Selasa, 09 Februari 2016

Kehamilan dan Pre Natal

        Hai semua.. kali ini saya ingin membahas mengenai kehamilan dan pra natal. Kehamilan dan kelahiran bayi mempunyai arti emosional yang sangat besar bagi seorang ibu. Salah satu simbol kehamilan yang biasa terjadi adalah ngidam. “Ngidam”, merupakan simbolisasi dari berbagai emosi atau ketidak-nyamanan yang muncul berkaitan dengan kehamilan, sehingga muncul keinginan yang “aneh-aneh”. Kehamilan merupakan stresor adanya suatu perubahan besar dalam kehidupan si wanita.
        Setiap ibu hamil pasti mempunyai ketakutan dan kecemasan yang berbeda selama kehamilan, seperti masalah keuangan, risiko kematian (si ibu/si bayi), kelelahan/sakit fisik, kemungkinan bayi lahir cacat, hal-hal yang berkaitan dengan tahayul, rasa bersalah (terutama pada wanita yang tak menginginkan si bayi lalu berusaha menggugurkan), takut menjadi jelek, takut saat diperiksa, takut suami mencari wanita lain dan hal apa yang mungkin terjadi setelah melahirkan.
       Selain itu, terdapat juga kegelisahan dan ketakutan ibu menjelang kelahiran bayi seperti takut mati, trauma kelahiran, rasa bersalah/berdosa pada ibunya, Takut bayi akan cacat, takut bayi bernasib buruk, takut beban hidup semakin berat, kegelisahan dan ketakutan bisa mempersulit proses persalinan.
       Selain hal-hal negatif yang dipikirkan oleh ibu hamil, ada juga hal positif yang terjadi seperti adanya perasaan bahagia, puas, merasa menjadi wanita yang “lengkap”, dan harapan yang membahagiakan. Yang diperlukan wanita saat hamil adalah rasa aman secara sosial serta support atau dukungan dari suami, keluarga dan lingkungan. Setelah kelahiran bayi (bila suasana perasaan positif), ibu akan menerima si bayi seutuhnya, bahagia, yang teringat dan dikenang hanya pengalaman yang baik saja, dan ibu harus mengubah sikap sesuai dengan sikap orang-tua.
       Saat kelahiran tiba, bayi menjadi pusat perhatian. Bila lingkungan POSITIF (mendambakan), maka bayi akan mengalami berbagai macam bentuk kesenangan. Bila lingkungan NEGATIF (tidak menghendaki), bayi akan mengalami penolakan, dimusuhi dan diterlantarkan.
      Setelah melahirkan, ibu harus menyesuaikan diri dalam menyusui bayi. Hal yang penting saat ibu menyusui adalah adanya instink maternal (perlindungan dan pengorbanan untuk anaknya) dan kepekaan si ibu menanggapi signal (pertanda) dari si bayi seperti tangisan, senyuman, dan ocehan.
        Problem yang mungkin ada pada periode menyusui  yaitu konflik yang dialami ibu yang bekerja dimana ASI diantar pulang, dan harus meninggalkan bayi di tempat penitipan bayi. Kemudian kesulitan ekonomi atau tidak adanya support atau dukungan, serta kekecewaan menjadi seorang ibu, ingin melarikan diri dari tugas-tugas seorang ibu. Pada periode menyusui ini, support dari lingkungan (suami, keluarga, tempat kerja, lingkungan sekitar) sangatlah diperlukan.

      Relasi ibu-anak dipengaruhi oleh pengalaman ibu, kematangan ibu, tipe kepribadian ibu, pendidikan ibu serta pengetahuannya tentang perkembangan anak dan kesehatan, kecerdasan ibu, lingkungan sekitar, termasuk faktor kultural. Jika ibu memiliki semua pengaruh tersebut, maka bayi akan berkembang dengan baik dan ibu akan mampu melanjutkan hidupnya dengan baik pula.
         Demikian pembahasan dari saya, semoga bermanfaat..

