Kamis, 30 Juli 2015

Cognitive Behavior Therapy untuk Menurunkan Tingkat Depresi Pada Orang Dengan Kehilangan Penglihatan

     Hai semua.. Kali ini saya ingin membahas mengenai terapi psikologi yang sering digunakan oleh para terapis kejiwaan yaitu Cognitive behavior Therapi (CBT). Banyak kasus kejiwaan yang dapat ditangani oleh CBT salah satunya adalah Depresi. Depresi bisa terjadi pada siapa saja, seperti pada orang yang baru kehilangan penglihatannya atau orang dengan kebutaan yang tidak dari lahir atau bawaan.
       Individu dengan kehilangan penglihatan biasa disebut sebagai tunanetra.       Kehilangan penglihatan berarti bahwa cara-cara yang biasa dilakukan untuk mengatasi kegiatan umum seperti membaca, menulis, berjalan sesuai dengan arah, bekerja dan lain sebagainya yang tidak akan dapat dilakukan lagi, sehingga menyebabkan seseorang tidak dapat memenuhi tuntutan kehidupannya. Tugas-tugas yang sederhana pun kini mungkin tampak sangat sulit dan berbahaya bagi orang dengan kehilangan penglihatan, terutama jika orang tersebut memiliki pandangan yang negatif tentang ketunetraan seperti memunculkan ketergantungan seumur hidup dan tidak berdaya. Di samping itu, jika orang dengan kehilangan penglihatan berkeyakinan bahwa situasinya tidak akan membaik secara signifikan dalam waktu dekat, maka keputusasaan dan depresi akan dialaminya. Namun jika seseorang dapat melewati masa penyesuaian dirinya dengan tanpa penglihatan berlangsung dengan baik maka ia tidak akan mengalami gangguan psikologisnya dan afeksinya dapat terjaga secara baik pula (Dodds,1993).
       Dodds (1993) mengatakan bahwa ketunanetraan yang terjadi dengan tiba-tiba dapat mengakibatkan depresi, kecemasan, persepsi diri yang tidak tepat, menurunnya tingkat motivasi, rendahnya harga diri dan rendahnya self-efficacy. Keadaan seperti kecemasan dan depresi, umum dialami oleh orang yang baru mengalami kehilangan penglihatan. Dalam keadaan depresi, orang tidak dapat membuat pertimbangan yang sehat, tidak realistis, pesimistik dan prediksinya tentang masa depan suram serta kehilangan harapan. Hal ini diperparah oleh persepsi masyarakat tentang ketunanetraan yang cenderung negatif, yang pada gilirannya individu tunanetra itu sendiri dapat mengembangkan persepsi diri yang tidak tepat. Persepsi yang tidak tepat mengenai ketunanetraan ini membuat banyak individu tunanetra merasa kehilangan harga dirinya dan menjadi depresi. Orang yang kehilangan penglihatannya, menyebabkan kehilangan harga diri dan lebih disebabkan oleh perasaan kehilangan kompetensi yang pernah dimilikinya. Oleh karena itu, penting diberikan adanya suatu tritmen tertentu untuk membantu permasalahan psikologis yang dialami oleh orang dengan kehilangan penglihatan.
       Beck (McDowell & Newel, 1996) mendefinisikan depresi sebagai keadaan abnormal organisme yang dimanifestasikan dengan simptom-simptom seperti menurunnya mood subjektif, rasa pesimis dan sikap nihilistik, kehilangan kespontanan serta adanya gejala vegetatif (seperti kehilangan berat badan dan gangguan tidur). Depresi juga merupakan gangguan kompleks yang meliputi gangguan afeksi, kognisi, motivasi dan perilaku.
       Seseorang yang mengalami kebutaan tidak sejak lahir atau yang mengalami ketunanetraan disebabkan oleh faktor dari luar (eksternal) lebih memerlukan waktu untuk beradaptasi dan menerima keadaan dirinya daripada yang mengalami ketunanetraan sejak lahir (Ro’fah, Andayani & Muslisun, 2010). Kondisi demikian sangat rentan mengalami depresi. Pada beberapa wawancara dan observasi yang dilakukan pada tunanetra baru yang berada di panti rehabilitasi penyandang cacat, menyatakan bahwa kebutaan yang dialami membuat sedih dan kehilangan semangat, sulit tidur dan kehilangan nafsu makan, merasa tidak berguna dan tidak bisa membantu keluarga lagi. Subyek cenderung memilih untuk menyendiri dan merasa sudah tidak mempunyai harapan dan berpikir bahwa masa depannya akan menjadi buruk, mudah marah dan mudah terpancing emosi bahkan ada yang berpikir untuk bunuh diri (Radiani, 2015).
       Meskipun banyak terapi yang dapat diberikan pada individu yang mengalami depresi, namun hendaknya dapat memberikan terapi yang sesuai dengan teori dan pendekatan yang dilakukan. Depresi disebabkan oleh adanya skema kognitif atau munculnya distorsi kognitif, rendahnya penilaian terhadap diri sendiri dan tidak adanya keyakinan mengenai masa depannya. Proses kognisi ini akan memerentarai proses belajar manusia, dimana pikiran, perasaan dan tingkah laku yang saling berhubungan secara kausal. Dengan demikian pendekatan yang digunakan harus dapat mengatasi kecenderungan yang dialami penderita depresi yaitu dengan menggunakan pendekatan kognitif dan pendekatan perilaku. Terapi yang menggunakan terapi kognitif dan perilaku adalah Cognitive Behavior Therapy (CBT).  CBT digunakan untuk memerbaiki distorsi kognitif yang lebih mengutamakan kognisi atau pikiran, proses berfikir dan bagaimana kognisi memengaruhi emosi dan perilaku. Hal ini memengaruhi cara individu dalam memandang diri dan masa depan sehingga akan memunculkan suatu kekuatan dalam dirinya bahwa dirinya mampu untuk mengatasi permasalahan tersebut (Oemarjoedi, 2004).
       Proses CBT diawali dengan melakukan penekanan terhadap metode berpikir dimana terapis membantu klien mengubah pikiran dan pernyataan diri negatif serta keyakinan-keyakinan klien yang tidak rasional kemudian merubah cara berpikirnya menjadi lebih rasional atau mengganti cara-cara berpikir yang tidak logis menjadi logis. Diakhir terapi, diharapkan individu mempunyai kemampuan untuk mengenali dan kemudian mengevaluasi atau mengubah cara berfikir, keyakinan dan perasaannya (mengenai diri sendiri dan lingkungan) yang salah sehingga individu dapat mengubah perilaku yang maladaptif menjadi adaptif dengan cara memelajari keterampilan pengendalian diri dan strategi pemecahan masalah yang efektif (Oemarjoedi, 2003).
       Penjelasan di atas didukung oleh penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa Cognitive Behavior Therapy dapat mengurangi tingkat depresi dimana subyek menjadi memiliki tujuan hidup, lebih banyak bersyukur, timbul keyakinan pada diri, semangat yang semakin meningkat, tidak mudah marah, tidur lebih nyenyak, kegelisahan dan perasaan berkurang, nafsu makan menjadi lebih baik dan memiliki harapan untuk hidup lebih baik (Lubis, 2008). Penelitian lain membuktikan bahwa CBT dapat menghilangkan keadaan depresi pada individu dengan ketunanetraan. Di dalam terapi ini, atribut-atribut self yang negatif dikonfrontasi dan secara bertahap diganti oleh yang lebih positif. Penelitian yang dilakukan di pusat penelitian mobilitas bagi tunanetra di Universitas Nottingham (Inggris) telah mengidentifikasi skema pikiran dan perasaan yang hampir sama di kalangan orang yang baru kehilangan penglihatannya (Dodds, 1993). Orang yang menunjukkan tanda-tanda depresi tampak sangat cemas, merasa rendah diri, fokus kontrolnya pada eksternal, yakin bahwa mereka akan gagal dalam menjalankan tugas-tugas baru, bersikap negatif terhadap orang tunanetra dan tidak menerima ketunanetraannya sendiri. Jika mereka merasa gagal dalam salah satu faktor tersebut, maka mereka akan merasa gagal dalam semua faktor lainnya juga. Klien dalam penelitian tersebut diberikan terapi CBT dan hasilnya menunjukkan ada perubahan pada tingkat depresinya dimana tingkat depresi lebih rendah setelah diberikan CBT. Hal ini menunjukkan bahwa CBT sesuai apabila diterapkan pada kondisi individu dengan kehilangan penglihatan.
        Pada penelitian Radiani (2015) menunjukkan hasil analisis dimana intervensi Cognitive Behavior Therapy pada orang dengan kehilangan penglihatan yang menjadi depresi berhasil menunjukkan perubahan pada tingkat depresinya. Kategori simtom-simtom motivasional, emosional, afektif, kognitif dan fisik dan vegetatif menjadi lebih baik. Hasil tersebut sebelumnya melalui proses terapi. Dalam proses Cognitive Behavior Therapy, subyek menentang keyakinan pikiran negatif dan mengubahnya menjadi pikiran positif. Hal ini diakui subyek dapat mengubah perasaan dan pada akhirnya subyek juga menunjukkan perilaku yang lebih positif. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan tingkat depresi antara sebelum mendapatkan terapi dan dengan tingkat depresi sesudah mendapatkan terapi.

