Kamis, 26 Februari 2015

Kesurupan dari sudut pandang psikologi

       Hai semua... saya punya cerita.. Beberapa waktu yang lalu saya berkunjung ke sebuah desa di jawa timur dan menginap beberapa hari bersama teman-teman saya. Pada suatu malam, saat saya sedang mencari makan keluar penginapan, tiba-tiba saya mendengar bahwa beberapa teman saya yang menginap di penginapan tersebut mengalami kesurupan dan kami segera kembali ke penginapan. Sesampainya di penginapan, saya memang menemui teman saya dalam posisi berbaring dan beberapa anggota tubuhnya dipegang oleh beberapa orang karena ingin berontak. Saat saya melihat teman saya tersebut, saya mengalami kebingungan mengenai hal apa yang harus saya lakukan karena saya belum pernah melihat kesurupan secara langsung sebelumnya.  Beberapa jam berlalu, teman saya akhirnya pulih kembali seperti sedia kala setelah diberikan beberapa terapi. Nah.. saat itu saya berpikir, apa yang sebenarnya menyebabkan kesurupan? Coba kita bahas kesurupan dari sudut pandang psikologi tanpa membawa unsur mistis.
       Fenomena trance atau kesurupan adalah suatu peristiwa yang seringkali menarik perhatian. Di masyarakat umum, fenomena ini sering dikaitkan dengan fenomena gaib. Orang yang mengalami kesurupan dikatakan telah dirasuki oleh makhluk metafisik yang tak kasat mata. Orang yang mengalami kesurupan itu bersikap seolah-olah dia adalah orang lain dan bersikap bukan dirinya sendiri. Bahkan perilaku mereka bisa secara tiba-tiba menjadi sangat agresif dan tak terkendali.
       Jika ditinjau dari sudut pandang ilmu psikologi, fenomena kesurupan sebenarnya bisa dijelaskan secara gamblang dan jelas tanpa membawa embel-embel makhluk gaib. Dalam kajian psikologi ada dua perspektif yang dapat digunakan untuk melihat kasus kesurupan yaitu kajian psikoanalisa dan psikologi transpersonal. Namun menurut saya yang paling sesuai untuk mengkaji kesurupan sebagai sebuah gangguan lebih tepat dengan menggunakan psikoanalisa terutama pendapatnya Carl Gustav Jung. Pada kajian psikologi transpersonal kajian trance lebih ke arah spiritual atau sebagai sesuatu yang tidak mengganggu. Kesurupan sebenarnya juga merupakan trance ke arah mengganggu dan tidak terkendali.
       Dikaitkan dengan aspek psikologis manusia peristiwa kesurupan sudah memasuki kawah alam bawah sadar. Seorang tokoh psikologi, Carl Gustav Jung (1875-1961) mengatakan bahwa kepribadian manusia secara total terdiri dari tiga sistem atau struktur yang saling mempengaruhi satu sama lain. Sistem tersebut adalah ego, ketidaksadaran personal, dan ketidaksadaran kolektif. Ego atau disebut pikiran sadar adalah bagian dari jiwa yang menyangkut persepsi, berpikir, merasa, dan mengingat. Sistem ini adalah kewaspadaan kita dan bertanggung jawab dalam menjalani aktivitas kehidupan kita sehari-hari. Ketidaksadaran personal adalah pengalaman-pengalaman yang telah kita jalani dan digeser ke alam bawah sadar baik sengaja maupun tidak sengaja. Sedangkan ketidaksadaran kolektif adalah segala macam pengalaman-pengalaman yang telah diwariskan oleh generasi sebelumnya sejak zaman nenek moyang dahulu. Jadi, pengalaman pengalaman nenek moyang sejak beribu tahun yang lalu tersebut diwariskan kepada diri kita melalui jalan genetik yaitu perkawinan, dan pengalaman tersebut tidak dapat kita ingat secara biasa karena berada dalam level ketidaksadaran yang terdalam.
Baiklah mari kita bahas secara detil mengenai teori Carl Gustav Jung.
a. ketidaksadaran dalam pandangan Jung
C.G. Jung (Swis, 1875-1961) adalah tokoh yang paling penting untuk psikoanalisis (psikologi dalam) di samping Sigmund Freud dan Alfred Adler. Psikologi dalam (depth psychology) menemukan ketegangan antara hidup sadar dan tidak sadar dan menganalisa “ketidaksadaran” sebagai suatu lapisan psikologi manusia (di samping pikiran yang disadarinya) yang mempengaruhi perasaan, pikiran dan tindakan manusia. Ketidaksadaran itu muncul misalnya dalam mimpi-mimpi atau juga dalam mitos-mitos dan gambar-gambar religius.
