Sabtu, 01 Agustus 2015

Cerita Down sindrom dan Retardasi Mental

Hai semua..
Apa kabar.. kali ini saya ingin membahas profil seseorang yang saya kenal namanya Udin (dipublikasikan sesuai dengan ijin yang bersangkutan). Udin adalah seorang pria berusia sekitar 40 tahun yang mengalami Down Syndrome dan Retardasi mental. Ciri-ciri fisiknya adalah dahi lebar, rambut agak pirang, cukup cekatan, dahinya lebar, matanya sipit tidak punya punya kelopak, suka melongo, kakinya lebar, berbicara terbatah-batah dengan lafal yang kurang jelas. Keterampilan mengurus dirinya cukup tinggi. Udin mampu berpakaian dan makan secara mandiri, bahkan saat ini ia mampu bekerja untuk menghasilkan uang yang dapat digunakannya sebagai keperluannya sendiri. Menurut cerita yang saya dapat, Udin adalah anak sulung dari sembilan bersaudara. karena perkembangannya yang tidak sama dengan anak seusianya, Udin cenderung menghabiskan waktunya dengan bermain seorang diri. Meskipun demikian penerimaan keluarganya sangat baik. Udin pernah mendapatkan pendidikan di SLB saat usianya masih dalam tahap pendidikan. Hal ini berdampak pada kehidupannya saat ini.
       Itu cerita mengenai si Udin, sekarang saya membahas tentang gangguan perkembangan yang terjadi pada Udin. Banyak orang yang meremahkan kekurangannya, padahal tanpa mereka ketahui  banyak hal yang bisa dilakukan orang-orang dengan Down Sindrom dan Retardasi mental, seperti Udin. Secara teori, Udin disebut sebagai orang dengan Down sindrom dan Retardasi mental. Saya pernah membahas teori ini pada tulisan saya sebelumnya, namun saat ini saya akan menjelaskanya lebih praktis.
Retardasi Mental (Mental Retardation/Mentally Retarded) berarti terbelakang mental.  Retardasi mental sering disepadankan dengan istilah-istilah, seperti lemah fikiran ( Feeble-minded), terbelakang mental (Mentally Retarded),  bodoh atau dungu (Idiot), pandir (Imbecile), tolol (Moron), oligofrenia (Oligophrenia), meskipun demikian Retardasi mental masih ada yang mampu Didik (Educable) dan mampu Latih (Trainable),  RM juga ada yang ketergantungan penuh (Totally Dependent) atau Butuh Rawat.
American Asociation on Mental Deficiency/AAMD mendefinisikan Retardasi mental sebagai kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (Sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes, yang muncul sebelum usia 16 tahun dan menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif.
Karakteristik anak retardasi mental menurut Brown et al, 1991; Wolery & Haring, 1994 pada Exceptional Children, fifth edition, p.485-486, 1996 menyatakan lamban dalam mempelajari hal-hal yang baru, mempunyai kesulitan dalam mempelajari pengetahuan abstrak atau yang berkaitan, dan selalu cepat lupa apa yang dia pelajari tanpa latihan yang terus menerus. Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru. Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak retardasi mental berat. Cacat fisik dan perkembangan gerak. Kebanyakan anak dengan retardasi mental berat mempunyai ketebatasan dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat berjalan, tidak dapat berdiri atau bangun tanpa bantuan. Mereka lambat dalam mengerjakan tugas-tugas yang sangat sederhana, sulit menjangkau sesuatu , dan mendongakkan kepala. Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri. Sebagian dari anak retardasi mental berat juga sangat sulit untuk mengurus diri sendiri, seperti: berpakaian, makan, dan mengurus kebersihan diri. Mereka selalu memerlukan latihan khusus untuk mempelajari kemampuan dasar.
        Abnormalitas kromosom yang paling umum menyebabkan retardasi mental adalah down syndrome. Anak-anak down syndrome menderita berbagai defisit dalam belajar dan perkembangan. Anak-anak ini mengalami defisit memori, khususnya untuk informasi ynag ditampilkan secara verbal. Sehingga sulit untuk belajar di sekolah. Mereka juga mengalami kesulitan mengikuti instruksi dari guru, dan mengekspresikan pemikiran dan kebutuhan mereka dengan jelas secara verbal dengan pendidikan yang tepat dan dukungan yang baik mereka dapat belajar membaca, menulis, dan mengerjakan tugas aritmatika sederhana.
           Retardasi Mental (Mental Retardation/Mentally Retarded) berarti terbelakang mental. Ciri-ciri retardasi Mental tidak selalu sama dengan down sindrom. Down syndrome adalah kelainan dengan ciri dan karakteristik fisik antara lain bagian belakang kepala rata (flattening of the back of the head), mata sipit karena adanya tambahan lipatan kulit sepanjang kelopak mata, alis mata miring (slatning of the eyelids), telinga lebih kecil, mulut yang mungil,otot lunak, persendian longgar (loose ligament) dan tangan serta kaki lebih mungil. Di samping itu, otot mulut mereka juga kerap lemah, sehingga menghambat kemampuan bicara. Pertumbuhan gigi geligi mereka pun lambat dan tumbuh tak beraturan. Gigi yang berantakan ini juga menyulitkan pertumbuhan gigi permanen, otot lunak, di telapak tangan mereka terdapat garis melintang yang disebut simian crease. Rambut mereka lemas, tipis, dan jarang.
        Down Syndrome disebabkan adanya gangguan pada kromosom ke-21. manusia memiliki 23 pasang kromosom. Tapi pada anak down syndrome, kromosom mereka yang ke-21 tidak sepasang (dua) melainkan tiga kromosom (trisomi). Jadi dengan kata lain down syndrome adalah gangguan genetik. Jumlah seluruh kromosom mencapai 47 buah. Akibatnya, terjadi gangguan sistem metabolisme di dalam sel.
       Bagi orang tua yang memiliki anak Down Syndrome dan retardasi mental tidak perlu malu menerima keadaan anaknya namun dapat mengusahakan konsultasi dengan pihak yang berkompeten agar dapat memberikan pendidikan yang tepat dan dukungan yang baik bagi anak. Selain itu, orang tua dapat menerapkan terapi yang tepat untuk tumbuh kembang anak yang optimal meski memiliki kebutuhan khusus. Anak-anak dengan Down sindrom bisa diberi terapi seperti Occuppasional Therapy (Terapi Gerak), Play therapy (Terapi bermain), Activity Daily Living (ADL) atau Kemampuan Merawat Diri, Life Skill (Keterampilan hidup) dan Vocational Therapy (Terapi Bekerja). Perkembangan anak DS bisa optimal dengan melakukan terapi secara integritas, seperti sensorik, motorik, wicara, okupasi dan sebagainya. Hal ini pernah diberikan kepada Udin saat ia mendapatkan pendidikan dulu. Sekolah mengajarkan ketrampilan untuk merawat diri dan sebagainya serta tidak terlepas juga dari peranan orang tua dan lingkungan sehingga mereka menjadi lebih mandiri dan survive. Hal ini membantu Udin menjalani kehidupannya saat ini dimana ia dapat hidup mandiri, mampu bersosialisasi dengan baik dan mendapat pekerjaan untuk menghasilkan uang.





Daftar Pustaka

Rathus, S.A., Nevid, J.J. 2005. Abnormal Psychology. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs.
The Arc of the United States.  2004. Mental Retardation http://www.nichcy.org/pubs/factshe/fs8txt.htm. Diakses tanggal 26 September 2007
Rathus, S.A., Nevid, J.J. 2005. Abnormal Psychology. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs.
       The Arc of the United States.  2004. Mental Retardation http://www.nichcy.org/pubs/factshe/fs8txt.htm. Diakses tanggal 26 September 2007



Kamis, 30 Juli 2015

Cognitive Behavior Therapy untuk Menurunkan Tingkat Depresi Pada Orang Dengan Kehilangan Penglihatan

