Kamis, 21 Februari 2013

Ratardasi Mental dan Down Sindrom

       Hai semua.. kali ini saya akan memberikan informasi mengenai Ratardasi Mental dan Down Sindrom. Banyak wilayah di Indonesia, khususnya di daerah-daerah yang jauh dari pusat kota, di mana sebagian besar penduduknya mungkin belum mengetahui banyak informasi mengenai Down Syndrome dan retardasi mental, para penderita ganggua ini mendapat perlakuan yang tidak selayaknya. Perlakuan yang tidak layak dalam konteks ini adalah mungkin dianggap ‘gila’ oleh masyarakat atau tidak mendapat perawatan yang tepat. Labeling ini lah yang menghambat proses pengoptimalisasian potensi yang dimiliki anak-anak dengan gangguan mental dan Down Syndrome. Tak jarang juga keluarga penderita juga mendapat atribusi yang tidak mengenakkan dari masyarakat.
       Berkaca dari keadaan para penderita baik gangguan mental maupun Down Syndrome di luar negeri, eksistensi mereka di Indonesia pun dapat dioptimalkan. Jika di luar di negeri kita sering mendengar mereka dapat bersekolah, bekerja, bahkan di Rusia ada yang berhasil menjadi aktor, di Indonesia pun tak ada kata tidak mungkin untuk melakukannya.
       Apa sih gangguan Ratardasi Mental itu? Retardasi Mental (Mental Retardation/Mentally Retarded) berarti terbelakang mental.  Retardasi mental sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai berikut:
1. Lemah fikiran ( Feeble-minded);
2. Terbelakang mental (Mentally Retarded);
3. Bodoh atau dungu (Idiot);
4. Pandir (Imbecile);
5. Tolol (Moron);
6. Oligofrenia (Oligophrenia);
7. Mampu Didik (Educable);
8. Mampu Latih (Trainable);
9. Ketergantungan penuh (Totally Dependent) atau Butuh Rawat;
10. Mental Subnormal;
11. Defisit Mental;
12. Defisit Kognitif;
13. Cacat Mental;
14. Defisiensi Mental;
15. Gangguan Intelektual
Di Amerika Serikat prevalensi gangguan ini adalah 3:100 orang (The Arc, 2001). American Psychiatric Accociation tahun 2000 (dalam Rathus, 2005, h.149-153) menyatakan penyebab dari retardasi mental dapat disebabkan oleh:
a.      Sindrom down dan abnormalitas kromosom lainnya
Wade pada tahun 2000 menyatakan abnormalitas kromosom yang paling umum menyebabkan retardasi mental adalah sindrom down yang ditandai oleh adanya kelebihan kromosom atau kromosom ketiga pada pasangan kromosom ke 21, sehingga mengakibatkan jumlah kromosom menjadi 47. 
Anak dengan sindrom down dapat dikenali berdasarkan ciri-ciri fisik tertentu, seperti wajah bulat, lebar, hidung datar, dan adanya lipatan kecil yang mengarah kebawah pada kulit dibagian ujung mata yang memberikan kesan sipit. Lidah yang menonjol, tangan yang kecil, dan berbentuk segi empat dengan jari-jari pendek, jari kelima yang melengkung, dan ukuran tangan dan kaki yang kecil serta tidak proporsional dibandingkan keseluruhan tubuh juga merupaka ciri-ciri anak dengan sindrom down. Hampir semua anak ini mengalami retardasi mental dan banyak diantara mereka mengalami masalah fisik seperti gangguan pada pembentukan jantung dan kesulitan pernafasan.
b.      Sindrom Fragile X dan Abnormalitas genetik lainnya
Sindrom fragile X merupakan tipe umum dari retardasi mental yang diwariskan. Gangguan ini disebabkan oleh mutasi gen pada kromosom X. gen yang rusak berada pada area kromosom yang tampak rapuh, sehingga disebut sindrom fragile X. sindrom ini menyebabkan retardasi mental pada 1000-1500 pria dan hambatan mental pada setiap 2000-2500 perempuan. Efek dari sindrom fragile X berkisar antara gangguan belajar ringan sampai retardasi parah yang dapat menyebabkan gangguan bicara dan fungsi yang berat.
Phenylketonuria (PKU) merupakan gangguan genetik yang terjadi pada satu diantara 10000 kelahiran. Gangguan ini disebabkan adanya satu gen resesif yang menghambat anak untuk melakukan metabolisme. Konsekuensinya, phenilalanin dan turunannya asam phenilpyruvic, menumpuk dalam tubuh, menyebabkan kerusakan pada system saraf pusat yang mengakibatkan retardasi mental dan gangguan emosional. 
c.      Faktor prenatal
Penyebab retardasi mental adalah infeksi dan penyalahgunaan obat selama ibu mengandung. Infeksi yang biasanya terjadi adalah Rubella, yang dapat menyebabkan kerusakan otak. Penyakit ibu juga dapat menyebabkan retardasi mental, seperti sifilis, cytomegalovirus, dan herpes genital. Obat-obatan yang digunakan ibu selama kehamilan dapat mempengaruhi bayi melalui plasenta. Sebagian dapat menyebabkan cacat fisik dan retardasi mental yang parah.
Anak-anak yang ibunya minum alkohol selama kehamilan sering lahir dengan sindrom fetal fetal, dan merupakan kasus paling nyata sebagai penyebab retardasi mental. Komplikasi kelahiran, seperti kekurangan oksigen atau cedera kepala, infeksi otak, seperti encephalitis dan meningitis, terkena racun, seperti cat yang mengandung timah sangat berpotensi menyebabkan retardasi mental.
d.      Faktor-faktor psikososial
Penyebab retardasi mental pada sebagian kasus disebabkan faktor psikososial, seperti lingkungan rumah, atau sosial yang miskin, yaitu yang tidak memberikan stimulasi intelektual, penelantaran, atau kekerasan dari orang tua dapat menjadi penyebab atau memberi kontribusi dalam perkembangan retardasi mental.
Kasus yang berhubungan dengan aspek psikososial disebut sebagai retardasi budaya-keluarga (cultural-familial retardation). Individu dalam keluarga miskin kekurangan keperluan untuk menerima pendidikan dan pengembangan keterampilan-keterampilan. Akibatnya, individu menjadi retardasi mental akibat dari kemiskinan, tidak menerima pendidikan dan larangan-larangan pada budaya tertentu untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan individu.
Menurut PPDGJ III Retardasi mental adalah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh adanya penurunan keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua tingkat intelegensi yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial.