b. Unsur kepriadian dalam paradigma Psikoanalitik Jung
Doktrin Jung yang dikenal dengan psikologi analitis (analytical psychology), sangat dipengaruhi oleh mitos, mistisisme, metafisika, dan pengalaman religius. Ia percaya bahwa hal ini dapat memberikan keterangan yang memuaskan atas sifat spiritual manusia, sedangkan teori-teori Freud hanya berkecimpung dengan hal-hal yang sifatnya keduniaan semata. Jung mendefinisikan kembali istilah-istilah psikologi yang dipakai pada saat itu, khususnya yang dipakai oleh Freud. Ego, menurut Jung, merupakan suatu kompleks yang terletak di tengah-tengah kesadaran, yakni keakuan. Istilah Freud lainnya yang didefinisikannya kembali adalah libido. Bagi Jung, libido bukan hanya menandakan energi seksual, tetapi semua proses kehidupan yang penuh energi: dari aktivitas seksual sampai penyembuhan.
c. Kajian teori Jung terhadap Kasus Kesurupan
Indonesia merupakan bangsa kaya budaya termasuk budaya kesurupan, bahkan di daerah daerah tertentu malah sengaja untuk kesurupan, dan menjadi tontonan menarik seperti reog, kuda lumping, debus dan tari kecak. Budaya ini lah yang menjadi arketip arketip yang tersimpan dalam ketidaksadaran kolektif dan inilah yang banyak mempengaruhi terjadinya kesurupan di indonesia. Setiap kita memiliki potensi untuk kesurupan karena memang bawah sadar kita dalam collective unconciousness berisi mitos mitos seperti memedi pocong, wewe gombel, jin penunggu rumah, jin penunggu sungai, dan banyak lagi, bahkan penunggu laut selatan. Mitos inilah yang turun menurun dari jaman dulu terus hingga sekarang. Ditambah lagi pengalaman masa kecil yang sering ditakut takuti dengan berbagai macam hantu dan segala varian nya, yang kemudian tersimpan dalam personal unconciousness sehingga kedua kenyataan itu klop membentuk suatu sistem keyakinan dan kepercayaan yang setiap saat bisa muncul bila ada pemicunya (precipitating event).
       Dalam kasus kesurupan masal yang menjadi precipitating event adalah teman yang sudah kesurupan, dalam istilah hipnotisme teman yang sudah kesurupan menginduksi bawah sadar teman lainnya sehingga seperti penyakit menular yang bila tidak diisolasi akan mewabah ke yang lain. Seringkali orang yang kesurupan memiliki kekuatan yang melebihi kemampuan biasanya, dalam beberapa kasus kesurupan dia bisa berteriak teriak hingga berjam jam, atau bisa melemparkan beberapa orang yang sedang memeganginya. Ada lagi kesurupan mampu berbicara seperti bukan dia yang bicara, dalam keadaan seperti ini seseorang yang kesurupan sedang memasuki alam bawah sadarnya tepatnya di alam ketidaksadaran kolektif dimana menurut freud ketidaksadaran tersebut mengandung kekuatan jiwa (psyche) sehingga dia memiliki kekuatan yang melebihi seperti biasanya
Mengapa orang bisa masuk kedalam alam bawah sadarnya? sebab utamanya adalah lemahnya kesadaran seperti orang mau masuk tidur, kenapa bisa tidur jawabnya tentunya karena lemahnya kesadaran karena faktor mengantuk.
       Faktor yang dominan yang bisa memicu terjadinya kesurupan adalah faktor psikologis, bisa itu stress, depresi atau semacamnya. Orang yang mengalami stress mudah sekali tersugesti dengan berbagai hal dikarenakan biasanya orang yang stress itu seringkali melamun yang menandakan kosongnya pikiran sadar. Jika pikiran sadar kosong sudah pasti pikiran bawah sadarlah yang mendominasi. Oleh sebab itu janganlah terlalu sering melamun, karena tanpa disadari berpotensi untuk mengalami kesurupan.
      Penjelasan lain menjelaskan bahwa saat orang mengalami kesurupan maka orang itu dalam keadaan:
1)               Keadaan disosiasi, saat seseorang seakan terpisah dari dirinya;
2) Hysteria , saat seseorang tidak dapat mengendalikan dirinya ,
3)       Split personality , saat pada diri seseorang tampil beragam perilaku yang dimunculkan oleh “pribadi” yang berbeda. Penjelasan ini seringkali mengalami benturan dengan kenyataan-kenyataan budaya.