     Hai semua.. Kali ini saya ingin membahas mengenai terapi psikologi yang sering digunakan oleh para terapis kejiwaan yaitu Cognitive behavior Therapi (CBT). Banyak kasus kejiwaan yang dapat ditangani oleh CBT salah satunya adalah Depresi. Depresi bisa terjadi pada siapa saja, seperti pada orang yang baru kehilangan penglihatannya atau orang dengan kebutaan yang tidak dari lahir atau bawaan.
       Individu dengan kehilangan penglihatan biasa disebut sebagai tunanetra.       Kehilangan penglihatan berarti bahwa cara-cara yang biasa dilakukan untuk mengatasi kegiatan umum seperti membaca, menulis, berjalan sesuai dengan arah, bekerja dan lain sebagainya yang tidak akan dapat dilakukan lagi, sehingga menyebabkan seseorang tidak dapat memenuhi tuntutan kehidupannya. Tugas-tugas yang sederhana pun kini mungkin tampak sangat sulit dan berbahaya bagi orang dengan kehilangan penglihatan, terutama jika orang tersebut memiliki pandangan yang negatif tentang ketunetraan seperti memunculkan ketergantungan seumur hidup dan tidak berdaya. Di samping itu, jika orang dengan kehilangan penglihatan berkeyakinan bahwa situasinya tidak akan membaik secara signifikan dalam waktu dekat, maka keputusasaan dan depresi akan dialaminya. Namun jika seseorang dapat melewati masa penyesuaian dirinya dengan tanpa penglihatan berlangsung dengan baik maka ia tidak akan mengalami gangguan psikologisnya dan afeksinya dapat terjaga secara baik pula (Dodds,1993).
       Dodds (1993) mengatakan bahwa ketunanetraan yang terjadi dengan tiba-tiba dapat mengakibatkan depresi, kecemasan, persepsi diri yang tidak tepat, menurunnya tingkat motivasi, rendahnya harga diri dan rendahnya self-efficacy. Keadaan seperti kecemasan dan depresi, umum dialami oleh orang yang baru mengalami kehilangan penglihatan. Dalam keadaan depresi, orang tidak dapat membuat pertimbangan yang sehat, tidak realistis, pesimistik dan prediksinya tentang masa depan suram serta kehilangan harapan. Hal ini diperparah oleh persepsi masyarakat tentang ketunanetraan yang cenderung negatif, yang pada gilirannya individu tunanetra itu sendiri dapat mengembangkan persepsi diri yang tidak tepat. Persepsi yang tidak tepat mengenai ketunanetraan ini membuat banyak individu tunanetra merasa kehilangan harga dirinya dan menjadi depresi. Orang yang kehilangan penglihatannya, menyebabkan kehilangan harga diri dan lebih disebabkan oleh perasaan kehilangan kompetensi yang pernah dimilikinya. Oleh karena itu, penting diberikan adanya suatu tritmen tertentu untuk membantu permasalahan psikologis yang dialami oleh orang dengan kehilangan penglihatan.
       Beck (McDowell & Newel, 1996) mendefinisikan depresi sebagai keadaan abnormal organisme yang dimanifestasikan dengan simptom-simptom seperti menurunnya mood subjektif, rasa pesimis dan sikap nihilistik, kehilangan kespontanan serta adanya gejala vegetatif (seperti kehilangan berat badan dan gangguan tidur). Depresi juga merupakan gangguan kompleks yang meliputi gangguan afeksi, kognisi, motivasi dan perilaku.
       Seseorang yang mengalami kebutaan tidak sejak lahir atau yang mengalami ketunanetraan disebabkan oleh faktor dari luar (eksternal) lebih memerlukan waktu untuk beradaptasi dan menerima keadaan dirinya daripada yang mengalami ketunanetraan sejak lahir (Ro’fah, Andayani & Muslisun, 2010). Kondisi demikian sangat rentan mengalami depresi. Pada beberapa wawancara dan observasi yang dilakukan pada tunanetra baru yang berada di panti rehabilitasi penyandang cacat, menyatakan bahwa kebutaan yang dialami membuat sedih dan kehilangan semangat, sulit tidur dan kehilangan nafsu makan, merasa tidak berguna dan tidak bisa membantu keluarga lagi. Subyek cenderung memilih untuk menyendiri dan merasa sudah tidak mempunyai harapan dan berpikir bahwa masa depannya akan menjadi buruk, mudah marah dan mudah terpancing emosi bahkan ada yang berpikir untuk bunuh diri (Radiani, 2015).
       Meskipun banyak terapi yang dapat diberikan pada individu yang mengalami depresi, namun hendaknya dapat memberikan terapi yang sesuai dengan teori dan pendekatan yang dilakukan. Depresi disebabkan oleh adanya skema kognitif atau munculnya distorsi kognitif, rendahnya penilaian terhadap diri sendiri dan tidak adanya keyakinan mengenai masa depannya. Proses kognisi ini akan memerentarai proses belajar manusia, dimana pikiran, perasaan dan tingkah laku yang saling berhubungan secara kausal. Dengan demikian pendekatan yang digunakan harus dapat mengatasi kecenderungan yang dialami penderita depresi yaitu dengan menggunakan pendekatan kognitif dan pendekatan perilaku. Terapi yang menggunakan terapi kognitif dan perilaku adalah Cognitive Behavior Therapy (CBT).  CBT digunakan untuk memerbaiki distorsi kognitif yang lebih mengutamakan kognisi atau pikiran, proses berfikir dan bagaimana kognisi memengaruhi emosi dan perilaku. Hal ini memengaruhi cara individu dalam memandang diri dan masa depan sehingga akan memunculkan suatu kekuatan dalam dirinya bahwa dirinya mampu untuk mengatasi permasalahan tersebut (Oemarjoedi, 2004).
       Proses CBT diawali dengan melakukan penekanan terhadap metode berpikir dimana terapis membantu klien mengubah pikiran dan pernyataan diri negatif serta keyakinan-keyakinan klien yang tidak rasional kemudian merubah cara berpikirnya menjadi lebih rasional atau mengganti cara-cara berpikir yang tidak logis menjadi logis. Diakhir terapi, diharapkan individu mempunyai kemampuan untuk mengenali dan kemudian mengevaluasi atau mengubah cara berfikir, keyakinan dan perasaannya (mengenai diri sendiri dan lingkungan) yang salah sehingga individu dapat mengubah perilaku yang maladaptif menjadi adaptif dengan cara memelajari keterampilan pengendalian diri dan strategi pemecahan masalah yang efektif (Oemarjoedi, 2003).
       Penjelasan di atas didukung oleh penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa Cognitive Behavior Therapy dapat mengurangi tingkat depresi dimana subyek menjadi memiliki tujuan hidup, lebih banyak bersyukur, timbul keyakinan pada diri, semangat yang semakin meningkat, tidak mudah marah, tidur lebih nyenyak, kegelisahan dan perasaan berkurang, nafsu makan menjadi lebih baik dan memiliki harapan untuk hidup lebih baik (Lubis, 2008). Penelitian lain membuktikan bahwa CBT dapat menghilangkan keadaan depresi pada individu dengan ketunanetraan. Di dalam terapi ini, atribut-atribut self yang negatif dikonfrontasi dan secara bertahap diganti oleh yang lebih positif. Penelitian yang dilakukan di pusat penelitian mobilitas bagi tunanetra di Universitas Nottingham (Inggris) telah mengidentifikasi skema pikiran dan perasaan yang hampir sama di kalangan orang yang baru kehilangan penglihatannya (Dodds, 1993). Orang yang menunjukkan tanda-tanda depresi tampak sangat cemas, merasa rendah diri, fokus kontrolnya pada eksternal, yakin bahwa mereka akan gagal dalam menjalankan tugas-tugas baru, bersikap negatif terhadap orang tunanetra dan tidak menerima ketunanetraannya sendiri. Jika mereka merasa gagal dalam salah satu faktor tersebut, maka mereka akan merasa gagal dalam semua faktor lainnya juga. Klien dalam penelitian tersebut diberikan terapi CBT dan hasilnya menunjukkan ada perubahan pada tingkat depresinya dimana tingkat depresi lebih rendah setelah diberikan CBT. Hal ini menunjukkan bahwa CBT sesuai apabila diterapkan pada kondisi individu dengan kehilangan penglihatan.
        Pada penelitian Radiani (2015) menunjukkan hasil analisis dimana intervensi Cognitive Behavior Therapy pada orang dengan kehilangan penglihatan yang menjadi depresi berhasil menunjukkan perubahan pada tingkat depresinya. Kategori simtom-simtom motivasional, emosional, afektif, kognitif dan fisik dan vegetatif menjadi lebih baik. Hasil tersebut sebelumnya melalui proses terapi. Dalam proses Cognitive Behavior Therapy, subyek menentang keyakinan pikiran negatif dan mengubahnya menjadi pikiran positif. Hal ini diakui subyek dapat mengubah perasaan dan pada akhirnya subyek juga menunjukkan perilaku yang lebih positif. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan tingkat depresi antara sebelum mendapatkan terapi dan dengan tingkat depresi sesudah mendapatkan terapi.

Daftar Pustaka

Radiani,A.,W. Cognitive Behavior Therapy Untuk Penurunan Depresi pada Orang dengan Kehilangan Penglihatan. Tesis (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Magister Profesi Psikologi Universitas Mercu Buana.

Dodds, A. (1993). Rehabilitating blind and visually impaired people: A psychological approach. London: Chapman& Hall.


Haeba, N. (2009). Terapi Kognitif Perilaku dan Depresi Pasca Melahirkan. Jurnal Intervensi Psikologi. 1(1).41-75.

Lubis, N. L. (2008). Aplikasi kognitif tingkah laku (CBT) dengan sokongan sosial terhadap estim kendiri dan depresi penyakit kanker. Tesis (Tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara.


McDowel, I & Newell, C. (1996). Measuring health: a guide to rating scales and questionnaire (2nd ed). New York: Oxford University Press.

Nevid, J.S., Rathus, S.A., & Grene, B. (2005). Psikologi abnormal. Jilid dua. Jakarta: Erlangga.

Oemarjoedi, A. K. (2003). Pendekatan cognitive behavior dalam psikoterapi. Jakarta: Penerbit Creatif Media.

Ro’fah, A., & Muhrisun. (2010). Inklusi pada pendidikan tinggi: best practices pembelajaran dan pelayanan adaptif bagi mahasiswa difabel netra. Yogyakarta : PSLD Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.