American Asociation on Mental Deficiency/AAMD mendefinisikan Retardasi mental sebagai kelainan:
1.      Yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (Sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes;
2.      Yang muncul sebelum usia 16 tahun;
3.      Yang menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif.

Sedangkan pengertian Retardasi mental menurut Japan League for Mentally Retarded (1992) sebagai berikut:
1.      Fungsi intelektualnya lamban, yaitu IQ 70 kebawah berdasarkan tes inteligensi baku.
2.      Kekurangan dalam perilaku adaptif
3.      Terjadi pada masa perkembangan, yaitu antara masa konsepsi hingga usia 18 tahun.

PENYEBAB RETARDASI MENTAL
Retardasi mental dapat disebabkan oleh beberapa faktor:
1.      Genetik.
a. Kerusakan/Kelainan Biokimiawi.
b. Abnormalitas Kromosomal (chromosomal Abnormalities).
c. Anak retardasi mental yang lahir disebabkan oleh faktor ini pada umumnya adalah Sindroma Down atau Sindroma mongol (mongolism) dengan IQ antar 20 – 60, dan rata-rata mereka memliki IQ 30 – 50.
2.      Pada masa sebelum kelahiran (pre-natal).
a. Infeksi Rubella (Cacar)
b. Faktor Rhesus (Rh)
3.      Pada saat kelahiran (perinatal)
Retardasi mental/tunagraita yang disebabkan oleh kejadian yang terjadi pada saat kelahiran adalah luka-luka pada saat kelahiran, sesak nafas (asphyxia), dan lahir rematur.
4.      Pada saat setelah lahir (post-natal)
Penyakit-penyakit akibat infeksi misalnya: Meningitis (peradangan pada selaput otak) dan problema nutrisi yaitu kekurangan gizi misalnya: kekurangan protein yang diderita bayi dan awal masa kanak-kanak dapat menyebabkan retardasi mental.
5.      Faktor sosio-kultural.
Sosio kultural atau sosial budaya lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan intelektual manusia.
6.      Gangguan Metabolisme/Nutrisi.
a. Phenylketonuria. Gangguan pada metabolisme asam amino, yaitu gangguan pada enzym Phenylketonuria.
b. Gargoylisme. Gangguan metabolisme saccharide dalam hati, limpa kecil, dan otak.
c. Cretinisme. Gangguan pada hormon tiroid yang dikenal karena defisiensi yodium.

Secara umum, Grossman et al, 1973, menyatakan penyebab retardasi mental akibat dari:
  1. infeksi dan/atau intoxikasi,
  2. rudapaksa dan/atau sebab fisik lain,
  3. gangguan metabolisma, pertumbuhan atau gizi (nutrisi),
  4. penyakit otak yang nyata (kondisi setelah lahir/post-natal),
  5. akibat penyakit atau pengaruh sebelum lahir (pre-natal) yang tidak diketahui,
  6. akibat kelainan kromosomal,
  7. gangguan waktu kehamilan (gestational disorders),
  8. gangguan pasca-psikiatrik/gangguan jiwa berat (post-psychiatrik disorders),
  9. pengaruh-pengaruh lingkungan, dan
kondisi-kondisi lain yang tak tergolongkan.

 KLASIFIKASI RETARDASI MENTAL
Pengklasifikasian/penggolongan Anak Retardasi mental untuk keperluan pembelajaran menurut American Association on Mental Retardation dalam Special Education in Ontario Schools (p. 100) sebagai berikut:
1. EDUCABLE
Anak pada kelompok ini masih mempunyai kemampuan dalam akademik setara dengan anak reguler pada kelas 5 Sekolah dasar.
2. TRAINABLE
Mempunyai kemampuan dalam mengurus diri sendiri, pertahanan diri, dan penyesuaian sosial. Sangat terbatas kemampuanya untuk mendapat pendidikan secara kademik.
3. CUSTODIAL
Dengan pemberian latihan yang terus menerus dan khusus, dapat melatih anak tentang dasar-dasar cara menolong diri sendiri dan kemampuan yang bersifat komunikatif. Hal ini biasanya memerlukan pengawasan dan dukungan yang terus menerus.