Sabtu, 06 Februari 2016

Sekilas Mengenai seorang Pelaut

       Hai semua.. kali ini saya ingin sedikit bercerita mengenai sebuah pekerjaan yang menurut saya luar biasa. Pekerjaan itu adalah menjadi seorang pelaut. Ada apa dengan seorang pelaut?
        Jika berbicara mengenai psikologis seseorang tidak akan habisnya, banyak hal yang menarik yang bisa kita ketahui dari sisi psikologi. Kali ini saya tertarik membicarakan mengenai sisi lain dari seorang pelaut. Kalian pasti pernah mengenal kartun Popeye kan?, kartun seorang pelaut yang terkenal di era tahun 90an. Mungkin dari kartun itulah, profesi pelaut jadi digemari oleh banyak orang, seperti pengalaman yang akan didapatkannya, baik dari segi teori maupun praktek, penghasilan yang menggiurkan hingga bentuk tubuh yang selalu terjaga dengan baik dan sehat.  Tapi... dari semua hal positif tadi, ternyata ada juga hal negatif pada diri pelaut, misalnya harus meninggalkan keluarga berbulan-bulan bahkan mungkin tahunan, kemudian ada yang bilang bahwa pelaut itu memiliki pasangan di mana-mana, kekhawatiran akan keselamatan di tengah laut dan kebiasaan dalam mengkonsumsi minuman beralkohol untuk menghangatkan badannya. Di tengah terjangan ombak maupun badai laut, bagi pelaut minuman beralkohol itu sangat bermanfaat walaupun kadang-kadang mereka harus mabuk. Meskipun demikian, sebenarnya sebelum menjadi seorang pelaut, pihak pemerintah melalui sekolah calon pelaut sudah memberikan pendidikan yang cukup ketat, baik dari sisi keilmuan maupun norma-norma. Mereka juga dilarang untuk mabuk ataupun melakukan seks bebas. Biasanya hal buruk yang dilakukan oleh seorang pelaut, kemungkinan disebabkan karena pengaruh dari para senior dan lingkungan kerja yang bisa berubah dalam pergaulan.
       Saya pernah mengenal seorang pelaut yang mengatakan bahwa banyak pelaut yang sebenarnya tidak bercita-cita menjadi pelaut, mereka hanya mengikuti teman-temannya yang berkeinginan menjadi pelaut. Kebanyakan dari mereka mendapatkan info bahwa seorang pelaut dapat memperoleh gaji yang besar serta petualangan menarik yang akan didapatkan. Meskipun demikian, banyak ketakutan lain yang juga dirasakan oleh pelaut, seperti jika pelaut masih bujangan maka ia takut ditinggal oleh pacarnya karena pacaran jarak jauh. Kemudian, bagi yang sudah berkeluarga atau masih tinggal dengan keluarga besar, pelaut harus meninggalkan keluarganya dan hidup hanya dengan sekelompok kecil, takut akan cemooh orang-orang yang hanya mengenal sisi negatif pekerjaan pelaut, ketakutan akan badai dan ombak besar. Beberapa pelaut juga akan kebingungan untuk mengisi aktivitas kesehariannya apabila ia sudah mendarat dan tidak bekerja untuk memperoleh pemasukan ekonomi. Oleh karena itu, untuk mensiasati kehidupannya, pelaut harus mempunyai investasi di darat dalam menunjang kehidupannya saat tidak bekerja, seperti usaha toko ataupun usaha sesuai dengan bakat dan keadaan masing-masing. Akan rugi sekali jika sebagai pelaut mempunyai uang hanya ketika bekerja di tengah laut, dan mendarat dengan banyak uang namun ketika sudah lama tidak berlayar, investasi menjadi berkurang sedikit demi sedikit dan pada akhirnya tidak dapat menutupi kebutuhan keluarga lagi. Oleh karena itu, akan lebih baik seorang pelaut dapat mempunyai usaha lain selain pekerjaan melaut.