Daftar Pustaka

Radiani,A.,W. Cognitive Behavior Therapy Untuk Penurunan Depresi pada Orang dengan Kehilangan Penglihatan. Tesis (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Magister Profesi Psikologi Universitas Mercu Buana.

Dodds, A. (1993). Rehabilitating blind and visually impaired people: A psychological approach. London: Chapman& Hall.


Haeba, N. (2009). Terapi Kognitif Perilaku dan Depresi Pasca Melahirkan. Jurnal Intervensi Psikologi. 1(1).41-75.

Lubis, N. L. (2008). Aplikasi kognitif tingkah laku (CBT) dengan sokongan sosial terhadap estim kendiri dan depresi penyakit kanker. Tesis (Tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara.


McDowel, I & Newell, C. (1996). Measuring health: a guide to rating scales and questionnaire (2nd ed). New York: Oxford University Press.

Nevid, J.S., Rathus, S.A., & Grene, B. (2005). Psikologi abnormal. Jilid dua. Jakarta: Erlangga.

Oemarjoedi, A. K. (2003). Pendekatan cognitive behavior dalam psikoterapi. Jakarta: Penerbit Creatif Media.

Ro’fah, A., & Muhrisun. (2010). Inklusi pada pendidikan tinggi: best practices pembelajaran dan pelayanan adaptif bagi mahasiswa difabel netra. Yogyakarta : PSLD Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.