Sedangkan penggolongan Retardasi mental untuk Keperluan Pembelajaran adalah sebagai berikut:
  1. Taraf perbatasan (borderline) dalam pendidikan disebut sebagai lamban belajar (slow learner) dengan IQ 70 – 85.
  2. Retardasi mental mampu didik (educable mentally retarded) dengan IQ 50 – 75 atau 75.
  3. Tunagrahit mampu latih (trainable mentally retarded) dengan IQ 30 – 50 atau IQ 35 – 5
  4. Retardasi mental butuh rawat (dependent or profoundly mentally retarded) dengan IQ dibawah 25 atau 30

Penggolongan Retardasi mental secara Medis-Biologis menurut Roan, 1979, adalah sebagai berikut:
1. Retardasi mental taraf perbatasan (IQ: 68 – 85).
2. Retardasi mental ringan (IQ: 52 – 67).
3. Retardasi mental sedang (IQ: 36 – 51).
4. Retardasi mental berat (IQ: 20 – 35).
5. Retardasi mental sangat berat (IQ: kurang dari 20); dan
6. Retardasi mental tak tergolongkan.

Adapun penggolongan Retardasi mental secara Sosial-Psikogis terbagi 2 (dua) kriteria yaitu: psikometrik dan perilaku adaptif.

Ada 4 (empat) taraf Retardasi mental berdasarkan kriteria psikometrik menurut skala inteligensi Wechsler (Kirk dan Gallagher, 1979, dalam B3PTKSM, p. 26), yaitu:
  1. Retardasi mental ringan (mild mental retardation) dengan IQ 55 – 69.
  2. Retardasi mental sedang (moderate mental retardation) dengan IQ 40 –54.
  3. Retardasi mental berat (severe mental tetardation) dengan IQ: 20 – 39.
  4. Retardasi mental sangat berat (profound mental retardation) dengan IQ 20 kebawah.
  5. Penggolongan anak Retardasi mental menurut kriteria perilaku adaptif tidak berdasarkan taraf inteligensi, tetapi berdasarkan kematangan sosial. Hal ini juga mempunyai 4 (empat) taraf, yaitu:
    1. Ringan;
    2. Sedang;
    3. Berat; dan
    4. Sangat Berat
 TINGKAT RETARDASI MENTAL
Derajat keparahan
Perkiraan tentang IQ
Jumlah penyandang Retardasi mental dalam rentang ini.
Retardasi mental ringan (mild)
50-55 sampai sekitar 70
Kira-kira 85%
Retardasi mental sedang (moderate)
35-40 sampai 50-55
10%
Retardasi mental berat (severe)
20-25 sampai 35-40
3-4%
Retardasi mental parah (profound)
Di bawah 20-25
1-2%

TINGKAT RETARDASI MENTAL, PERKIRAAN RENTANG IQ, DAN JENIS TINGKAH LAKU ADAPTIF YANG TERLIHAT
Perkiraan rentang skor IQ
Usia prasekolah 0-5 tahun
kematangan&perkembangan
Usia sekolah 6-21 tahun
Pelatihan dan pendidikan
Ringan 50-70
Sering terlihat tidak memiliki gangguan tetapi lambat dalam berjalan, makan sendiri dan bicara dibanding anak-anak lainnya
Menguasai keterampilan praktis serta kemampuan membaca dan aritmatika sampai kelas 3-6 SD dengan pendidikan khusus. Dapat diarahkan pada konformitas sosial.
Sedang 35-49
Keterlambatan yang nyata pada perkembangan motorik, terutama dalam bicara ; berespon terhadap pelatihan dalam berbagai aktivitas self help
Dapat mempelajari komunikasi sederhana, perawatan kesehatan dan keselamatan dasar, serta keterampilan tangan sederhana; tidak mengalami kemajuan dalam fungsi membaca atau aritmatika
Berat 20-34
Ditandai dengan adanya keterlambatan dalam perkembangan motorik, kemampuan komunikasi yang minim atau tidak ada sama sekali; dapat berespon terhadap pelatihan self help mendasar misalnya makan sendiri.
Biasanya mampu berjalan, tetapi memiliki ketidakmampuan yang spesifik; dapat mengerti pembicaraan dan memberikan respon; tidak memiliki kemajuan dalam kemampuan membaca atau aritmatika
Parah dibawah 20
Retardasi motorik kasar; kapasitas minimal untuk berfungsi pada area sensori motor; membutuhkan bantun rawat
Keterlambatan yang terlihat jelas dalam semua area perkembangan; dapat menunjukkan respon emosional dasar; mungkin berespon terhadap pelatihan keterampilan dengan menggunakan kaki, tangan, dan rahang;memerlukan supervisi/ pengawasan yang ketat