       Cerita lain lagi mengenai kehidupan seorang pasangan hidup pelaut yaitu istri pelaut. Karena kebanyakan pelaut itu adalah laki-laki, sehingga muncul pertanyaan bagaimana perasaan seorang istri yang jauh dari suaminya dan masalah apa saja yang mungkin akan terjadi. Saya pernah menangani sebuah kasus keluarga dari istri pelaut, sebut saja namanya Nani. Karena ditinggal oleh suaminya melaut, Nani menjadi kesepian, dan cara nya menyibukkan diri adalah bekerja. Ia rela meninggalkan anaknya untuk pergi bekerja. Dalam keluarganya terlihat kurangnya afeksi atau kedekatan antar keluarga dan pada akhirnya yang menjadi korban adalah anaknya. Anaknya kurang mendapatkan perhatian dari ibunya karena ibunya merasa harus sibuk memikirkan perasaannya sendiri. Dalam beberapa kali konseling dan terapi pikiran, saya cukup memberikan pemahaman pada sang istri pelaut bahwa perannya sangat penting dalam keluarga karena perannya akan dua kali lipat yaitu sebagai ayah dan ibu.
       Saya pernah membaca sebuah penelitian yang mengatakan bahwa salah stu resiko besar yang harus dihadapi pelaut adalah terbatasnya waktu untuk berkumpul dengan keluarga. Keith & Schaefer (dalam Fesbach, 1987) mengemukakan bahwa terdapat konflik peran pada istri-istri yang suaminya memiliki waktu kerja yang panjang karena dengan demikian kesempatan untuk membangun nilai-nilai keluarga seperti kedekatan, kehangatan, dan keintiman menjadi berkurang. Banyak lagi faktor-faktor pendukung terciptanya kepuasan perkawinan yang kurang dapat dipenuhi seutuhnya oleh seorang suami seperti terbatasnya waktu yang dimiliki karena tuntutan pekerjaannya. Kondisi dimana istri harus lebih banyak menanggung beban serta lebih besar bertanggung jawab terhadap kelangsungan kehidupan rumah tangga seperti istri pelaut akan menyebabkan tidak dapat dipenuhinya beberapa faktor tersebut di atas.
       Dari beberapa penelitian juga diketahui bahwa tingkat kepuasan perkawinan istri pelaut naik dan turun silih berganti. Pada umumnya tinggi rendahnya kurva kepuasan perkawinan istri pelaut dipengaruhi oleh keberhasilan penyesuaian diri istri terhadap tugasnya baik sebagai istri maupun sebagai istri pelaut. Keberhasilan pada masa penyesuaian diri berpengaruh pada kuatnya landasan perkawinan selanjutnya. Selain itu, kurva kepuasan perkawinan juga dipengaruhi oleh terpenuhinya faktor-faktor yang mendukung terciptanya kepuasan perkawinan, yaitu afeksi dari suami, keberhasilan anak-anak dalam sekolah dan kelancaran karir suami, kualitas komunikasi yang buruk dengan suami, faktor sosial, faktor hubungan intim, faktor peran dan tingkah laku suami yang kurang sesuai dengan keinginan istri serta faktor kebutuhan istri yang tidak terpenuhi oleh suami, khususnya kebutuhan untuk dimengerti. Faktor-faktor kepuasan perkawinan yang tidak dapat dipenuhi oleh suami dapat menimbulkan ketidakpuasan perkawinan yang dirasakan istri pelaut.

