LLC.