TREATMENT RETARDASI MENTAL
Pendekatan yang dapat diberikan kepada anak retardasi mental adalah:
1.      Occuppasional Therapy (Terapi Gerak)
      Terapi ini diberikan kepada anak retardasi mental untuk melatih gerak funsional anggota tubuh (gerak kasar dan halus).
2.      Play therapy (Terapi bermain)
Terapi yang diberikan kepada anak retardasi mental dengan cara bermain, misalnya: memberikan pelajaran tentang hitungan, anak diajarkan dengan cara sosiodrama, bermain jual-beli.
3.       Activity Daily Living (ADL) atau Kemampuan Merawat Diri
Untuk memandirikan anak retardasi mental, mereka harus diberikan pengetahuan dan keterampilan tentang kegiatan kehidupan sehari-hari (ADL) agar mereka dapat merawat diri sendiri tanpa bantuan orang lain dan tidak tergantung kepada orang lain.
4.      Life Skill (Keterampilan hidup)
Anak yang memerlukan layanan khusus, terutama anak dengan IQ di bawah rata-rata biasanya tidak diharapkan bekerja sebagai administrator. Bagi anak retardasi mental yang memiliki IQ dibawah rata-rata, mereka juga diharapkan untuk dapat hidup mandiri. Oleh karena itu, untuk bekal hidup, mereka diberikan pendidikan keterampilan. Dengan keterampilan yang dimilikinya mereka diharapkan dapat hidup di lingkungan keluarga dan masyarakat serta dapat bersaing di dunia industri dan usaha.
5.      Vocational Therapy (Terapi Bekerja)
Selain diberikan latihan keterampilan. Anak retardasi mental juga diberikan latihan kerja. Dengan bekal keterampilan yang telah dimilikinya, anak retardasi mental diharapkan dapat bekerja.

SINDROM DOWN (DOWN SYNDROME)
    1. Pengertian Sindrom Down
Down syndrome pertama kali dideskripsikan dan dipublikasikan oleh John Langdom Down pada tahun 1886, namun baru sekitar awal tahun 1960-an ditemukan diagnosis pastinya setelah penelitian pada kromosom penderita yang diduga mengalami down syndrome.
Ciri dan karakteristik fisik yang nampak dari penderita down syndrome antara lain bagian belakang kepala rata (flattening of the back of the head), mata sipit karena adanya tambahan lipatan kulit sepanjang kelopak mata, alis mata miring (slatning of the eyelids), telinga lebih kecil, mulut yang mungil,otot lunak, persendian longgar (loose ligament) dan tangan serta kaki mungil.
Masalah-masalah kesehatan yang sering dialami anak yang menderita down syndrome antara lain :
1. sakit jantung berlubang
2. mudah mendapat salesma, radang tenggorok, radang paru-paru
3. kurang pendengaran
4. lambat/bermasalah dalam bertutur
5. penglihatan kurang jelas
    1. Klasifikasi Down Syndrome
Berdasarkan tipe gangguan kromosom yang ditemukan, down syndrome dibagi menjadi :
  1. Non disjunction
Tipe ini paling banyak terjadi dan dialami oleh penderita down syndrome. Penyebabnya adalah terdapat kelebihan kromosom pada sel telur yang seharusnya 23 menjadi 24, penambahan terjadi pada kromosom 22. Hal ini mengakibatkan distribusi kromosom pada waktu pembelahan sel tidak merata. Beberapa hal yang dapat menyebabkan hal ini terjadi antara lain :
a. Genetik, peningkatan resiko berulang pada keluarga dengan penderita down syndrome
b. Radiasi, yang terjadi di daerah perut ibu sebelum melakukan konsepsi yang mempengaruhi terhadap jumlah kromosom ibu.
c. Umur ibu, yaitu ibu yang mendekati masa menopause lebih besar terkena resiko down syndrome pada anak yang dikandungnya.
  1. Mozaikisme
Sama seperti non disjunction, pnyebab utamanya adalah karena distribusi kromosom tidak merata saat terjadi pembelahan sel. Perbedaannya pada mozaikisme, distribusi kromosom tadi terjadi setelah pembuahan normal dan tidak disebabkan oleh faktor herediter sehingga tidak semua gejala down syndrome akan terlihat, tergantung dari banyaknya sel yang normal dalam tubuh.
  1. Translokasi
Translokasi dapat diturunkan secara herediter. Kebanyakan adalah translokasi Robertsonian, yaitu adanya pelekatan lengan panjang kromosom 14, 21, atau 22. Translokasi kromosom 21 ke dalam kromosom lainnya atau translokasi dalam bentuk bergandengan sangat panjang.
C.     Penyebab
            Down Syndrome disebabkan adanya gangguan pada kromosom ke-21. manusia memiliki 23 pasang kromosom. Tapi pada anak down syndrome, kromosom mereka yang ke-21 tidak sepasang (dua) melainkan tiga kromosom (trisomi). Jadi dengan kata lain down syndrome adalah gangguan genetik. Jumlah seluruh kromosom mencapai 47 buah. Akibatnya, terjadi gangguan sistem metabolisme di dalam sel .
Hubungan seks (coitus) yang dilakukan saat pasangan atau salah satu pasangan stres, bisa menghasilkan keturunan (anak) yang kelak mengidap down syndrome. Hipotesa itu diungkapkan ahli penyakit down syndrome Dr. Dadang Syarief Effendi "Pada saat coitus atau hubungan seks dimungkinkan terjadi pembuahan. Namun, jika hubungan seks dilakukan dalam kondisi stres, pada saat pembuahan proses pembelahan kromosom terjadi secara tidak sempurna. Secara normal, manusia memiliki 23 pasang kromosom. Pada penderita down syndrome, kromosom nomor 21 membelah menjadi tiga bagian (trisomi). Padahal pada mutasi yang normal, kromosom tersebut seharusnya membelah menjadi dua bagian," katanya.
Selain stres, melahirkan di usia tua juga bisa menyebabkan anak yang dilahirkan mengidap down syndrome. Mutasi gen pada saat sperma dan ovum bertemu, menyebabkan hasil pembuahan terkena down syndrome.

