Hai semua.. Kali ini saya ingin membahas
mengenai terapi psikologi yang sering digunakan oleh para terapis kejiwaan yaitu
Cognitive behavior Therapi (CBT). Banyak kasus kejiwaan yang dapat ditangani
oleh CBT salah satunya adalah Depresi. Depresi bisa terjadi pada siapa saja,
seperti pada orang yang baru kehilangan penglihatannya atau orang dengan
kebutaan yang tidak dari lahir atau bawaan.
Individu dengan
kehilangan penglihatan biasa disebut sebagai tunanetra.
Kehilangan penglihatan berarti bahwa cara-cara yang biasa dilakukan
untuk mengatasi kegiatan umum seperti membaca, menulis, berjalan sesuai dengan
arah, bekerja dan lain sebagainya yang tidak akan dapat dilakukan lagi,
sehingga menyebabkan seseorang tidak dapat memenuhi tuntutan kehidupannya.
Tugas-tugas yang sederhana pun kini mungkin tampak sangat sulit dan berbahaya
bagi orang dengan kehilangan penglihatan, terutama jika orang tersebut memiliki
pandangan yang negatif tentang ketunetraan seperti memunculkan ketergantungan
seumur hidup dan tidak berdaya. Di samping itu, jika orang dengan kehilangan
penglihatan berkeyakinan bahwa situasinya tidak akan membaik secara signifikan
dalam waktu dekat, maka keputusasaan dan depresi akan dialaminya. Namun jika
seseorang dapat melewati masa penyesuaian dirinya dengan tanpa penglihatan
berlangsung dengan baik maka ia tidak akan mengalami gangguan psikologisnya dan
afeksinya dapat terjaga secara baik pula (Dodds,1993).
Dodds
(1993) mengatakan bahwa ketunanetraan yang terjadi dengan tiba-tiba dapat
mengakibatkan depresi, kecemasan, persepsi diri yang tidak tepat, menurunnya
tingkat motivasi, rendahnya harga diri dan rendahnya self-efficacy. Keadaan seperti kecemasan dan depresi, umum dialami
oleh orang yang baru mengalami kehilangan penglihatan. Dalam keadaan depresi,
orang tidak dapat membuat pertimbangan yang sehat, tidak realistis, pesimistik
dan prediksinya tentang masa depan suram serta kehilangan harapan. Hal ini diperparah oleh persepsi
masyarakat tentang ketunanetraan yang cenderung negatif, yang pada gilirannya
individu tunanetra itu sendiri dapat mengembangkan persepsi diri yang tidak
tepat. Persepsi yang tidak tepat mengenai ketunanetraan ini membuat banyak
individu tunanetra merasa kehilangan harga dirinya dan menjadi depresi. Orang
yang kehilangan penglihatannya, menyebabkan kehilangan harga diri dan lebih
disebabkan oleh perasaan kehilangan kompetensi yang pernah dimilikinya. Oleh
karena itu, penting diberikan adanya suatu tritmen tertentu untuk membantu
permasalahan psikologis yang dialami oleh orang dengan kehilangan penglihatan.
Beck (McDowell
& Newel, 1996) mendefinisikan depresi sebagai keadaan abnormal organisme
yang dimanifestasikan dengan simptom-simptom seperti menurunnya mood subjektif, rasa pesimis dan sikap
nihilistik, kehilangan kespontanan serta adanya gejala vegetatif (seperti
kehilangan berat badan dan gangguan tidur). Depresi juga merupakan gangguan
kompleks yang meliputi gangguan afeksi, kognisi, motivasi dan perilaku.
Seseorang yang mengalami kebutaan
tidak sejak lahir atau yang mengalami ketunanetraan disebabkan oleh faktor dari
luar (eksternal) lebih memerlukan waktu untuk beradaptasi dan menerima keadaan
dirinya daripada yang mengalami ketunanetraan sejak lahir (Ro’fah, Andayani
& Muslisun, 2010). Kondisi demikian sangat rentan mengalami depresi. Pada
beberapa wawancara dan observasi yang dilakukan pada tunanetra baru yang berada
di panti rehabilitasi penyandang cacat, menyatakan bahwa kebutaan yang dialami
membuat sedih dan kehilangan semangat, sulit tidur dan kehilangan nafsu makan, merasa
tidak berguna dan tidak bisa membantu keluarga lagi. Subyek cenderung memilih
untuk menyendiri dan merasa sudah tidak mempunyai harapan dan berpikir bahwa masa
depannya akan menjadi buruk, mudah marah dan mudah terpancing emosi bahkan ada
yang berpikir untuk bunuh diri (Radiani, 2015).
Meskipun
banyak terapi yang dapat diberikan pada individu yang mengalami depresi, namun
hendaknya dapat memberikan terapi yang sesuai dengan teori dan pendekatan yang
dilakukan. Depresi disebabkan oleh adanya skema kognitif atau munculnya
distorsi kognitif, rendahnya penilaian terhadap diri sendiri dan tidak adanya
keyakinan mengenai masa depannya. Proses kognisi ini akan memerentarai proses
belajar manusia, dimana pikiran, perasaan dan tingkah laku yang saling
berhubungan secara kausal. Dengan demikian pendekatan yang digunakan harus
dapat mengatasi kecenderungan yang dialami penderita depresi yaitu dengan
menggunakan pendekatan kognitif dan pendekatan perilaku. Terapi yang
menggunakan terapi kognitif dan perilaku adalah Cognitive Behavior Therapy (CBT).