Minggu, 05 April 2015

Anak berkebutuhan khusus




Hai semua.. kali ini saya akan membahas mengenai Anak berkebutuhan Khusus. Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya. Anak dikatakan berkebutuhan khusus jika ada sesuatu yang kurang atau bahkan lebih dalam dirinya. Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Anak berkebutuhan khusus seperti anak dengan gangguan perilaku, anak berbakat, anak dengan tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa dan tunalaras
Terapi yang diberikan pada Anak Bekebutuhan Khusus bisa bermacam-macam tergantung jenis ABK nya, sebagai gambaran, untuk anak autis, terapi yang dilakukan pertama adalah sensorik integrasi. Ini dilakukan sebagai upaya membuat anak tersebut kembali kedunia kita, dengan cara menstimulus sensoriknya agar dia bisa bereaksi sebagaimana mestinya dan berperilaku yang sesuai.  Namun  terapi yang dilakukan harus berkesinambungan dan dilakukan dirumah selain diklinik. Karena waktu anak banyak dirumah.
Jika anak sudah waktunya untuk bersekolah,  berilah kesempatan ia untuk mendapat pendidikan disekolah. Terkadang orang tua malu menyekolahkan  ABK.  Usahakan anak disekolahkan di sekolah inklusi , agar anak terbiasa untuk bergaul dengan anak tanpa kebutuhan khusus. Apalagi jika intelegensinya tidak terganggu.  Sekolah Inklusi adalah sekolah regular yang menerima ABK , dengan menyediakan sistem pendidikan yang sama seperti anak tanpa kebutuhan khusus, mulai dari kurikulum, pembelajaran hingga penilaian. Disini Biasanya anak akan mendapat guru pembimbing khusus. Sebenarnya kunci pengasuhan ABK ada di orang tua, jika orang tua/guru sudah terbiasa melatih mandiri dia akan mudah menyesuaikan diri untuk bersekolah disekolah umum.
       Layanan terapi untuk anak berkebutuhan khusus tersebut meliputi Terapi Okupasi, Terapi Sensori Integrasi, Terapi Wicara, Terapi ADL (Aktifitas keseharian), Terapi Perilaku, Orthopedagogik (Remidial Teaching), Fisioterapi, Terapi Musik dan Terapi Akupresur dan Akupuntur.
1.      Terapi Okupasi
§ Terapi okupasi umumnya menekan pada kemampuan motorik halus, selain itu terapi okupasi juga bertujuan untuk membantu seseorang agar dapat melakukan kegiatan keseharian, aktifitas produktifitas dan pemanfaatan waktu luang.
§ Terapi okupasi terpusat pada pendekatan sensori atau motorik atau kombinasinyauntuk memperbaiki kemampuan anak untuk merasakan sentuhan, rasa, bunyi, dan gerakan. Terapi juga meliputi permainan dan keterampilan sosial, melatih Kekuatantangan, genggaman, kognitif dan mengikuti arah.
§ Terapi okupasi diperlukan oleh anak/orang dewasa yang mengalami kesulitan belajar, hambatan motorik (cedera, stroke, traumatic brain injury), autisme,sensory processing disorders, cerebral palsy, down syndrome, Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), genetic disorders, asperger’s syndrome, kesulitan belajar, keterlambatan wicara, gangguan perkembangan (CerebalPalsy/CP), Pervasive Developmental Disorder (PDD)dan keterlambatan tumbuh kembang lainnya.
 2.      Terapi Sensori Integrasi
§ Sensori integrasi berarti kemampuan untuk mengolah dan mengartikan seluruhrangsang sensoris yang diterima dari tubuh maupun lingkungan, dan kemudianmenghasilkan respons yang terarah. Aktivitas fisik yang terarah, bisa menimbulkan respons yang adaptif yang makin kompleks. Dengan demikianefisiensi otak makin meningkat.
§ Terapi sensori integrasi meningkatkan kematangan susunan saraf pusat, sehinggaia lebih mampu untuk memperbaiki struktur dan fungsinya.
§ Aktivitas sensori integrasi merangsang koneksi sinaptik yang lebih kompleks, dengan demikian bisa meningkatkan kapasitas untuk belajar.
§ Layanan terapi ini dapat diterapkan pada:
Anak dengan gangguan perilaku, Autism Spectrum Disorder (ASD),Down Syndrome,Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADD/ADHD), Asperger’s Syndrome, Kesulitan Belajar, Keterlambatan wicara, Gangguan perkembangan (Cerebal Palsy/CP), Pervasive Developmental Disorder (PDD) dan keterlambatan perkembangan lainnya.
 3.      Terapi Wicara
§ Terapi Wicara adalah layanan terapi yang membantu bekerja pada prinsip-prinsip dimana timbul kesulitan berkomunikasi atau ganguan pada berbahasa dan berbicara bagi orang dewasa maupun anak.
§ Terapi wicara bertujuan untuk membantu seseorang yang mengalami gangguan komunikasi, seperti :Anak-anak dengan gangguan berbahasa reseptis (tidak mengerti), anak-anak dengan gangguan berbahasa ekspresif (sulit mengungkapkan keinginannya dalam berbicara), anak-anak dengan gangguan tumbuh kembang khusus (autisme, down syndrome,  tuna rungu-wicara), anak-anak yang mengalami keterlambatan bicara (speech delay), anak-anak yang mengalami gangguan artikulasi gagap (stuttering),cadel, dst. anak-anak dan orang dewasa yang baru selesai menjalani operasi celah bibir (cleft lip/sumbing) dan celah langit-langit (cleft palate), serta gangguan bahasa pada orang dewasa seperti pasca stroke yang mengalami kehilangan berbahasa (Afasia).
4.      Terapi ADL (Aktifitas Keseharian)
§ Salah satu bentuk layanan terapi yang membantu anak-anak untuk dapat melakukan aktifitas keseharian seperti makan, minum, berpakaian, bersepatu, bersisir, mandi, aktifitas toileting, dst secara mandiri.
§ Layanan terapi ADL ini pada umumnya diberikan oleh seorang Okupasi Terapis.
§ Layanan terapi ini dapat diterapkan bagi anak berkebutuhan khusus sehingga anak dapat mandiri dalam kesehariannya.
 5.      Terapi Perilaku
§ Terapi perilaku, berupaya untuk melakukan perubahan pada anak autistik dalam arti perilaku yang berlebihan dikurangi dan perilaku yang berkekurangan (belum ada) ditambahkan.
§ Terapi perilaku yang dikenal di seluruh dunia adalah Applied Behavioral Analysis yang diciptakan oleh O.Ivar Lovaas, PhD dari University of California Los Angeles (UCLA).
§ Dalam terapi perilaku, fokus penanganan terletak pada pemberian reinforcement positif setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi yang diberikan. Tidak adahukuman (punishment) dalam terapi ini, akan tetapi bila anak berespons negatif (salah/tidak tepat) atau tidak berespons sama sekali maka ia tidak mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai tersebut. Perlakuan ini diharapkan meningkatkan kemungkinan anak untuk berespons positif dan mengurangi kemungkinan ia berespons negatif (atau tidak berespons) terhadap instruksi .
§ Layanan terapi ini umumnya diperuntukan untuk anak dengan gangguan perilaku, pemusatan pemikiran dan hiperaktifitas (ADHD), ADD, maupun autisme.
 6.      Orthopegagog(Remedial Teaching)
§ Orthopedagog adalah terapi untuk mengatasi kesulitan belajar khusus pada anak. Kesulitan-kesulitan ini umum terjadi pada anak-anak usia sekolah dan bisa dideteksi oleh orang tua atau guru, ketika anak menunjukkan beberapa gejala tertentu.
§ Membimbing anak untuk menguasai logika dasar dan kemampuan berpikir secaralebih optimal. Selain itu, remedial teaching juga bermanfaat untukmengembangkan kemampuan membaca, menulis dan berhitung dasar.
§ Umumnya metode ini digunakan pada anak dengan Kesulitan Belajar dan LambanBelajar.
§ Semua kesulitan belajar khusus ini bisa terjadi apa setiap anak, tidak tergantung  pada kondisi fisik maupun intelegensi semata. Sebab terjadinya kesulitan belajarini bisa bermacam-macam, termasuk koordinasi pada otak, motorik halus, faktor   neurologis, faktor intelegensi, dst
7.    Fisioterapi
 § Fisioterapi merupakan salah satu jenis layanan terapi fisik yang menitik beratkanuntuk menstabilkan atau memperbaiki gangguan fungsi alat gerak/fungsi tubuhyang terganggu kemudian diikuti dengan proses/metode terapi gerak.
§ Fisioterapi membantu anak mengembangkan kemampuan motorik kasar.Kemampuan motorik kasar meliputi otot-otot besar pada seluruh tubuh yang memungkinkan tubuh melakukan fungsi berjalan, melompat, jongkok, dst
§ Layanan fisioterapi juga bertujuan untuk membantu seseorang yang mengalamigangguanfisik untuk memperbaiki gerak sendi (LGS) dan kekuatan otot (KO) agar dapat berfungsi seperti semula.
§ Layanan fisioterapi umumnya bagi anak dengan keterbatasan fisik, ketunaantubuh/tunadaksa serta anak cerebal palsy/CP dan untuk anak-anak yangmengalami keterlambatan atau gangguan pada kemampuan motorik kasar, pasien  pasca stroke yang memerlukanpemulihan kondisi fisiknya serta trauma lain yangmenyebabkan penampilan fisikterganggu.
 8.      Terapi Musik
§ terapi musik adalah salah satu bentuk terapi yang bertujuan meningkatkan kualitas fisikdan mental dengan rangsangan suara yang terdiri dari melodi, ritme,harmoni, timbre, bentuk dan gaya yang diorganisir sedemikian rupa hinggatercipta musik yang bermanfaat untuk kesehatan fisik dan mental.
§ Layanan terapi ini diperuntukkan bagi semua ketunaan yang ada serta pada  gangguan perkembangan anak seperti autisme, ADHD, Down Syndrom, dst
9.      Terapi Akupresur dan Akupuntur
 § Akupresur adalah salah satu bentuk terapi dengan memberikan pemijatan danstimulasi pada titik-titik tertentu pada tubuh. Layanan terapi ini bertujuan untuk mengurangi bermacam-macam sakit dan nyeri serta mengurangi ketegangan,  kelelahan dan penyakit.
§ Sedangkan akupuntur merupakan salah satu bentuk dari pembedahan denganmenusukkan jarum-jarum ke titik-titik tertentu di badan.
§ Layanan akupresur dan akupuntur dapat menyembuhkan sakit dan nyeri yangsukar disembuhkan seperti nyeri punggung, spondilitis, kram perut, gangguanneurologis, artritis, serta gangguan dalam kesulitan tidur, hiperaktifitas, kesulitan makan, obesitas, dst