D.    Karakteristik
1. Bagian belakang kepala rata (Flattening of the back of the head),
2. Mata sipit karena adanya tambahan lipatan kulit sepanjang kelopak mata,
3. Alis mata miring (slanting of the eyelids),
4. Telinga lebih kecil, sehingga mudah terserang infeksi
5. Mulut yang mungil, lidah tebal dan pangkal mulut yang cenderung dangkal. Di samping itu, otot mulut mereka juga kerap lemah, sehingga menghambat kemampuan bicara. Pertumbuhan gigi geligi mereka pun lambat dan tumbuh tak beraturan. Gigi yang berantakan ini juga menyulitkan pertumbuhan gigi permanen.
6. Otot lunak,
7. Persendian longgar (loose ligament),
8. Tangan mungil ruas jari kelingking mereka kadang tumbuh meiring atau malah tidak ada sama sekali
9. Di telapak tangan mereka terdapat garis melintang yang disebut simian crease
10.   Kaki yang mungil, simian crease juga terdapat di kaki mereka, yaitu di telunjuk dan ibu jari yang cenderung lebih jauh dari pada kaki orang normal. Keadaan telunjuk dan ibu jari yang berjauhan itu disebut juga sandal foot.
11.   Hidung mereka cenderung lebih kecil dan datar. Ini tak jarang diikuti dengan saluran pernapasan yang kecil pula, sehingga mereka sering kesulitan bernapas
12.   Rambut mereka lemas, tipis, dan jarang

TREATMENT SINDROM DOWN
1.      Mengajarkannya ketrampilan untuk merawat diri sehingga mereka menjadi mendiri
2.      Melakukan kegiatan atau permainan bahasa yang dapat menarik perhatian mereka
3.      Memilih alat permainan sesuai tahap perkembangan anak-anak
4.      Senam otak adalah sejenis kegiatan therapy berbentuk senam yang ditujukan untuk memberikan kondisi relaksasi pada otak. Pada umumnya senam otak hanyalah gerakan-gerakan sederhana yang bisa dilakukan agar otak menjadi lebih rileks.

KESIMPULAN
Retardasi Mental (Mental Retardation/Mentally Retarded) berarti terbelakang mental. Down syndrome adalah kelainan dengan ciri dan karakteristik fisik antara lain bagian belakang kepala rata (flattening of the back of the head), mata sipit karena adanya tambahan lipatan kulit sepanjang kelopak mata, alis mata miring (slatning of the eyelids), telinga lebih kecil, mulut yang mungil,otot lunak, persendian longgar (loose ligament) dan tangan serta kaki mungil.
            Down Syndrome disebabkan adanya gangguan pada kromosom ke-21. manusia memiliki 23 pasang kromosom. Tapi pada anak down syndrome, kromosom mereka yang ke-21 tidak sepasang (dua) melainkan tiga kromosom (trisomi). Jadi dengan kata lain down syndrome adalah gangguan genetik. Jumlah seluruh kromosom mencapai 47 buah. Akibatnya, terjadi gangguan sistem metabolisme di dalam sel
Abnormalitas kromosom yang paling umum memnyebabkan retardasi mental adalah down syndrome. Anak-anak down syndrome menderita berbagai defisit dalam belajar dan perkembangan. Anak-anak ini mengalami defisit memori, khususnya untuk informasi ynag ditampilkan secara verbal. Sehingga sulit untuk belajar di sekolah. Mereka juga mengalami kesulitan mengikuti instruksi dari guru, dan mengekspresikan pemikiran dan kebutuhan mereka dengan jelas secara verbal dengan pendidikan yang tepat dan dukungan yang baik mereka dapat belajar membaca, menulis, dan mengerjakan tugas aritmatika sederhana.

SARAN
1. bagi orang tua yang memiliki anak Down Syndrome dan retardasi mental tidak perlu malu menerima keadaan anaknya dan mengusahakan konsultasi dengan pihak yang berkompeten agar dapat memberikan pendidikan yang tepat dan dukungan yang baik bagi anak.
2. Menerapkan terapi yang tepat untuk tumbuh kembang anak yang optimal meski memiliki kebutuhan khusus.



Daftar Pustaka
Rathus, S.A., Nevid, J.J. 2005. Abnormal Psychology. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs.
The Arc of the United States.  2004. Mental Retardation http://www.nichcy.org/pubs/factshe/fs8txt.htm. Diakses tanggal 26 September 2007
Down Syndrome. http://en.wikipedia.org/wiki/Down_syndrome. diakses tanggal 27 September 2007
Down Syndrome. http://www.kidshealth.org/parent/medical/genetic/down_syndrome.html. dfiakses tanggal 27 September 2007


Sekian dan Terima kasih...