      Nah itu sedikit pembahasan saya mengenai pelaut, maaf jika ada hal yang salah, saya tidak mempunyai niat untuk menyinggung siapapun. Semoga bermanfaat dan terima kasih.

Selasa, 02 Februari 2016

Tahapan Kehidupan (Erikson)

       Hai semua... kali ini saya ingin berbagi kembali mengenai ilmu psikologi. Kali ini saya ingin membahas mengenai siklus kehidupan yang dipandang melalui Teori Erik Erikson. Erikson biasa menyebutnya sebagai 8 tahap kehidupan. Tahapan kehidupan akan dialami semua orang sejak lahir hingga orang itu meninggal. Tahapan ini melalui urutan tertentu dan tidak dapat dilompati, karena tahap yang sebelumnya merupakan fondasi bagi tahapan berikutnya. Tiap tahap mempunyai ciri dan target tertentu yang harus dicapai agar perkembangan kepribadian menjadi optimal. Hal ini disebut juga sebagai prinsip epigenetik.
       Tahapan kehidupan yang disebutkan oleh Erikson merupakan tahap perkembangan psikososial setiap orang. Tahapan itu adalah tahap trust versus mistrust,  autonomy versus shame and doubt,  initiative versus guilt,: industry versus inferiority,  ego identity versus role confusion,  intimacy versus isolation, generativity versus stagnation, ego integrity versus despair. Diawal tahapan tersebut sejalan dengan tahapan psikoseksual dari Sigmund Freud sampai akhir masa remaja dan tahapan terakhir ditambahkan oleh Erikson, mulai dewasa muda sampai manula.
       Pada tahapan pertama yaitu TRUST VS MISTRUST (0-18 bulan) disebutkan bahwa The infant “lives through and loves with” its mouth. Disini bayi mulai mengamati dan memberi signal. Kepekaan primary care taker untuk merespons signal dari bayi sangat penting. Bila kebutuhan terpenuhi, maka akan terbentuk TRUST, dimana bayi mempunyai rasa percaya pada lingkungan. Bila tidak terpenuhi atau terlantar maka akan MISTRUST. Bayi menjadi tidak percaya bahwa lingkungan akan membantunya, sehingga akan memunculkan rasa takut pada bayi. Tahap inilah awal munculnya perasaan takut pada diri seseorang.
       Tahapan kedua adalah tahap AUTONOMY vs SHAME & DOUBT  (18 bulan – 3 tahun). Disini anak mulai bisa bicara, bisa mengontrol sphincter dan gerakan motoriknya. Beri kesempatan anak mengembangkan kemampuan kontrolnya (“Holding on and letting go”). Disni sering ada “battle” antara anak dengan pengasuhnya. Sikap lingkungan sebaiknya tegas tapi menenteramkan, jadi bukan galak dan selalu melarang. Targetnya rasa otonomi, bila tak berhasil yang terbentuk rasa malu dan ragu-ragu.Tahap inilah awal munculnya rasa malu dan ragu-ragu.
       Pada tahap ketiga disebut INITIATIVE  vs  GUILT (3-5 tahun). Anak secara aktif memasuki dunia dengan suaranya, geraknya, rasa ingin tahunya. Anak mencoba semuanya (“being on the make”).  Beri kesempatan untuk berinisiatif, walaupun belum menghasilkan sesuatu yang berarti, beri support. Hindari untuk selalu melarang dan memarahi/menghukum. Jika berhasil, maka akan muncul rasa inisiatif. Apabila tidak berhasil, yang dominan adalah rasa bersalah. Saat inilah berkembangnya perasaan bersalah dan inisiatif.
       Pada tahap keempat adalah INDUSTRY vs INFERIORITY (5 – 13 tahun). Tahapan ini adalah tahap usia sekolah dasar. Anak mulai berkarya. Handaknya lingkungan dapat memberi fasilitas dan kesempatan. Beri pujian dan bimbingan untuk hasil karyanya, agar muncul rasa industri nya, dia tidak enggan untuk berkarya. Bila sering dihina, direndahkan, diremehkan, yang muncul rasa rendah diri.
       Pada tahap kelima yaitu IDENTITY vs ROLE CONFUSION (13 – 21 tahun). Tahapan ini bersamaan dengan onset pubertas (perubahan fisik). Sejalan dengan mulainya perubahan psikologis dan sosial. Anak akan “mencoba-coba peran”, dan mencari identitas yang pas. Ia mempunyai beberapa idola yang mungkin berubah-ubah. Beri kesempatan dan pengarahan, sehingga anak mantap dengan rasa identitasnya, termasuk social role dan gender role. Bisa tidak berhasil, bisa terjadi “kebingungan peran” , rasa identitas yang belum mantap.
       Pada tahapan keenam adalah INTIMACY vs ISOLATION (21 – 40 tahun). Anak akan bisa mencintai dan dicintai,“to love and to work” Bisa berkarya dan diterima secara social. Yang harus dicapai adalah rasa kedekatan dengan lingkungan, terutama pasangannya. Bila tidak tercapai, yang terjadi “rasa terisolasi.
       Tahapan ketujuh adalah GENERATIVITY vs STAGNATION (40 – 60 tahun). Anak akan merasa dalam hidupnya sudah mantap, fungsi utama adalah sebagai orang-tua dalam membesarkan dan membimbing anak-anaknya serta generasi dibawahnya. Establishing and guiding the next generation. Disamping itu masih harus produktif dan kreatif. Kepribadian harus semakin mature. Bila tidak ada peningkatan, terjadi stagnasi.
       Pada tahapan kedelapan yaitu INTEGRITY vs DESPAIR (60 tahun – meninggal). Yang seharusnya dicapai adalah kebijaksanaan dan kebahagiaan di masa tua. Merasa segalanya sudah tercukupi. Bila tidak tercapai, maka timbul “rasa keputus-asaan/kekecewaan/kehilangan harapan.
       Nah itu sekedar informasi mengenai siklus kehidupan setiap manusia. Semoga bermanfaat..