Beberapa jenis layanan terapi yang telah diuraikan diatas merupakan salah satu dari sekian banyak jenis terapi yang dapat dipilih bagi anak berkebutuhan khusus, terapi tersebut umumnya bersifat individual, baik dalam kurikulum maupun tatacara teknik pembelajarannya.Hal ini dikarenakan oleh kebutuhan dan kareakteristik pada masing-masing anak berkebutuhan khusus yang berbeda antara satu anak dengan anak lainnya, tingkat kemajuan terapi tergantung dari asset limitasi yang ada pada anak. Orang tua banyak yang mengharapkan terapi instan yang cepat membuahkan hasil, namun hal itu kembali pada karakteristik yang ada pada anak. Intinya tidak ada program terapi instan yang langsung membuahkan hasil seketika, semua harus melalui proses yang sedemikian rupa, kesabaran serta ketekunan.


Sekian dan terima kasih..


Minggu, 29 Maret 2015

Pentingnya Bermain..



Hai semua.. beberapa waktu yang lalu saya ke sebuah warung internet atau yang disebut juga sebagai Warnet. Setelah saya masuk ke Warnet tersebut, saya melihat hampir seluruh pengunjung di dominasi oleh anak-anak pelajar yang bermain sebuat permainan di komputer tersebut, dan ternyata Warnet tersebut juga sebuah Game Statiun. Saat itu saya teringat masa kecil saya, yang dihiasi dengan permainan-permainan lapangan dan penuh dengan kreativitas bukan permainan di depan komputer. Saya berpikir apa sebenarnya fungsi dan tujuan dari sebuah permaian. Sekarang saya akan membahas hal itu
Teori Permainan
Permainan itu sendiri dipandang dari beberapa teori permainan, yaitu:
  1. Teori Rekreasi
Teori ini dikembangkan oleh Schaller dan Lazarus, keduanya ilmuwan bangsa Jerman, yang berpendapat bahwa permainan merupakan kesibukan untuk menenangkan pikiran atau beristirahat. Orang melakukan kesibukan bermain bila mereka bekerja ; maksudnya untuk mengganti kesibukan bekerja dengan kegiatan lain yang dapat memulihkan tenaga kembali.Maka disebut juga teori pemulihan tenaga Atau disebut juga teori Istirahat.
  1. Teori Penglepasan
Teori ini berasal dari Herbert Spencer, ahli pikir bangsa Inggris. Ia mengatakan bahwa dalam diri anak terdapat kelebihan tenaga. Sewajarnya ia harus mempergunakan tenaga itu melalui kegiatan bermain. Kelebihan tenaga itu harus dipergunakan, paling tidak harus dilepaskan dalam kegiatan bermain-main. Dengan demikian dapat mencapai keseimbangan dalam dirinya. Teori ini disebut juga sebagai teori kelebihan tenaga (Krachtoverschot-theorie).
  1. Teori Atavistis
Teori ini berasal dari Stanley Hall, ahli psikologi bangsa Amerika, yang berpendapat bahwa di dalam perkembangannya, anak melalui seluruh taraf kehidupan umat manusia. Sebelumnya Hackel merumuskan pendapat ini berupa hukum biogenetis. Anak-anak selalu mengulangi apa yang pernah dikerjakan atau diperbuat nenek moyangnya sejak dari masa dahulu sampai kepada keadaan yang sekarang. Karena alasan itulah maka teori ini dinamai atavistis. Dalam bahasa latin, atavus artinya nenek moyang. Jadi atavistis artinya kembali kepada sifat-sifat nenek moyang di masa lalu. Dalam permainan timbul bentuk-bentuk kelakuan seperti bentuk kehidupan yang pernah dialami oleh nenek moyang.
Hall yang banyak mendengarkan teorinya kepada Rousseau dan Darwin, memandang permainan berdasarkan teori rekapitulasi, yaitu sebagai ulangan (rekapitulasi) bentuk-bentuk aktivitas yang dalam perkembangan jenis manusia pernah memegang peranan yang dominan.
Menurut teori rekapitulasi perkembangan individu (ontogenesa) adalah ulangan perkembangan jenis manusia (filogenesa). Menurut Hall permainan merupakan sisa-sisa periode perkembangan manusia waktu dulu tetapi yang sekarang perlu sebagai stadium transisi dalam perkembangan individu. Teori rekapitulasi berhasil memberi penjelasan lebih rinci mengenai tahapan kegiatan bermain yang mempunyai urutan yang sama seperti evolusi mahluk hidup.
  1. Teori Biologis
Teori ini berasal dari Karl Gross, seorang bangsa Jerman. Selanjutnya Dr. Maria Montessori, pendidik kenamaan bangsa Italia (1870-1952), mengembangkan teori biologis ini. Permainan merupakan tugas biologis (hidup atau hayat). Dengan pedoman pendapat itu, permainan di kalangan anak-anak mempunyai persamaan dengan permainan dalam dunia binatang. Permainan merupakan latihan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan kehidupan, juga dianggap sebagai latihan jiwa dan raga untuk kehidupan dimasa yang akan datang.
Dasar teori Groos adalah prinsip seleksi alamiah yang dikemukakan oleh Charles Darwin. Binatang dapat mempertahankan hidupnya karena dia mempunyai keterampilan yang diperoleh melalui bermain. Bayi yang baru lahir juga binatang mewarisi sejumlah instink yang tidak sempurna dan instink ini penting guna mempertahankan hidup. Bermain bermanfaat untuk mahluk yang masih muda dalam melatih dan menyempurnakan instinknya. Jadi tujuan bermain adalah sebagai sarana latihan dan mengelaborasi keterampilan yang diperlukan saat dewasa nanti.
Montessori menyebut permainan ini sebagai latihan fungsi-fungsi. Fungsi-fungsi dilatih dengan cara berlari-lari, dengan cara berjingkrak­jingkrak, dan sebagainya. Perasaan senang dalam bermain ini dapat membantu dan mendorong untuk menimbulkan kekuatan-kekuatan yang dibutuhkan.
  1. Teori Psikologi Dalam
Teori ini berasal dari Sigmund Freud dan Adler, kedua tokoh itu membahas permainan dari sudut pandang psikologi dalam. Menurut Freud, permainan merupakan pernyataan nafsu-nafsu yang terdapat di daerah bawah sadar, sumbernya berasal dari dorongan nafsu seksual. Permainan merupakan bentuk dari pemuasan dari nafsu seksual yang terdapat di komplek terdesak. Sedang menurut Adler, pernyataan nafsu-nafsu yang terdapat di bawah sadar itu sumbernya berasal dari dorongan nafsu berkuasa. Permainan merupakan usaha untuk menutup-nutupi perasaan “harga diri kurang”.
  1. Teori Fenomenologis
Profesor Kohnstamm, seorang sarjana Belanda yang mengembangkan teori fenomenologi dalam pedagogik teoritisnya menyatakan bahwa, permainan merupakan suatu fenomena atau gej ala yang nyata, yang mengandung unsur-unsur permainan (spels feer). Dorongan bermain merupakan dorongan untuk menghayati suasana bermain itu. Yakni tidak khusus bertujuan untuk mencapai prestasi-prestasi tertentu, akan tetapi anak bermain untuk permainan itu sendiri.


Jadi, tujuan permainan adalah permainan itu sendiri. Dalam suasana permainan itu terdapat:
1)      Kebebasan
2)      Harapan
3)      Kegembiraan
4)      Unsur Ikhtiar dan;
5)      Siasat untuk mengatasi hambatan serta perlawanan.


2. Jenis- Jenis Permainan
H. Zetzer, seorang ahli psikologi bangsa Jerman, meneliti permainan dikalangan anak-anak. Tokoh ini menyebutkan jenis-jenis permainan sebagai berikut:
- Permainan Fungsi
Dalam permainan ini yang diutamakan adalah gerakannya. Bentuk permainan ini gunanya untuk melatih fungsi-fungsi gerak dan perbuatan.
  • Permainan Konstruktif
Dalam permainan ini yang diutamakan adalah hasilnya, ada pula yang disebut permainan destruktif. Bentuk permainan ini lebih bersifat merusak.
Permainan konstruktif merupakan cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Metode mengandung implikasi bahwa proses penggunaannya bersifat konsisten dan sistematis, mengingat sasaran metode itu adalah manusia yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Pengertian bermain adalah melakukan suatu perbuatan untuk menyenangkan hati (dengan alat-alat tertentu atau tidak). Sedangkan pengertian Konstruktif adalah bersifat membina, memperbaiki, dan membangun.
Dengan demikian yang dimaksud dengan Metode Bermain Konstruktif adalah cara bermain yang bersifat membangun, membina, memperbaiki, dimana anak-anak menggunakan bahan untuk membuat sesuatu yang bukan untuk bertujuan bermanfaat, melainkan ditujukan bagi kegembiraan yang diperolehnya dari membuatnya.
Yang dimaksud konstruktif adalah bahwasanya anak-anak membuat bentuk-bentuk dengan balok-balok, pasir, lumpur, tanah liat, manik-manik, cat, pasta, gunting dan krayon. Sebagian besar konstruksi yang dibuat merupakan tiruan dari apa yang dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari atau dari layar bioskop atau televisi. Menjelang berakhirnya awal masa kanak-kanak, anak­anak sering menambahkan kreatifitasnya ke dalam konstruksi-konstruksi yang dibuat berdasarkan pengamatannya dalam kehidupan sehari-hari.
  • Permainan Reseptif
Sambil mendengarkan cerita atau melihat-lihat buku bergambar, anak berfantasi dan menerima kesan-kesan yang membuat jiwanya sendiri menjadi aktif.
  • Permainan Peranan
Anak itu sendiri memegang peranan sebagai apa yang sedang dimainkannya.
  • Permainan Sukses
Dalam permainan ini yang diutamakan adalah prestasi, untuk kegiatan permainan ini sangat dibutuhkan keberanian, ketangkasan, kekuatan dan bahkan persaingan.