Selasa, 12 Februari 2013

Pola Asuh


Hai semua... Apa kabar? kali ini saya akan membahas mengenai pola asuh orng tua yang mempunyai pengaruh pada perkembangan setiap anak. Menurut Baumrind (dalam Brooks, 2004) pola asuh yang diterapkan orangtua terhadap anak akan berhubungan dengan kompetensi anak, yakni kapasitas anak untuk berperilaku bertanggung jawab secara sosial, berperilaku mandiri yang meliputi hubungan yang positif dan kooperatif dengan orangtua dan teman, serta berperilaku yang bertujuan dan berorientasi pada prestasi. Terdapat empat tipe pola asuh yang diterapkan oleh orangtua kepada anak, yakni authoritative, authoritarian, permissive, dan neglectful. Keempat pola asuh ini mengkombinasikan penerimaan, sikap responsif orang tua, tuntutan, serta kontrol dari orang tua (Santrock, 2006).
Orangtua dengan pola asuh authoritative mendorong anak untuk menjadi mandiri, namun tetap menetapkan batasan pada perilaku anak. Orangtua selain menetapkan kontrol atau aturan yang tegas dan jelas, juga menekankan pada kebebasan dan individualitas anak (Santrock, 2006). Orangtua membuat aturan yang jelas dan konsisten dalam penerapan aturan-aturan tersebut, serta  mendorong dan mengawasi anak dengan baik (Berk, 2003). Komunikasi orangtua dengan anak terbina dengan baik, di mana orangtua selalu bersedia untuk mendengarkan pendapat anak. Keterlibatan orangtua dalam kehidupan anak, ditunjukkan dengan bersikap hangat kepada anak, memberikan dukungan terhadap tingkah laku anak yang positif dan perencanaan aktivitas bersama dengan anak. Walaupun orangtua memiliki standar perilaku dan harapan pada masa kini dan masa depan terhadap anak, namun hal tersebut bersifat rasional, fleksibel dan disesuaikan dengan kebutuhan dan pilihan anak (Brooks, 2004). Anak-anak dari orangtua dengan pola asuh authoritative cenderung akan menjadi anak yang ceria, memiliki kepercayaan diri, mengeksplorasi dunia dengan semangat dan ketertarikan, menjaga hubungan yang akrab dengan teman, bersikap kooperatif dengan orang dewasa, dan dapat melakukan coping yang baik saat berhadapan dengan stres (Brooks, 2004).
     Orangtua dengan pola asuh authoritarian menerapkan pola disiplin dan aturan yang sama dengan orangtua yang menerapkan pola asuh authoritative, namun dilakukan dengan cara memaksa tanpa mempertimbangkan individualitas anak (Brooks, 2004). Orangtua menerapkan kontrol dan aturan-aturannya tanpa menyediakan dukungan bagi anak untuk mencapainya. Orangtua menjalankan peraturan secara keras namun tidak memberikan penjelasan mengenai manfaat positif dari peraturan tersebut kepada anak. Orangtua tidak mendorong otonomi pada anak karena sebagian besar keputusan dibuat oleh orangtua, serta tidak mempertimbangkan keinginan atau pendapat anak, serta memberikan banyak tuntutan yang harus dilakukan anak (Santrock, 2006). Orangtua seringkali memarahi anak dengan menggunakan kata-kasar dan penghinaan, serta menghadapi tingkah laku anak yang tidak baik dengan menggunakan kekerasan dan mendisiplinkan anak dengan cara menghukum. Anak-anak dari orangtua dengan pola asuh authoritarian cenderung menjadi anak yang tidak bahagia, takut, menarik dan membatasi diri, cemas jika membandingkan dirinya dengan orang lain, kurang memiliki inisiatif, dan lemah dalam kemampuan komunikasi (Santrock, 2006).
 Pola asuh permissive merupakan pola asuh dimana orangtua sangat terlibat dalam kehidupan anak, namun cenderung kurang menerapkan batasan-batasan kepada anak dan kurang menuntut anak mengikuti aturan tersebut (Brooks, 2004). Mereka bersikap menerima kehendak dan keinginan anak, memberikan sebanyak mungkin kebebasan kepada anak sejauh masih dalam batas aman atau tidak membahayakan diri anak. Orangtua cenderung membiarkan anak berbuat sekehendak hati anak. Anak tidak pernah belajar untuk mengontrol perilaku mereka dan selalu berharap mendapatkan apa yang mereka inginkan. Anak-anak dari orangtua dengan pola asuh permissive cenderung menjadi anak yang kurang mandiri, kurang dapat mengontrol diri, kurang menghormati orang lain,  cenderung mendominasi orang lain, egocentric, dan memiliki kesulitan berhubungan dengan orang lain.
Pola asuh neglectful merupakan pola asuh dimana orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak, di mana orangtua cenderung tidak menunjukkan kehangatan maupun kontrol yang cukup terhadap anak-anaknya (Santrock, 2006). Pola asuh ini dikarakteristikkan dengan orangtua yang secara terang-terangan mengabaikan anak, dan berusaha untuk meminimalkan jumlah waktu dan usaha dalam berinteraksi dengan anak, serta lebih memerhatikan kebutuhannya sendiri dibandingkan dengan kebutuhan anak. Anak dengan orangtua yang menerapkan pola asuh neglectful mengembangkan perasaan bahwa aspek-aspek kehidupan orangtua lebih penting dari kehidupan diri anak (Santrock, 2006). Akibatnya anak-anak dari orangtua dengan pola asuh neglectful akan menjadi anak secara sosial tidak kompeten, memiliki kontrol diri yang rendah, kurang mandiri dan tidak bertanggungjawab, memiliki self-esteem yang rendah, serta seringkali diasingkan dari keluarga. 
Demikian penjelasan saya mengenai pola asuh, semoga memberikan manfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Berk, L. E. (2003). Child development (6th ed.). Boston: Pearson Education.