Beberapa tips menangani kasus kesurupan:
1.               Isolasi sesegera mungkin anak yang terkena kesurupan
2. Tenangkan suasana, karena kesurupan cenderung membuat suasana menjadi gaduh, ketakutan, dan crowded atau ramai.
3.               Tenangkan anak yang mengalami kesurupan dengan membiarkannya, jangan dipaksa atau dipegang apalagi diteriaki terlebih di pukul pukul,
4. Kalau membaca quran bacakan dengan penuh kekhusyuan dan dengan nada pelan sehingga akan menenangkan si sakit, kalau dibaca dengan menghentak hentak anak yang terkena akan semakin histeris dan teriakan dari pembacaan quran tadi akan memperkeruh keadaan. Dalam hal ini kita harus bijak dalam mendudukkan al quran jangan melecehkan quran dengan menggunakannya yang bukan pada tempatnya, gunakan quran sebagai petunjuk hidup bukan sebagai alat pengusiran jin.
5.     Tempatkan si anak di tempat tertutup namun yang aman dan udara bisa keluar masuk dalam ruangan dengan baik.
6. Jika keadaan semakin tidak terkendali, jangan memanggil paranormal, atau memanggil dukun dan sejenisnya. Namun panggilah dokter untuk memberikan obat penenang kepada si anak, dan jika sudah dampingi anak dengan orang tuanya
7. Jangka panjang ciptakan suasana sekolah yang cerah dan ceria, baik lingkungan maupun hubungan guru muridnya dan tentunya proses belajar mengajar. Berikan penerangan yang cukup di tempat tempat yang terkesan singup, rubah warna cat dari cat yang gelap menjadi lebih terang, tebang pohon pohon yang dianggap angker, hilangkan suasana mistis disekolah. Kesurupan sering terjadi biasanya di tempat yang bekas kuburan, atau dekat kuburan, karena nuansa mistis bisa menjadi condtioning event atau keadaan yang mengkondisikan terjadinya kesurupan.
8. Para guru jangan bersikap tahayul dan khurafat misalnya dengan mendatangkan ahli pengusir jin karena itu bukannya menghilangkan jin malah lingkungan sekolah menjadi tersugesti untuk kembali ke jaman animisme yaitu mempercayai Jin dan


Minggu, 22 Februari 2015

Modul Pelatihan Kepercayaan Diri


Hai semua.. Kali ini saya ingin memberikan sebuah contoh mengenai pembuatan modul dalam terapi psikologi, yaitu:
    Modul Pelatihan Kepercayaan Diri Anak Panti Asuhan
  1. Pendahuluan
Terbentuknya kepercayaan diri diawali oleh adanya konsep diri. Anak asuh bisa memiliki konsep diri yang cenderung negatif karena keberadaannya di panti asuhan dapat menjadi penghambat terbesar dalam perkembangan konsep diri anak asuh dan juga bisa menjadikan anak asuh cenderung untuk berkonsep diri negatif adalah karena anak asuh panti asuhan telah mendapatkan label anak-anak yang perlu dikasihani. Artinya label yang muncul secara internal dan juga didukung oleh pandangan lingkungan sosialnya menjadikan anak asuh harus tarik ulur dalam menilai dirinya (Lukman, 2000). Hal ini menimbulkan kepercayaan diri yang rendah pada anak panti asuhan.
Rasa percaya diri sangat menunjang individu untuk memaksimalkan kemampuan yang dimiliki sehingga terhindar dari rasa ragu-ragu yang sering mengganggu. Dilihat dari sudut pandang perkembangan, pada usia pra remaja sangat rentan dengan rasa percaya diri yang dia miliki. Remaja  yang memiliki rasa kurang percaya diri akan menghambat tumbuh kembang anak tersebut dalam beraktifitas di lingkungan sekitar yang dia tempati, baik di sekolah, keluarga maupun masyarakat. Hal ini dapat disimpulkan bahwa rasa percaya diri sangat berpengaruh dalam perkembangan individu untuk mengaktulisasikan diri dengan lingkungan sekitar.
Percaya diri adalah sesuatu yang membuat manusia menjadi memahami akan kondisi dirinya karena adanya kekuatan didalam jiwa kita. Rasa percaya diri sangat penting dalam hal mengembangkan sikap sosialisasi didalam lingkungan yang baru. Seseorang yang percaya diri akan merasa nyaman pada lingkungan yang bagaimanapun dan kondisi yang seperti apapun karena ia dapat dengan mudah beradaptasi. Akan tetapi tidak semua anak mempunyai rasa percaya diri yang tinggi bahkan cenderung kurang percaya diri. Rasa kurang percaya diri adalah suatu keyakinan yang negatif terhadap suatu kekurangannya yang ada diberbagai aspek kepribadiannya, sehingga ia tidak mampu untuk mencapai berbagai tujuan di dalam kehidupannya.
Sikap seseorang yang menunjukkan rasa kurang percaya diri antara lain, selalu dihinggapi dengan rasa keragu-raguan, mudah cemas, tidak yakin, cenderung menghindar, tidak punya inisiatif, mudah patah semangat, tidak berani tampil didepan banyak orang dan gejala kejiwaan lainnya yang nantinya akan menghambat seseorang tersebut untuk berbuat sesuatu. Salah satu cara yang bisa mengatasi rasa kurang percaya diri tersebut adalah dengan pelatihan kepercayaan diri dalam kelompok, dikarenakan disamping bersifat efisien juga secara tidak langsung anak tersebut akan belajar untuk bersosialisasi dalam lingkup yang mungkin bisa dikatakan kecil.
Terbentuknya kelompok karena adanya persamaan dalam kebutuhan akan berkelompok, dimana individu memiliki potensi dalam  memenuhi kebutuhan dan setiap individu memiliki keterbatasan, sehingga individu akan meminta atau membutuhkan bantuan individu yang lain untuk mengatasinya.