  1. Fungsi Bermain
Sesuai dengan pengertian bermain yang merupakan tuntutan dan bagi perkembangan anak usia TK, menurut Hartley, Frank, dan Goldenson sebagaimana dikutip oleh Moeslichatoen, ada 8 fungsi bermain bagi anak:
Memainkan apa yang dilakukan oleh orang dewasa
Untuk melakukan berbagai peran yang ada dalam kehidupan nyata
Untuk mencerminkan hubungan dalam keluarga dan pengalaman hidup yang nyata.
Untuk menyalurkan perasaan yang kuat
Untuk melepaskan dorongan-dorongan yang tidak dapat diterima
Untuk kilas balik peran-peran yang biasa dilakukan
Mencerminkan pertumbuhan
Untuk memecahkan masalah dan mencoba berbagai penyelesaian masalah.
Sedangkan menurut Hetherington dan Parke bermain juga berfungsi untuk mempermudah perkembangan kognitif anak. Dengan bermain akan memungkinkan anak meneliti lingkungan, mempelajari segala sesuatu yang dihadapinya. Bermain juga meningkatkan perkembangan sosial anak. Dengan menampilkan bermacam-macam peran, anak berusaha memahami peran orang lain dan menghayati peran yang akan diambilnya setelah ia dewasa kelak.
Sejalan dengan Hetherington dan Parke di atas, Dworetzky (1990) juga mengemukakan fungsi bermain dan interaksi dalam permainan mempunyai peranan penting bagi perkembangan kognitif dan sosial anak. Fungsi bermain tidak saja dapat meningkatkan perkembangan kognitif dan sosial, tetapi juga perkembangan bahasa, disiplin, perkembangan moral , kreatifitas dan perkembangan fisik anak. Beberapa fungsi bermain antara lain:
Mempertahankan keseimbangan
Menghayati berbagai pengalaman yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari
Mengantisipasi peran yang akan dijalani di masa yang akan datang
Menyempurnakan keterampilan-keterampilan yang dipelajari
Menyempurnakan keterampilan memecahkan masalah
Meningkatkan keterampilan berhubungan dengan anak lain.
Pendekatan dalam Pengembangan Kreativitas Anak


  1. Ada dua pendekatan yang dapat diterapkan dalam proses pengembangan kreativitas yaitu :
  • Pendekatan Humanistik
Pendekatan ini mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Maslow (1908–1970) yang menyatakan bahwa manusia mempunyai naluri-naluri dasar yang menjadi nyata sebagai kebutuhan. Kebutuhan harus dipenuhi dalam urutan hierarki tertentu. dari mulai kebutuhan tingkat rendah kepada kebutuhan tingkat tinggi (aktualisasi diri dan estetik). Dalam hal ini, proses perwujudan diri (self realization) erat kaitannya dengan kreativitas. Maslow menyatakan bahwa semua orang yang mengaktualisasikan diri (self actualizers) adalah kreatif, baik secara arstistik maupun ilmiah dia percaya banyak cara menyelesaikan masalah. Dengan demikian, kreativitas akan berkembang seumur hidup karena manusia akan selalu memenuhi kebutuhannya dengan berperilaku dan berfikir kreatif.
Kaitan kreativitas dengan proses pembelajaran di sekolah merupakan salah satu sarana bagi anak didik untuk mengaktulisasikan diri sesuai dengan potensinya. Sehingga dengan pendekatan ini kreativitas anak dapat dirangsang sedemikian rupa, sehingga bisa tumbuh secara manusiawi.
Adapun manfaat dari pedekatan ini adalah:
a)      Guna menumbuhkan motivasi intrinsik anak karena dengan adanya kesadaran dalam diri akan mendorong pengembangan kreativitasnya.
b)      Menanamkan sifat optimis pada diri anak bahwa ia dapat berkreasi b. Pendekatan Konstruktivistik
Tokoh pendekatan ini antara lain Wilson, Duffy, Knuth. Pendekatan ini menekankan, bahwa pengetahuan harus dibangun sendiri oleh anak didik berdasarkan pada pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Kreativitas akan meningkat dengan adanya keragaman pengalaman dan pengetahuan, maka memperluas pengalaman dengan keterlibatan multimodalitas, pengakuan akan kemanfaatan yang lebih luas dari kecerdasan ganda dan penerapan gaya belajar dapat menambah kemungkinan timbulnya solusi baru bagi permasalahan dan produk pemikiran.
Misi utama dari pendekatan ini adalah membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya melalui proses pembelajaran secara mandiri, sedangkan manfaat dari pendekatan ini adalah:
a)      Untuk menumbuhkan keaktifan dan sifat mandiri pada diri siswa.
b)      Untuk menciptakan hubungan yang interaktif antara guru dan siswa.

Sekian dan Terima kasih..

Jumat, 06 Maret 2015

Kaki bergoyang..


     Hai semua... saya sering kali mendapati beberapa orang yang menggoyangkan kaki dan mungkin itu hal biasa yang mereka lakukan. Saya pernah bertanya, apa yang dipikirkan dan mereka rasakan saat kakinya mulai bergoyang, dan ternyata beberapa menjawab bahwa hal itu dilakukannya tanpa sengaja dan bahkan mereka tidak menyadari jika kakinya sedang bergerak. Nah sekarang kita bahas lebih lanjut mengenai kebiasaan menggoyangkan kaki. 
     Saat sedang duduk seringkali kita tidak menyadari kaki selalu bergerak dan bergoyang dengan sendirinya. Sampai pada akhirnya ada teguran dari orang di sebelah kita yang merasa cukup terganggu karena goyangan kaki kita atau ada pandangan sinis. Gerakan kaki saat duduk ini bisa berupa gerakan kaki yang bergoyang naik turun, mirip seperti gerakan kaki saat mengikuti irama hentakan musik yang sedang kita dengarkan. Goyangan kaki ini juga bisa berupa gerakan kaki ke arah samping. Akan tetapi gerakan terakhir ini jarang karena kebanyakan kaki yang bergerak tanpa disadari itu adalah gerakan kaki yang naik turun. 
      Ada satu pertanyaan muncul, mengapa saat duduk kadang kita tidak menyadari bahwa kaki sedang bergoyang dengan irama tertentu. Kaki yang selalu bergoyang saat duduk ini bisa disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa faktor tersebut antara lain seperti uraian di bawah ini: Pertama, gerakan kaki yang disebabkan karena adanya rasa nyaman saat kaki sedang bergerak dan bergoyang. Gerakan kaki jenis ini biasanya merupakan gerakan refleks yang terjadi secara spontan. Jadi meskipun seseorang itu disuruh berhenti agar tidak menggoyangkan kaki, namun tanpa disadari beberapa saat kemudian gerakan kaki yang bergoyang ini terjadi lagi. Gerakan kaki ini bisa terjadi kapan saja pada waktu duduk. 
       Kedua, gerakan kaki juga bisa disebabkan karena sifat seseorang yang tidak bisa diam saat duduk atau tidak betah berlama-lama duduk. Ya, karena memang ada beberapa orang yang menderita saat disuruh diam dan duduk dalam waktu lama. Sehingga kadang tanpa disadari kaki-kaki mereka akan bergerak dan bergoyang mulai dari tahap pelan hingga semakin keras.
       Ketiga, saat dalam kondisi menunggu kadang kebosanan dan kejenuhan itu muncul. Misalnya pada saat kita duduk menunggu antrian panjang yang cukup lama, sering kita menggerakkan kaki untuk menjadi obat bosan dan membunuh rasa jenuh. Biasanya gerakan kaki ini bisa terjadi begitu keras, ketika sedang asyik bahkan kita tak menyadari kalau kaki kita sedang bergoyang.
       Keempat, kaki yang bergerak tanpa disadari ini bisa juga menjadi petunjuk bahwa seseorang itu dalam keadaan cemas, gugup, dan khawatir. Dalam kondisi seperti itu kaki yang bergerak menjadi pelarian terhadap rasa cemas, gugup dan khawatir. Stres dan pusing juga bisa menyebabkan kaki bergerak terus.
       Kelima, saat mendengarkan musik seringkali kaki juga bergerak mengikuti tabuhan drum dan irama musik. Ketika kita hanyut dalam irama musik seringkali juga secara tidak sadar kaki akan bergoyang mengikuti irama lagu yang kita dengarkan.
       Keenam, gerakan kaki akibat kedinginan danuntuk membuat peredaran darah di sekitar kaki tetap lancar mengalir, maka otak mengirimkan perintah agar (otot) kaki senantiasa bergerak. 
        Dalam bidang klinis terdapat istilah yang dapat menjelaskan gerakan kaki ini yaitu Restless Legs Syndrome (RLS), atau sindrom kaki aktif. Sindrom terhadap kaki yang bergerak. Restless Leg Syndrome (RLS) dijelaskan sebagai gejala fisiologis yang harus segera diberi penangan. Hal ini membuat tubuh merasa tidak nyaman baik dalam keadaan duduk maupun dalam keadaan berbaring. RLS dapat membuat seseorang sulit tidur pada malam hari dan juga pada saat melakukan perjalanan dengan kendaraan. RLS juga dapat diartikan sebagai suatu kondisi neurologis yang digambarkan dengan suatu keinginan yang tidak tertahankan untuk  menggerakkan kaki. 
     Menurut dr Isti Suharjanti SpS, spesialis saraf RSU Dr.Soetomo Surabaya. RLS merupakan gangguan sensorik dan motorik. Seseorang yang terserang gangguan tersebut cenderung bergerak pada saat istirahat (gangguan motorik). “Namun, yang bergerak hanya tungkai bawah, tak seluruh tubuh,”. RLS yang parah dapat ditandai dengan : merangkak, perasaan geli, kejang, merayap, menarik kaki saat berjalan, nyeri, perasaan seperti tersetrum, tidak nyaman, gatal, rasa seperti digrogoti, sakit, rasa seperti terbakar, kaku, sulit menggerakkan kaki. 
      Sampai saat ini, penyebab RLS belum diketahui secara pasti. namun, banyak ahli menduga, ada dua penyebab, yaitu:
Penyebab Primer => yang tergolong penyebab primer adalah genetik
Penyebab Sekunder => bisa disebabkan kekurangan besi, kelainan fungsi ginjal, diabetes mellitus, kehamilan pada trimester terakhir, orang yang menjalani hemodialisis, ataupun pengidap Parkinson’s disease