Brooks, J. B. (2004). The process of parenting (6th ed.). New York: McGraw-Hill.


Santrock, J.W. (2006). Human Adjustment. New York : McGraw-Hill.




Selasa, 05 Februari 2013

Perkembangan Remaja


     Hai semua... Sekarang saya akan membahas mengenai perkembangan remaja. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang melibatkan perubahan fisik secara umum, kognitif, dan psikososial (Papalia, Wendkos-Olds, & Duskin-Feldman, 2009).  Rice dan Dolgin (2008) mendefinisikan masa remaja sebagai suatu periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Selain itu, masa remaja sebagai usia saat individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia saat anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua, melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Masa remaja mencakup:
    
a. Aspek Perkembangan Fisik
Menurut Papalia et al. (2009) masa remaja yang dimulai pada usia 11 atau 12 sampai masa remaja akhir atau awal usia 20 an, ditandai dengan telah terjadinya kematangan fisik dan perubahan hormon atau pubertas, yaitu proses kematangan organ seks atau fertilitas, kemampuan untuk bereproduksi. Masa ini membawa perubahan besar yang saling bertautan dalam semua aspek perkembangan, fisik, kognitif dan sosial. Perubahan biologis pubertas, yang merupakan tanda akhir masa kanak-kanak, berakibat peningkatan pertumbuhan berat dan tinggi, perubahan dalam proporsi dan bentuk tubuh, dan pencapaian kematangan seksual. Ledakan pertumbuhan masa remaja (adolescent growth spurt) adalah peningkatan tajam pada tinggi dan berada yang berlanjut, kepada kematangan seksual. Ledakan pertumbuhan masa remaja dimulai antara 10½ dan 16 tahun (biasanya pada usia 12 atau 13 tahun) pada anak laki-laki. Ledakan pertumbuhan biasanya berlangsung sekitar 2 tahun dan segera setelah masa tersebut berakhir maka anak tersebut mencapai kematangan seksual. Pencapaian tinggi maksimun remaja umumnya terjadi ketika remaja berusia 18 tahun.
    
b. Aspek Perkembangan Kognitif
Piaget mengemukakan bahwa remaja pada usia sekitar 11 tahun mulai memasuki level tertinggi dalam perkembangan kognitif, yaitu formal operasional (Santrock, 2009).  Pada tahap ini, remaja mulai mampu mengembangkan kemampuan berpikir secara abstrak. Kemampuan ini memberikan cara baru yang lebih fleksibel kepada mereka untuk mengolah informasi. Pemahaman dan kemampuan memproses informasi tidak lagi terbatas oleh di sini dan sekarang. Remaja dapat menggunakan simbol untuk merepresentasikan sesuatu misalnya menjadikan huruf X sebagai angka yang tidak diketahui (Papalia et al., 2009).
Dalam perkembangan kognitif tahap ini, seorang remaja telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara simultan atau bersamaan maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif, yaitu kapasitas menggunakan hipotesis dan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak (Syah, 2003). Dengan kapasitas menggunakan hipotesis, seorang remaja akan mampu berpikir hipotetis, yaitu memikirkan pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan atau konteks tertentu. Selanjutnya, dengan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak, remaja tersebut mampu mempelajari materi-materi pelajaran yang bersifat abstrak, seperti ilmu agama, ilmu matematika dalam tingkat yang lebih tinggi, dan ilmu-ilmu abstrak lainnya, serta konsep-konsep abstrak tertentu, seperti etika ideal, keserasian, keadilan, kemurnian, dan masa depan. Kemampuan berpikir yang baru ini memungkinkan individu untuk berpikir secara abstrak, hipotetis dan kontrafaktual, yang pada gilirannya kemudian memberikan peluang bagi individu untuk mengimajinasikan kemungkinan lain untuk segala hal (Agustiani, 2006). Imajinasi ini bisa terkait pada kondisi masyarakat, diri sendiri, aturan-aturan orangtua, atau apa yang akan dia lakukan dalam hidupnya. Dalam segi bahasa, selain perbendaharaan kata yang terus meningkat jumlah dan pemahamannya, remaja juga menjadi lebih mampu menyerap dan memahami pembicaraan dalam kerangka perspektif sosial (Papalia et al., 2009).