  1. Pengertian
  1. Kepercayaan Diri
Menurut Rahmat (1994) kepercayaan diri dapat diartikan sebagai keyakinan intividu untuk melakukan sesuai dengan keinginannya dan didasarkan pada cara pandang individu mengetahui kemampuan dan kelemahannya serta cara individu menyelesaikan permasalahan berdasarkan pada kemampuannya. Angelis (1997), menyatakan kepercayaan diri berasal dari tekad pada diri sendiri dan terbina dari keyakinan diri sendiri untuk melakukan sesuatu dalam hidup sesuai dengan batas-batas keinginan dan kemampuan pribadi.
Lindenfield (1997) mengatakan bahwa orang yang mempunyai kepercayaan diri mampu bekerja secara efektif, dapat melakukan tugas dengan baik serta mempunyai rencana tentang masa depannya. Orang percaya diri akan merasa puas dengan dirinya sendiri.
Kepercayaan diri adalah salah satu ciri kepribadian yang mengandung arti keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri. Rasa percaya diri merupakan sikap pada diri seseorang yang dapat menerima kenyataan, dapat mengembangkan kesadaran diri, berpikir positif, memiliki kemandirian dan mempunyai kemampuan untuk memiliki serta mencapai segala sesuatu yang diinginkan. Orang yang mempunyai kepercayaan diri cenderung bersifat optimis dan akan menghadapi persoalan yang ada dengan hati yang tenang, sehingga analisisnya terhadap persoalan tersebut dapat rasional dan obyektif (Anthony, 1996).
Widjaja (2008) menjelaskan bahwa kepercayaan diri adalah suatu sikap positif dan keyakinan terhadap diri sendiri bahwa ia memiliki kelebihan dan kelemahan, mau mencoba hal baru, optimis dalam menghadapi masalah, berani menyatakan pendapat di depan orang lain dan bertanggung jawab atas segala perbuatan yang telah dilakukan.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, maka yang dimaksud dengan kepercayaan diri adalah suatu keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa dirinya mampu berperilaku seperti yang dibutuhkan untuk memperoleh hasil seperti yang diharapkan, mampu berpikir positif, kreatif, memiliki kemandirian serta memiliki keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri.
  1. Ciri-ciri orang yang percaya diri
Kumara (1988) menyatakan bahwa orang dengan kepercayaan diri adalah individu yang memiliki:
  1. Keyakinan akan kemampuan diri
  2. Optimis
  3. Menerima diri apa adanya
  4. Mempunyai konsep atau gambaran diri yang positif

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri
Antony (1996), mengemukakan bahwa untuk mengembangkan kepribadian yang sehat adalah belajar dari pengalaman masa lalu serta mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukan dan memutuskan dengan segala kemampuan dan kesadaran untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut. Dari pengalaman dan kesalahan yang mengecewakan itu dapat membuat seseorang merasa menyesal, malu dan bersalah. Emosi negatif tersebut, jika terlalu dominan atau tidak diperhatikan dapat menimbulkan rasa kurang percaya diri.
Pembentukan kepercayaan diri seseorang diawali dengan pengenalan diri secara fisik, bagaimana seseorang menilai, menerima atau menolak gambaran dirinya, yang selanjutnya akan menimbulkan rasa puas atau tidak puas. Individu yang puas dengan kondisi dan penampilan fisiknya, pada umumnya memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi dari pada orang yang tidak merasa puas, dengan demikian kondisi fisik sangat mempengaruhi kepercayaan diri seseorang (Centi, 1993).