       RLS dapat dialami oleh siapa saja dan semua umur. Beberapa menyebutnya sebagai gerakan karena nervous atau gugup. Padahal, RLS bukan sepenuhnya karena kegugupan ataupun rasa bosan atas suatu situasi yang sama seperti menunggu, duduk lama di pesawat terbang dan sebagainya.  Menurut Mayo Clinic, RLS bukan penyakit yang mudah dianalisis dalam waktu yang singkat. Sebab, RLS juga berhubungan dengan otak. Karena perintah otak lah, kaki bergoyang-goyang, bergerak seperti orang menjahit. Beberapa peneliti bahkan mendapatkan hasil riset bahwa RLS diturunkan secara genetik, karena berkaitan dengan kromosom-kromosom yang sama dalam sebuah keluarga besar. Riset lainnya menunjukkan bahwa RLS biasa terjadi pada perempuan hamil karena hormon-hormon yang berubah saat kehamilan. RLS juga ditemukan terjadi pada orang yang menderita penyakit kronis seperti diabetes dan kecanduan alkohol. Orang yang mengalami kekurangan zat besi dan sakit ginjal biasanya juga mengalami RLS. 


CARA MENGURANGI KAKI BERGOYANG
-        - Olahraga seperti jalan kaki baik untuk meringankan gejala RLS. Juga bisa lakukan peregangan untuk otot betis, bokong, paha sebelum tidur
-        - Mandi air hangat sebelum tidur akan merelaksasi otot-otot dan meminimalisasi gejala RLS
-        - Lakukan pernafasan dalam dan belajarlah cara melakukan relaksasi serta menjadikan lingkungan sekitar lebih nyaman
-       -  Ubah posisi tidur beberapa kali. Jadwal tidur yang teratur juga membantu membiasakan tubuh dan pikiran untuk menikmati tidur yang baik.
-      -   Istirahatlah jika merasa lelah
-       -  Jaga tubuh tetap hangat dalam cuaca dingin , misal menggunakan kaos kaki dan jaket
-        - Perbanyak mengkonsumsi makanan sumber zat besi, seperti bayam, brokoli, buncis dll. Atau suplementasi zat besi.
-        - Biasakan untuk mengontrol kaki saat mulai ingin bergerak

Semoga bermanfaat..

Kamis, 26 Februari 2015

Kesurupan dari sudut pandang psikologi

       Hai semua... saya punya cerita.. Beberapa waktu yang lalu saya berkunjung ke sebuah desa di jawa timur dan menginap beberapa hari bersama teman-teman saya. Pada suatu malam, saat saya sedang mencari makan keluar penginapan, tiba-tiba saya mendengar bahwa beberapa teman saya yang menginap di penginapan tersebut mengalami kesurupan dan kami segera kembali ke penginapan. Sesampainya di penginapan, saya memang menemui teman saya dalam posisi berbaring dan beberapa anggota tubuhnya dipegang oleh beberapa orang karena ingin berontak. Saat saya melihat teman saya tersebut, saya mengalami kebingungan mengenai hal apa yang harus saya lakukan karena saya belum pernah melihat kesurupan secara langsung sebelumnya.  Beberapa jam berlalu, teman saya akhirnya pulih kembali seperti sedia kala setelah diberikan beberapa terapi. Nah.. saat itu saya berpikir, apa yang sebenarnya menyebabkan kesurupan? Coba kita bahas kesurupan dari sudut pandang psikologi tanpa membawa unsur mistis.
       Fenomena trance atau kesurupan adalah suatu peristiwa yang seringkali menarik perhatian. Di masyarakat umum, fenomena ini sering dikaitkan dengan fenomena gaib. Orang yang mengalami kesurupan dikatakan telah dirasuki oleh makhluk metafisik yang tak kasat mata. Orang yang mengalami kesurupan itu bersikap seolah-olah dia adalah orang lain dan bersikap bukan dirinya sendiri. Bahkan perilaku mereka bisa secara tiba-tiba menjadi sangat agresif dan tak terkendali.
       Jika ditinjau dari sudut pandang ilmu psikologi, fenomena kesurupan sebenarnya bisa dijelaskan secara gamblang dan jelas tanpa membawa embel-embel makhluk gaib. Dalam kajian psikologi ada dua perspektif yang dapat digunakan untuk melihat kasus kesurupan yaitu kajian psikoanalisa dan psikologi transpersonal. Namun menurut saya yang paling sesuai untuk mengkaji kesurupan sebagai sebuah gangguan lebih tepat dengan menggunakan psikoanalisa terutama pendapatnya Carl Gustav Jung. Pada kajian psikologi transpersonal kajian trance lebih ke arah spiritual atau sebagai sesuatu yang tidak mengganggu. Kesurupan sebenarnya juga merupakan trance ke arah mengganggu dan tidak terkendali.
       Dikaitkan dengan aspek psikologis manusia peristiwa kesurupan sudah memasuki kawah alam bawah sadar. Seorang tokoh psikologi, Carl Gustav Jung (1875-1961) mengatakan bahwa kepribadian manusia secara total terdiri dari tiga sistem atau struktur yang saling mempengaruhi satu sama lain. Sistem tersebut adalah ego, ketidaksadaran personal, dan ketidaksadaran kolektif. Ego atau disebut pikiran sadar adalah bagian dari jiwa yang menyangkut persepsi, berpikir, merasa, dan mengingat. Sistem ini adalah kewaspadaan kita dan bertanggung jawab dalam menjalani aktivitas kehidupan kita sehari-hari. Ketidaksadaran personal adalah pengalaman-pengalaman yang telah kita jalani dan digeser ke alam bawah sadar baik sengaja maupun tidak sengaja. Sedangkan ketidaksadaran kolektif adalah segala macam pengalaman-pengalaman yang telah diwariskan oleh generasi sebelumnya sejak zaman nenek moyang dahulu. Jadi, pengalaman pengalaman nenek moyang sejak beribu tahun yang lalu tersebut diwariskan kepada diri kita melalui jalan genetik yaitu perkawinan, dan pengalaman tersebut tidak dapat kita ingat secara biasa karena berada dalam level ketidaksadaran yang terdalam.
Baiklah mari kita bahas secara detil mengenai teori Carl Gustav Jung.
a. ketidaksadaran dalam pandangan Jung
C.G. Jung (Swis, 1875-1961) adalah tokoh yang paling penting untuk psikoanalisis (psikologi dalam) di samping Sigmund Freud dan Alfred Adler. Psikologi dalam (depth psychology) menemukan ketegangan antara hidup sadar dan tidak sadar dan menganalisa “ketidaksadaran” sebagai suatu lapisan psikologi manusia (di samping pikiran yang disadarinya) yang mempengaruhi perasaan, pikiran dan tindakan manusia. Ketidaksadaran itu muncul misalnya dalam mimpi-mimpi atau juga dalam mitos-mitos dan gambar-gambar religius.
b. Unsur kepriadian dalam paradigma Psikoanalitik Jung
Doktrin Jung yang dikenal dengan psikologi analitis (analytical psychology), sangat dipengaruhi oleh mitos, mistisisme, metafisika, dan pengalaman religius. Ia percaya bahwa hal ini dapat memberikan keterangan yang memuaskan atas sifat spiritual manusia, sedangkan teori-teori Freud hanya berkecimpung dengan hal-hal yang sifatnya keduniaan semata. Jung mendefinisikan kembali istilah-istilah psikologi yang dipakai pada saat itu, khususnya yang dipakai oleh Freud. Ego, menurut Jung, merupakan suatu kompleks yang terletak di tengah-tengah kesadaran, yakni keakuan. Istilah Freud lainnya yang didefinisikannya kembali adalah libido. Bagi Jung, libido bukan hanya menandakan energi seksual, tetapi semua proses kehidupan yang penuh energi: dari aktivitas seksual sampai penyembuhan.
c. Kajian teori Jung terhadap Kasus Kesurupan
Indonesia merupakan bangsa kaya budaya termasuk budaya kesurupan, bahkan di daerah daerah tertentu malah sengaja untuk kesurupan, dan menjadi tontonan menarik seperti reog, kuda lumping, debus dan tari kecak. Budaya ini lah yang menjadi arketip arketip yang tersimpan dalam ketidaksadaran kolektif dan inilah yang banyak mempengaruhi terjadinya kesurupan di indonesia. Setiap kita memiliki potensi untuk kesurupan karena memang bawah sadar kita dalam collective unconciousness berisi mitos mitos seperti memedi pocong, wewe gombel, jin penunggu rumah, jin penunggu sungai, dan banyak lagi, bahkan penunggu laut selatan. Mitos inilah yang turun menurun dari jaman dulu terus hingga sekarang. Ditambah lagi pengalaman masa kecil yang sering ditakut takuti dengan berbagai macam hantu dan segala varian nya, yang kemudian tersimpan dalam personal unconciousness sehingga kedua kenyataan itu klop membentuk suatu sistem keyakinan dan kepercayaan yang setiap saat bisa muncul bila ada pemicunya (precipitating event).
       Dalam kasus kesurupan masal yang menjadi precipitating event adalah teman yang sudah kesurupan, dalam istilah hipnotisme teman yang sudah kesurupan menginduksi bawah sadar teman lainnya sehingga seperti penyakit menular yang bila tidak diisolasi akan mewabah ke yang lain. Seringkali orang yang kesurupan memiliki kekuatan yang melebihi kemampuan biasanya, dalam beberapa kasus kesurupan dia bisa berteriak teriak hingga berjam jam, atau bisa melemparkan beberapa orang yang sedang memeganginya. Ada lagi kesurupan mampu berbicara seperti bukan dia yang bicara, dalam keadaan seperti ini seseorang yang kesurupan sedang memasuki alam bawah sadarnya tepatnya di alam ketidaksadaran kolektif dimana menurut freud ketidaksadaran tersebut mengandung kekuatan jiwa (psyche) sehingga dia memiliki kekuatan yang melebihi seperti biasanya
Mengapa orang bisa masuk kedalam alam bawah sadarnya? sebab utamanya adalah lemahnya kesadaran seperti orang mau masuk tidur, kenapa bisa tidur jawabnya tentunya karena lemahnya kesadaran karena faktor mengantuk.
       Faktor yang dominan yang bisa memicu terjadinya kesurupan adalah faktor psikologis, bisa itu stress, depresi atau semacamnya. Orang yang mengalami stress mudah sekali tersugesti dengan berbagai hal dikarenakan biasanya orang yang stress itu seringkali melamun yang menandakan kosongnya pikiran sadar. Jika pikiran sadar kosong sudah pasti pikiran bawah sadarlah yang mendominasi. Oleh sebab itu janganlah terlalu sering melamun, karena tanpa disadari berpotensi untuk mengalami kesurupan.
      Penjelasan lain menjelaskan bahwa saat orang mengalami kesurupan maka orang itu dalam keadaan:
1)               Keadaan disosiasi, saat seseorang seakan terpisah dari dirinya;
2) Hysteria , saat seseorang tidak dapat mengendalikan dirinya ,
3)       Split personality , saat pada diri seseorang tampil beragam perilaku yang dimunculkan oleh “pribadi” yang berbeda. Penjelasan ini seringkali mengalami benturan dengan kenyataan-kenyataan budaya.