c. Perkembangan Psikososial
Menurut teori perkembangan psikososial dari Erikson, remaja berada dalam tahap perkembangan identity versus identity confusion, di mana pada tahap ini remaja berusaha mengembangkan perasaan akan eksistensi diri yang koheren, termasuk peran yang dimainkannya dalam masyarakat (Papalia et al., 2009). Remaja yang berhasil menjalani tahap ini dengan baik akan membentuk identitas diri yang positif dan adekuat. Sedangkan remaja yang tidak berhasil melalui tahap ini dengan baik akan mengalami kebingungan identitas dan perannya dalam masyarakat (Santrock, 2009). Selama tahap ini, remaja harus berhadapan dengan keputusan siapa diri mereka, apa diri mereka, dan kemana mereka akan melangkah dalam hidup.
Masa pencarian identitas selama masa remaja dikenal pula sebagai psychosocial moratorium, yakni celah di antara rasa aman dalam masa kanak-kanak dan kemandirian dalam masa dewasa (Santrock, 2009). Selama periode ini, masyarakat relatif membiarkan remaja bebas dari rasa tanggung jawab dan bebas untuk mencoba identitas yang berbeda-beda. Remaja juga berusaha mencari komitmen yang dapat mereka jadikan pegangan dan panduan dalam menjalani kehidupan dan membuat keputusan-keputusan untuk dirinya sendiri. Komitmen ini akan turut membentuk kehidupan seseorang hingga beberapa tahun kemudian (Papalia et al., 2009).

d. Perkembangan Emosi
Masa remaja merupakan masa penuh peluang sekaligus penuh resiko. Para remaja berada di pertigaan antara kehidupan cinta, pekerjaan, dan partisipasi dalam masyarakat dewasa. Pencarian identitas, yang didefinisikan Erikson sebagai konsepsi tentang diri, penentuan tujuan, nilai, dan keyakinan yang dipegang teguh oleh seseorang, merupakan fokus pada masa remaja (Papalia et al., 2009). Masa remaja seringkali disebut juga periode badai dan tekanan karena emosi pada masa ini meninggi akibat perubahan fisik dan kelenjar (Brooks, 2004). Pada masa ini remaja seringkali merasa berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru yang kurang siap dihadapinya, sehingga berakibat banyak remaja kemudian mengalami ketidakstabilan emosi karena berupaya menyesuaikan diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru. Contohnya masalah yang berkaitan dengan percintaan serta menjelang akhir masa sekolah, remaja mulai mengkhawatirkan masa depannya.
Remaja yang tidak paham bagaimana cara untuk mengekspresikan emosi mereka kemudian akan sering merajuk (Santrock, 2009). Hanya dengan sedikit atau bahkan tanpa provokasi sama sekali, mereka bisa saja mengekspresikan kemarahan secara keras di depan orangtua atau saudara-saudara mereka. Hal ini mungkin  disebabkan karena mereka menggunakan defense mechanism dengan cara melakukan displacement emosi mereka kepada orang lain. Akan tetapi, mood akan menjadi lebih tidak ekstrim seiring dengan beralihnya remaja menjadi orang dewasa, dan penurunan ini mungkin saja berhubungan dengan adanya adaptasi terhadap kadar hormon yang ada dalam tubuh. Meskipun begitu, kebanyakan peneliti menyimpulkan bahwa hormon hanya memiliki peranan kecil. Biasanya aspek ini berasosiasi dengan faktor-faktor lain seperti stres, pola makan, aktivitas seksual, dan hubungan sosial. Mungkin saja pengalaman dengan lingkungan memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap emosi seorang remaja jika dibandingkan dengan perubahan hormonal.
Konflik dengan orangtua timbul pada langkah pertumbuhan para remaja menuju kemandirian (Arnett dalam Papalia et al., 2009). Mayoritas argumentasi terkait dengan masalah sehari-hari , seperti sekolah, pakaian, uang, jam malam, teman, dan pacar, daripada  nilai-nilai fundamental (Adams & Laursen dalam Papalia et al., 2009). Konflik ini paling sering terjadi pada awal masa remaja ketika emosi negatif mencapai puncaknya dan semakin intens saat pertengahan masa remaja (Laursen & Collins dalam Santrock, 2010). Meningkatnya konflik pada masa remaja awal dapat disebabkan karena beberapa faktor seperti perubahan biologis terkait dengan pubertas remaja, perubahan kognitif yang melibatkan meningkatnya idealisme dan penalaran logis remaja, perubahan sosial yang berfokus pada upaya untuk menjadi mandiri dan terkait dengan identitas remaja, perubahan kematangan yang terjadi pada orangtua dibandingkan pada saat usia anak sebelum remaja, dan adanya ekpektasi-eksptasi yang dilanggar baik oleh orangtua dan remaja (Collins & Steinberg, 2006 dalam Santrock, 2009). Penentangan remaja terhadap standar orang dewasa dan otoritas orangtua menguatkannya untuk merujuk pada masukan dari teman yang berada di posisi yang sama (Papalia et al., 2009). Para remaja mempertanyakan kecakapan orangtua mereka sebagai model perilaku, tetapi pada waktu yang sama tidak cukup yakin untuk berdiri sendiri, sehingga merujuk kepada teman untuk menunjukkan kepada mereka apa yang “benar” dan yang “salah”. Kelompok teman sebaya merupakan sumber afeksi, simpati, pemahaman, dan panduan moral; tempat bereksperimen; dan setting untuk mendapatkan otonomi dan independensi dari orangtua. 
Demikian pembahasaan dari saya mengenai perkembangan remaja, semoga memberi manfaat pada kita semua. Terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA


Papalia, D.E., Olds, S.W., Feldman, R.D. (2009).  Human development (11th edition). USA: McGraw Hill.

Santrock, J. W. (2007). Child development (11th ed.). New York: McGraw-Hill.