4.Pelatihan kepercayaan diri
Pelatihan kepercayaan diri adalah seperangkat pengalaman belajar yang terencana, terstruktur dan didesain dengan teratur dimulai dari pengukuran kebutuhan, pelaksanaan dan diakhiri dengan evaluasi yang bertujuan meningkatkan sikap positif dan keyakinan terhadap diri sendiri bahwa ia memiliki kelebihan dan kelemahan, mau mencoba hal-hal baru, optimis dalam menghadapi masalah, berani menyatakan pendapat di depan orang lain dan bertanggung jawab atas segala perbuatan yang telah dilakukan (Widjaja, 2008).
Modul yang digunakan oleh terapis berdasarkan ciri-ciri kepercayaan diri pada penelitian Widjaja yang sudah diujikan.


  1. Kelompok sasaran program


Anak Panti Asuhan Bimomartani yang pemiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah.




  1. Pelaksanaan Intervensi
  1. Judul Intervensi

Pelatihan Peningkatan Kepercayaan Diri Anak Panti Asuhan Bimomartani”

  1. Tujuan Intervensi

  • Meningkatkan kepercayaan diri kelompok
  • Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan dirinya sendiri menjadi lebih baik, lebih matang dan lebih mantap.
  • Membentuk sikap dan perilaku percaya diri serta prinsip hidup menuju kehidupan yang sejahtera
  • Menumbuhkan pola pikir dan kebiasaan yang percaya diri
  • Menciptakan hubungan baik dengan sesama teman dan penuh percaya diri.
  • Membangun kepercayaan diri atas dasar self-efficacy dan self-esteem 


  1. Prosedur dan Pelaksanaan Intervensi

Intervensi dilakukan sebanyak 2 kali pertemuan. Intervensi ini di Ruang Kelas Panti Sosial Asuhan Anak, dengan total waktu 430 menit. Prosedur pelaksanaan sebagai berikut:
Pertemuan 1
SESI I: BINA RAPORT
Tujuan
Peserta memahami rangkaian pelatihan yang akan dilakukan.
Materi
  1. Game perkenalan (Ice Breaking)
  2. Menampilkan biodata fasilitator
  3. Kontrak pelatihan
Metode
Diskusi
Waktu
30 menit

ICE BREAKING
Tujuan kegiatan
  1. Menciptakan rapport
  2. Mencairkan suasana untuk menghancurkan rintangan psikologis dan sosial, agar peserta dapat mengikuti proses pembelajaran dengan perasaan enak, tanpa adanya beban psikologis dan sosial diantara sesama peserta dan fasilitator.
  3. Peserta dan fasilitator saling mengenal identitas diri masing-masing.
Prosedur
  1. Peserta pelatihan ditempatkan pada ruangan dengan pengaturan ruangan berbentuk huruf ‘U’
  2. Dalam waktu 5 menit seluruh peserta beserta fasilitator diminta mencari informasi mengenai nama panggilan kecil, makanan favorit dan ukuran sepatu masing-masing peserta.
  3. Setelah kembali ke tempat masing-masing, fasilitator memberikan instruksi: pada hitungan ke 3, seluruh peserta dan fasilitator diminta berbaris berdasarkan inisial nama masing-masing.
  4. Setelah beberapa waktu peserta kembali ke tempat masing-masing, fasilitator menunjuk salah seorang peserta sambil meminta menyebutkan makanan kesukaan salah satu temannya. Selanjutnya tugas peserta yang ditunjuk adalah segera berdiri dan segera menunjuk peserta lain sambil menyebutkan makanan kesukaan teman yang ada disampingnya, demikian seterusnya secara berantai.
Ketika peserta salah menyebutkan makanan kesukaan peserta yang ditunjuknya, seluruh peserta memberikan sorakan “Huu...”:
Katakan: “Pada kesempatan ini, agar kita semakin mengenal satu-sama lain, kita akan mengadakan permainan sederhana. Saya minta kalian semua mengingat nama panggilan kecil, makanan favorit dan ukuran sepatu diri masing-masing peserta, kemudian beritahukan kepada peserta lainnya. Peserta lain harap mengingat hal yang disebutkan tadi. Saya akan memberi waktu 5 menit untuk mengingatnya, kemudian saya akan menunjuk salah seorang peserta. Peserta yang saya tunjuk segera berdiri menunjuk peserta lain sambil menyebutkan nama kecil, makanan kesukaan dan ukuran sepatu teman yang ada disampingnya, demikian seterusnya secara berantai. Apabila peserta salah menyebutkan, seluruh peserta memberikan sorakan “Huu...”.”