Beberapa tips menangani kasus kesurupan:
1.               Isolasi sesegera mungkin anak yang terkena kesurupan
2. Tenangkan suasana, karena kesurupan cenderung membuat suasana menjadi gaduh, ketakutan, dan crowded atau ramai.
3.               Tenangkan anak yang mengalami kesurupan dengan membiarkannya, jangan dipaksa atau dipegang apalagi diteriaki terlebih di pukul pukul,
4. Kalau membaca quran bacakan dengan penuh kekhusyuan dan dengan nada pelan sehingga akan menenangkan si sakit, kalau dibaca dengan menghentak hentak anak yang terkena akan semakin histeris dan teriakan dari pembacaan quran tadi akan memperkeruh keadaan. Dalam hal ini kita harus bijak dalam mendudukkan al quran jangan melecehkan quran dengan menggunakannya yang bukan pada tempatnya, gunakan quran sebagai petunjuk hidup bukan sebagai alat pengusiran jin.
5.     Tempatkan si anak di tempat tertutup namun yang aman dan udara bisa keluar masuk dalam ruangan dengan baik.
6. Jika keadaan semakin tidak terkendali, jangan memanggil paranormal, atau memanggil dukun dan sejenisnya. Namun panggilah dokter untuk memberikan obat penenang kepada si anak, dan jika sudah dampingi anak dengan orang tuanya
7. Jangka panjang ciptakan suasana sekolah yang cerah dan ceria, baik lingkungan maupun hubungan guru muridnya dan tentunya proses belajar mengajar. Berikan penerangan yang cukup di tempat tempat yang terkesan singup, rubah warna cat dari cat yang gelap menjadi lebih terang, tebang pohon pohon yang dianggap angker, hilangkan suasana mistis disekolah. Kesurupan sering terjadi biasanya di tempat yang bekas kuburan, atau dekat kuburan, karena nuansa mistis bisa menjadi condtioning event atau keadaan yang mengkondisikan terjadinya kesurupan.
8. Para guru jangan bersikap tahayul dan khurafat misalnya dengan mendatangkan ahli pengusir jin karena itu bukannya menghilangkan jin malah lingkungan sekolah menjadi tersugesti untuk kembali ke jaman animisme yaitu mempercayai Jin dan


Minggu, 22 Februari 2015

Modul Pelatihan Kepercayaan Diri


Hai semua.. Kali ini saya ingin memberikan sebuah contoh mengenai pembuatan modul dalam terapi psikologi, yaitu:
    Modul Pelatihan Kepercayaan Diri Anak Panti Asuhan
  1. Pendahuluan
Terbentuknya kepercayaan diri diawali oleh adanya konsep diri. Anak asuh bisa memiliki konsep diri yang cenderung negatif karena keberadaannya di panti asuhan dapat menjadi penghambat terbesar dalam perkembangan konsep diri anak asuh dan juga bisa menjadikan anak asuh cenderung untuk berkonsep diri negatif adalah karena anak asuh panti asuhan telah mendapatkan label anak-anak yang perlu dikasihani. Artinya label yang muncul secara internal dan juga didukung oleh pandangan lingkungan sosialnya menjadikan anak asuh harus tarik ulur dalam menilai dirinya (Lukman, 2000). Hal ini menimbulkan kepercayaan diri yang rendah pada anak panti asuhan.
Rasa percaya diri sangat menunjang individu untuk memaksimalkan kemampuan yang dimiliki sehingga terhindar dari rasa ragu-ragu yang sering mengganggu. Dilihat dari sudut pandang perkembangan, pada usia pra remaja sangat rentan dengan rasa percaya diri yang dia miliki. Remaja  yang memiliki rasa kurang percaya diri akan menghambat tumbuh kembang anak tersebut dalam beraktifitas di lingkungan sekitar yang dia tempati, baik di sekolah, keluarga maupun masyarakat. Hal ini dapat disimpulkan bahwa rasa percaya diri sangat berpengaruh dalam perkembangan individu untuk mengaktulisasikan diri dengan lingkungan sekitar.
Percaya diri adalah sesuatu yang membuat manusia menjadi memahami akan kondisi dirinya karena adanya kekuatan didalam jiwa kita. Rasa percaya diri sangat penting dalam hal mengembangkan sikap sosialisasi didalam lingkungan yang baru. Seseorang yang percaya diri akan merasa nyaman pada lingkungan yang bagaimanapun dan kondisi yang seperti apapun karena ia dapat dengan mudah beradaptasi. Akan tetapi tidak semua anak mempunyai rasa percaya diri yang tinggi bahkan cenderung kurang percaya diri. Rasa kurang percaya diri adalah suatu keyakinan yang negatif terhadap suatu kekurangannya yang ada diberbagai aspek kepribadiannya, sehingga ia tidak mampu untuk mencapai berbagai tujuan di dalam kehidupannya.
Sikap seseorang yang menunjukkan rasa kurang percaya diri antara lain, selalu dihinggapi dengan rasa keragu-raguan, mudah cemas, tidak yakin, cenderung menghindar, tidak punya inisiatif, mudah patah semangat, tidak berani tampil didepan banyak orang dan gejala kejiwaan lainnya yang nantinya akan menghambat seseorang tersebut untuk berbuat sesuatu. Salah satu cara yang bisa mengatasi rasa kurang percaya diri tersebut adalah dengan pelatihan kepercayaan diri dalam kelompok, dikarenakan disamping bersifat efisien juga secara tidak langsung anak tersebut akan belajar untuk bersosialisasi dalam lingkup yang mungkin bisa dikatakan kecil.
Terbentuknya kelompok karena adanya persamaan dalam kebutuhan akan berkelompok, dimana individu memiliki potensi dalam  memenuhi kebutuhan dan setiap individu memiliki keterbatasan, sehingga individu akan meminta atau membutuhkan bantuan individu yang lain untuk mengatasinya.