CBT digunakan untuk memerbaiki distorsi
kognitif yang lebih mengutamakan kognisi atau pikiran, proses berfikir
dan bagaimana kognisi memengaruhi emosi dan perilaku. Hal ini memengaruhi cara
individu dalam memandang diri dan masa depan
sehingga akan memunculkan suatu kekuatan dalam dirinya bahwa dirinya mampu
untuk mengatasi permasalahan tersebut (Oemarjoedi, 2004).
Proses CBT diawali dengan melakukan
penekanan terhadap metode berpikir dimana terapis membantu klien mengubah pikiran dan pernyataan diri negatif serta
keyakinan-keyakinan klien yang tidak rasional kemudian merubah cara berpikirnya
menjadi lebih rasional atau mengganti cara-cara berpikir yang tidak logis
menjadi logis. Diakhir terapi, diharapkan individu mempunyai kemampuan
untuk mengenali dan kemudian mengevaluasi atau mengubah cara berfikir,
keyakinan dan perasaannya (mengenai diri sendiri dan lingkungan) yang salah
sehingga individu dapat mengubah perilaku yang maladaptif menjadi adaptif
dengan cara memelajari keterampilan pengendalian diri dan strategi pemecahan
masalah yang efektif (Oemarjoedi, 2003).
Penjelasan di atas didukung oleh
penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa Cognitive Behavior Therapy dapat
mengurangi tingkat depresi dimana subyek menjadi memiliki tujuan hidup, lebih
banyak bersyukur, timbul keyakinan pada diri, semangat yang semakin meningkat,
tidak mudah marah, tidur lebih nyenyak, kegelisahan dan perasaan berkurang,
nafsu makan menjadi lebih baik dan memiliki harapan untuk hidup lebih baik
(Lubis, 2008). Penelitian lain membuktikan bahwa
CBT dapat menghilangkan keadaan depresi pada individu dengan ketunanetraan. Di
dalam terapi ini, atribut-atribut self
yang negatif dikonfrontasi dan secara bertahap diganti oleh yang lebih positif.
Penelitian yang dilakukan di pusat penelitian mobilitas bagi tunanetra di
Universitas Nottingham (Inggris) telah mengidentifikasi skema pikiran dan
perasaan yang hampir sama di kalangan orang yang baru kehilangan penglihatannya
(Dodds, 1993). Orang yang menunjukkan tanda-tanda depresi tampak sangat cemas,
merasa rendah diri, fokus kontrolnya pada eksternal, yakin bahwa mereka akan
gagal dalam menjalankan tugas-tugas baru, bersikap negatif terhadap orang
tunanetra dan tidak menerima ketunanetraannya sendiri. Jika mereka merasa gagal
dalam salah satu faktor tersebut, maka mereka akan merasa gagal dalam semua
faktor lainnya juga. Klien dalam penelitian tersebut diberikan terapi CBT dan
hasilnya menunjukkan ada perubahan pada tingkat depresinya dimana tingkat
depresi lebih rendah setelah diberikan CBT. Hal ini menunjukkan bahwa CBT
sesuai apabila diterapkan pada kondisi individu dengan kehilangan penglihatan.
Pada penelitian
Radiani (2015) menunjukkan hasil
analisis dimana intervensi Cognitive
Behavior Therapy pada orang dengan kehilangan penglihatan yang menjadi
depresi berhasil menunjukkan perubahan pada tingkat depresinya. Kategori
simtom-simtom motivasional, emosional, afektif, kognitif dan fisik dan
vegetatif menjadi lebih baik. Hasil tersebut sebelumnya melalui proses terapi.
Dalam proses Cognitive Behavior Therapy,
subyek menentang keyakinan pikiran negatif dan mengubahnya menjadi pikiran positif. Hal ini diakui subyek
dapat mengubah
perasaan dan pada akhirnya subyek juga menunjukkan perilaku yang lebih positif.
Secara keseluruhan dapat
disimpulkan bahwa ada perbedaan tingkat depresi antara sebelum
mendapatkan terapi dan dengan tingkat depresi sesudah mendapatkan terapi.
Daftar Pustaka
Radiani,A.,W.
Cognitive Behavior Therapy Untuk Penurunan Depresi pada Orang dengan Kehilangan
Penglihatan. Tesis (Tidak diterbitkan).
Yogyakarta: Magister Profesi Psikologi Universitas Mercu Buana.
Dodds, A. (1993). Rehabilitating
blind and visually impaired people: A psychological approach. London:
Chapman& Hall.
Haeba, N.
(2009). Terapi Kognitif Perilaku dan Depresi Pasca Melahirkan. Jurnal Intervensi Psikologi. 1(1).41-75.
Lubis, N. L. (2008). Aplikasi kognitif tingkah laku (CBT)
dengan sokongan sosial terhadap estim kendiri dan depresi penyakit kanker. Tesis (Tidak diterbitkan). Fakultas
Psikologi, Universitas Sumatera Utara.
McDowel, I & Newell, C. (1996). Measuring health: a guide to rating scales and questionnaire (2nd ed).
New York: Oxford University Press.
Nevid, J.S., Rathus, S.A., &
Grene, B. (2005). Psikologi abnormal.
Jilid dua. Jakarta: Erlangga.
Oemarjoedi, A. K. (2003). Pendekatan
cognitive behavior dalam psikoterapi. Jakarta: Penerbit Creatif Media.
Ro’fah, A., & Muhrisun. (2010). Inklusi pada pendidikan tinggi: best
practices pembelajaran dan pelayanan adaptif bagi mahasiswa difabel netra.
Yogyakarta : PSLD Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.