Material
Tidak ada
Diskusi
Perasaan peserta setelah pengalaman
Waktu
20 menit

KONTRAK BELAJAR
Tujuan kegiatan
  1. Menampilkan biodata fasilitator
  2. Membuat kesepakatan tentang hal-hal yang ingin dicapai dalam pelatihan
  3. Membuat kesepakatan mengenai hal-hal yang tidak diperkenankan dalam pelaksanaan pelatihan
Prosedur
  1. Fasilitator menampilkan biodata fasilitator
  2. Fasilitator menyampaikan informasi tentang tujuan pelatihan.
  3. Merumuskan permasalahan pribadi dalam kelompok menjadi masalah bersama.
  4. Menyampaikan hal-hal yang tidak diperkenankan selama pelaksanaan pelatihan agar pelaksanaan pelatihan berjalan dengan maksimal. Hal-hal tersebut antara lain :
  1. Baik peserta maupun fasilitator ikut berpartisipasi penuh
  2. HP harap disilent
  3. Tidak diperkenankan merokok
  4. Tidak diperkenankan tidur
  5. Mengikuti kegiatan hingga selesai.
Katakan: “Baik..tadi kita sudah sedikit bermain dan sekarang kita lanjutkan pada kegiatan berikutnya. Sebelumnya saya akan memperkenalkan lebih detil tentang diri saya dan tujuan dari pelatihan ini untuk menyelesaikan permasalahan yang sama yaitu percaya diri yang masih perlu ditingkatkan. Untuk kelancaran kegiatan, saya minta semua peserta dapat mengikuti pelatihan dengan baik dan mengikuti prosedur yang sudah ditentukan.”
Material
  1. Kertas
  2. Alat tulis
Diskusi
-
Waktu
10 menit

SESI II: PEMAHAMAN DIRI
Tujuan Kegiatan
Para peserta mampu menyebutkan aspek positif (kelebihan) dan aspek negatif (kekurangan) yang ada pada dirinya dengan harapan peserta mampu mengembangkan kepribadian diri secara optimal, sehingga dapat menunjang pelaksanaan tugas.
Materi
  1. Siapa saya..”
  2. Menerima keadaan diri sendiri dari feedback orang lain.
  3. Motivasi diri
Metode
  1. Menonton Video inspiratif
  2. Ceramah dan diskusi
Waktu
280 menit

  1. SIAPA SAYA ?..”
Tujuan kegiatan
Peserta dapat mengerti kebaikan (kelebihan) serta
keburukan (kekurangan) dirinya masing-masing dan dapat bercermin diri.
Prosedur
  1. Fasilitator memberikan kertas kosong dan menuliskan mengenai “Siapa saya?..”
  2. Fasilitator memberikan penjelasan mengenai cara mengisi kertas
  3. Peserta mengisi kertas dan memberi kesempatan pada beberapa peserta untuk mengemukakan hal-hal yang sudah ia tulis.
Katakan: “Sekarang saya ingin kalian semua menuliskan kelebihan dan kekurangan masing-masing di kertas yang sudah saya berikan. Setelah semua menuliskan kelebihan dan kekurangannya, saya minta kalian semua mengumpulkan kertas tersebut kepada saya dan saya akan membacakan satu persatu dan meminta kalian memberi penjelasan mengenai hal yang kalian tuliskan.”
Diskusi
Fasilitator memfasilitasi peserta untuk mengurai rencana sampai detail
Material
  1. kertas
  2. Alat tulis
Waktu
  1. menit

2.MENERIMA KEADAAN DIRI SENDIRI DARI FEEDBACK ORANG LAIN
Tujuan kegiatan
Para peserta dapat intropeksi diri dan mampu melakukan usaha memperbaiki diri.
Prosedur
1. Fasilitator meminta semua peserta menuliskan kelebihan dan kekurangan dari peserta lain.
2.Setiap perilaku yang dijelaskan dievaluasi bersama dan diberikan feedback
Katakan: “Setelah kita mengenal diri kita sendiri sesuai dengan pandangan diri sendiri, sekarang saya minta kalian menuliskan kelebihan dan kekurangan teman-teman kalian yang ada disini. Setelah ditulis, saya minta kalian menyebutkan hal tersebut didepan masing-masing teman yang sudah ditulis. Hal ini dapat membantu kita untuk dapat intropeksi diri dan pada akhirnya dapat meningkatkan kemampuan yang dimiliki dan dapat memperbaiki diri menjadi lebih baik lagi”.
Material
Kertas dan alat tulis
Diskusi
Sesuai pertanyaan yang muncul
Waktu
60 menit

  1. OPTIMIS DAN MOTIVASI DIRI

Tujuan kegiatan
Peserta termotivasi dalam meraih tujuan dengan pertimbangan yang matang dan peserta dapat belajar lebih optimis dalam menghadapi masalah untuk mencapai mimpi yang diinginkan
Prosedur
  1. Fasilitator menayangkan profil kisah inspiratif
  2. Fasilitator menyampaikan bahwa akan menayangkan sebuah video dan peserta diminta untuk menyimak dan mendiskusikan video tersebut.
  3. Fasilitator mengajak peserta untuk “membedah” video singkat tersebut dan mengajak untuk berdiskusi peserta mengenai perjuangan mereka.
Material
  1. Laptop
Diskusi
  1. Fasilitator menanyakan apa yang dapat dilihat dan pendapat peserta mengenai video tersebut kepada peserta

Waktu
150 menit

Pertemuan 2
SESI I: STRATEGI COPING DAN ROLE PLAY
Tujuan kegiatan
Peserta mampu mancari cara untuk menghilangkan atau mengurangi ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh masalah internal maupun eksternal dan menyesuaikan dengan kenyataan kenyataan negatif, mempertahankan keseimbangan emosi dan self image positif, serta meneruskan hubungan yang memuaskan dengan orang lain. Peserta lebih berani tampil di depan umum, peserta berani mengambil resiko dan tidak malu untuk mencoba hal-hal baru dan belajar untuk bertanggung jawab dalam menyelesaikan tantangan.
Prosedur
  1. Fasilitator menanyakan permasalahan yang paling sulit saat dihadapi oleh peserta
  2. Fasilitator menanyakan bagaimana cara peserta menangani permasalahan tersebut
  3. Peserta diminta untuk menunjukkan caranya menyelesaikan masalah dengan tindakan.
  4. Fasilitator memberikan role play mengenai masalah yang dihadapi masing-masing peserta
Katakan: Sekarang saya ingin kalian menyebutkan permasalahan yang saat ini sulit kalian hadapi dan apa saja cara yang sudah kalian lakukan. Setelah kalian menyebutkan permasalahan dan cara menyelesaikannya. Saya akan memberikan contoh penyelesaian masalah yang dibutuhkan seperti cara bagaimana agar lebih percaya diri.”
Material
Kertas dan alat tulis
Diskusi
Fasilitator mendiskusikan mengenai permasalahan dan role play
Waktu
60 menit


SESI II: HARAPAN
Tujuan
Para peserta mampu menyebutkan keinginan seperti apakah dirinya setelah selesai melakukan pelatihan ini.
Materi
Pohon Harapan
Metode
Presentasi dan diskusi
Waktu
60 menit

POHON HARAPAN
Tujuan kegiatan
Peserta termotivasi dalam meraih tujuan yang diinginkannya
Prosedur
  1. Fasilitator menyediakan sebuah lembar karton berbentuk pohon dan meminta peserta untuk menempelkan kertas kecil yang berisikan harapan mengenai masa depannya.
Katakan: “Di depan kalian saat ini ada sebuah pohon yang terbuat dari karton, saya akan memberikan kalian selembar kertas kecil dan meminta kalian untuk menuliskan harapannya. Setelah menulis harapan, saya ingin kalian menempelkannya di pohon karton tersebut. Setelah itu, kita akan mendiskusikan harapan-harapan kalian tadi dan bagaimana cara kalian agar kalian dapat mencapai harapan tersebut.”
Material
Karton dan alat tulis
Diskusi
Fasilitator mendiskusikan mengenai hal-hal yang sudah dilakukan peserta untuk mencapai harapannya dan memberikan dukungan kepada peserta.
Waktu
60 menit


SESI III: CLOSSING SESSION
Tujuan
Peserta mampu mengaktualisasikan diri dan menerima umpan balik
Metode
  1. Diskusi
  2. Kesan dan pesan
Waktu
60 menit

DISKUSI
Tujuan kegiatan
Peserta dan fasilitator memberikan kesimpulan mengenai pelatihan yang telah dilakukan
Prosedur
  1. Fasilitator memberi kesimpulan materi pelatihaan yang telah dilakukan
  2. Fasilitator menanyakan kepada peserta jika ada yang mau memberikan tambahan mengenai materi yang telah disampaikan
Material
-
Diskusi
Fasilitator memfasilitasi peserta dalam memberikan kesimpulan atas pelatihan yang dilakukan
Waktu
30 menit

KESAN & PESAN
Tujuan kegiatan
Fasilitator mengetahui masukan dari peserta mengenai evaluasi mengenai proses pelatihan.
Prosedur
  1. Peserta diminta untuk mengemukan pendapat mengenai pelatihan yang diberikan dan hal yang sudah didapat dari pelatihan.
  2. Fasilitator menjelaskan bahwa setelah diadakan pelatihan ini akan diberikan skala yang akan diisi oleh peserta pelatihan.
Diskusi
Perwakilan peserta mengemukakan evaluasi
Material
-
Waktu
  1. menit




DAFTAR PUSTAKA
Antony, (1996). Rahasia Membangun Kepercayaan Diri (alih bahasa Rita Wiryadi). Jakarta; Bina Rupa Aksara.

Andayani, B dan Afiatin, T. (1996). Konsep diri, Harga Diri dan Kepercayaan Diri Remaja. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Centi, J Paul. (1993). Mengapa rendah diri?. Yogyakarta :Kansius

Kumara, A. (1988). Studi Pendahuluan Tentang Validitas dan Reabilitas The Test Self Confidence. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Lindenfield, G. (1997). Mendidik Anak Agar Percaya Diri. Jakarta: Arcan

Lukman, Muhammad. (2000). Kemandirian Anak Asuh Di Panti Asuhan Yatim Islam Ditinjau Dari Konsep Diri dan Kompetensi Interpersonal. Jurnal Psikologika. No (10,V.57-73).

Papalia, D.E.,Olds, S.W & Feldman, R. D. (2009). Human Development (11th ed.). New York: McGraw-Hill.

Rahmat, J. (1994). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya

Santrock, J.W. (2009). Adolescence (12th ed.). New York: McGraw-Hill.

Widjaja, S.W. (2008). Efektivitas pelatihan kepercayaan diri terhadap peningkatan kepercayaan diri remaja di komisi remaja GKI Sorogenen Solo. Skirpsi (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.




Jumat, 06 Februari 2015

Konseling dan Psikoterapi

     Hai teman.. Orang yang memperdalami psikologi biasanya akan mendapat keahlian dalam konseling dan memberikan terapi yang dibutuhkan individu yang meminta bantuannya. Brammer & Shostrom (1977) mengemukakan perbedaan konseling dan psikoterapi bahwa: Konseling ditandai dengan adanya terminologi seperti: “educational, vocational, supportive, situational, problem solving, conscious awareness, normal, present-time dan short-time”. Sedangkan psikoterapi ditandai dengan: “supportive (dalam keadaan krisis), reconstructive, depth emphasis, analytical, focus on the past, neurotic and other severe emotional problem and long-term”. 
    Perbedaan konseling dan psikoterapi disimpulkan oleh Pallone (1977) dan Patterson (1973) yang dikutip oleh Thompson dan Rudolph (1983), sebagai berikut:
 KONSELING
1. Individu yang membutuhkan konseling disebut klien
2. Gangguan yang dirasakan tidak mendalam
3. Masalah biasanya adalah jabatan, pendidikan dsb
4.berhubungan dengan pencegahan 
5. lingkungan pendidikan dan non medis
6. Metode yang digunakan adalah metode pendidikan
7. Berhubungan dengan kesadaran

PSIKOTERAPI
1. Individu yang membutuhkan terapi disebut pasien
2. Gangguan lebih serius
3.Masalah biasanya pada masalah kepribadian dan pengambilan keputusan
4. Berhubungan dengan penyembuhan
5. Lingkungan medis
6. Metode yang digunakan adalah metode pengembuhan
7. Berhubungan dengan ketidaksadaran.


REFERENSI: Gunarsa, Singgih D. (2007). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Gunung Mulia.

Sekian dan terima kasih.. Semoga bermanfaat..