  1. Pengertian
  1. Kepercayaan Diri
Menurut Rahmat (1994) kepercayaan diri dapat diartikan sebagai keyakinan intividu untuk melakukan sesuai dengan keinginannya dan didasarkan pada cara pandang individu mengetahui kemampuan dan kelemahannya serta cara individu menyelesaikan permasalahan berdasarkan pada kemampuannya. Angelis (1997), menyatakan kepercayaan diri berasal dari tekad pada diri sendiri dan terbina dari keyakinan diri sendiri untuk melakukan sesuatu dalam hidup sesuai dengan batas-batas keinginan dan kemampuan pribadi.
Lindenfield (1997) mengatakan bahwa orang yang mempunyai kepercayaan diri mampu bekerja secara efektif, dapat melakukan tugas dengan baik serta mempunyai rencana tentang masa depannya. Orang percaya diri akan merasa puas dengan dirinya sendiri.
Kepercayaan diri adalah salah satu ciri kepribadian yang mengandung arti keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri. Rasa percaya diri merupakan sikap pada diri seseorang yang dapat menerima kenyataan, dapat mengembangkan kesadaran diri, berpikir positif, memiliki kemandirian dan mempunyai kemampuan untuk memiliki serta mencapai segala sesuatu yang diinginkan. Orang yang mempunyai kepercayaan diri cenderung bersifat optimis dan akan menghadapi persoalan yang ada dengan hati yang tenang, sehingga analisisnya terhadap persoalan tersebut dapat rasional dan obyektif (Anthony, 1996).
Widjaja (2008) menjelaskan bahwa kepercayaan diri adalah suatu sikap positif dan keyakinan terhadap diri sendiri bahwa ia memiliki kelebihan dan kelemahan, mau mencoba hal baru, optimis dalam menghadapi masalah, berani menyatakan pendapat di depan orang lain dan bertanggung jawab atas segala perbuatan yang telah dilakukan.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, maka yang dimaksud dengan kepercayaan diri adalah suatu keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa dirinya mampu berperilaku seperti yang dibutuhkan untuk memperoleh hasil seperti yang diharapkan, mampu berpikir positif, kreatif, memiliki kemandirian serta memiliki keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri.
  1. Ciri-ciri orang yang percaya diri
Kumara (1988) menyatakan bahwa orang dengan kepercayaan diri adalah individu yang memiliki:
  1. Keyakinan akan kemampuan diri
  2. Optimis
  3. Menerima diri apa adanya
  4. Mempunyai konsep atau gambaran diri yang positif

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri
Antony (1996), mengemukakan bahwa untuk mengembangkan kepribadian yang sehat adalah belajar dari pengalaman masa lalu serta mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukan dan memutuskan dengan segala kemampuan dan kesadaran untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut. Dari pengalaman dan kesalahan yang mengecewakan itu dapat membuat seseorang merasa menyesal, malu dan bersalah. Emosi negatif tersebut, jika terlalu dominan atau tidak diperhatikan dapat menimbulkan rasa kurang percaya diri.
Pembentukan kepercayaan diri seseorang diawali dengan pengenalan diri secara fisik, bagaimana seseorang menilai, menerima atau menolak gambaran dirinya, yang selanjutnya akan menimbulkan rasa puas atau tidak puas. Individu yang puas dengan kondisi dan penampilan fisiknya, pada umumnya memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi dari pada orang yang tidak merasa puas, dengan demikian kondisi fisik sangat mempengaruhi kepercayaan diri seseorang (Centi, 1993).


4.Pelatihan kepercayaan diri
Pelatihan kepercayaan diri adalah seperangkat pengalaman belajar yang terencana, terstruktur dan didesain dengan teratur dimulai dari pengukuran kebutuhan, pelaksanaan dan diakhiri dengan evaluasi yang bertujuan meningkatkan sikap positif dan keyakinan terhadap diri sendiri bahwa ia memiliki kelebihan dan kelemahan, mau mencoba hal-hal baru, optimis dalam menghadapi masalah, berani menyatakan pendapat di depan orang lain dan bertanggung jawab atas segala perbuatan yang telah dilakukan (Widjaja, 2008).
Modul yang digunakan oleh terapis berdasarkan ciri-ciri kepercayaan diri pada penelitian Widjaja yang sudah diujikan.


  1. Kelompok sasaran program


Anak Panti Asuhan Bimomartani yang pemiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah.




  1. Pelaksanaan Intervensi
  1. Judul Intervensi

Pelatihan Peningkatan Kepercayaan Diri Anak Panti Asuhan Bimomartani”

  1. Tujuan Intervensi

  • Meningkatkan kepercayaan diri kelompok
  • Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan dirinya sendiri menjadi lebih baik, lebih matang dan lebih mantap.
  • Membentuk sikap dan perilaku percaya diri serta prinsip hidup menuju kehidupan yang sejahtera
  • Menumbuhkan pola pikir dan kebiasaan yang percaya diri
  • Menciptakan hubungan baik dengan sesama teman dan penuh percaya diri.
  • Membangun kepercayaan diri atas dasar self-efficacy dan self-esteem 


  1. Prosedur dan Pelaksanaan Intervensi

Intervensi dilakukan sebanyak 2 kali pertemuan. Intervensi ini di Ruang Kelas Panti Sosial Asuhan Anak, dengan total waktu 430 menit. Prosedur pelaksanaan sebagai berikut:
Pertemuan 1
SESI I: BINA RAPORT
Tujuan
Peserta memahami rangkaian pelatihan yang akan dilakukan.
Materi
  1. Game perkenalan (Ice Breaking)
  2. Menampilkan biodata fasilitator
  3. Kontrak pelatihan
Metode
Diskusi
Waktu
30 menit

ICE BREAKING
Tujuan kegiatan
  1. Menciptakan rapport
  2. Mencairkan suasana untuk menghancurkan rintangan psikologis dan sosial, agar peserta dapat mengikuti proses pembelajaran dengan perasaan enak, tanpa adanya beban psikologis dan sosial diantara sesama peserta dan fasilitator.
  3. Peserta dan fasilitator saling mengenal identitas diri masing-masing.
Prosedur
  1. Peserta pelatihan ditempatkan pada ruangan dengan pengaturan ruangan berbentuk huruf ‘U’
  2. Dalam waktu 5 menit seluruh peserta beserta fasilitator diminta mencari informasi mengenai nama panggilan kecil, makanan favorit dan ukuran sepatu masing-masing peserta.
  3. Setelah kembali ke tempat masing-masing, fasilitator memberikan instruksi: pada hitungan ke 3, seluruh peserta dan fasilitator diminta berbaris berdasarkan inisial nama masing-masing.
  4. Setelah beberapa waktu peserta kembali ke tempat masing-masing, fasilitator menunjuk salah seorang peserta sambil meminta menyebutkan makanan kesukaan salah satu temannya. Selanjutnya tugas peserta yang ditunjuk adalah segera berdiri dan segera menunjuk peserta lain sambil menyebutkan makanan kesukaan teman yang ada disampingnya, demikian seterusnya secara berantai.
Ketika peserta salah menyebutkan makanan kesukaan peserta yang ditunjuknya, seluruh peserta memberikan sorakan “Huu...”:
Katakan: “Pada kesempatan ini, agar kita semakin mengenal satu-sama lain, kita akan mengadakan permainan sederhana. Saya minta kalian semua mengingat nama panggilan kecil, makanan favorit dan ukuran sepatu diri masing-masing peserta, kemudian beritahukan kepada peserta lainnya. Peserta lain harap mengingat hal yang disebutkan tadi. Saya akan memberi waktu 5 menit untuk mengingatnya, kemudian saya akan menunjuk salah seorang peserta. Peserta yang saya tunjuk segera berdiri menunjuk peserta lain sambil menyebutkan nama kecil, makanan kesukaan dan ukuran sepatu teman yang ada disampingnya, demikian seterusnya secara berantai. Apabila peserta salah menyebutkan, seluruh peserta memberikan sorakan “Huu...”.”

Material
Tidak ada
Diskusi
Perasaan peserta setelah pengalaman
Waktu
20 menit

KONTRAK BELAJAR
Tujuan kegiatan
  1. Menampilkan biodata fasilitator
  2. Membuat kesepakatan tentang hal-hal yang ingin dicapai dalam pelatihan
  3. Membuat kesepakatan mengenai hal-hal yang tidak diperkenankan dalam pelaksanaan pelatihan
Prosedur
  1. Fasilitator menampilkan biodata fasilitator
  2. Fasilitator menyampaikan informasi tentang tujuan pelatihan.
  3. Merumuskan permasalahan pribadi dalam kelompok menjadi masalah bersama.
  4. Menyampaikan hal-hal yang tidak diperkenankan selama pelaksanaan pelatihan agar pelaksanaan pelatihan berjalan dengan maksimal. Hal-hal tersebut antara lain :
  1. Baik peserta maupun fasilitator ikut berpartisipasi penuh
  2. HP harap disilent
  3. Tidak diperkenankan merokok
  4. Tidak diperkenankan tidur
  5. Mengikuti kegiatan hingga selesai.
Katakan: “Baik..tadi kita sudah sedikit bermain dan sekarang kita lanjutkan pada kegiatan berikutnya. Sebelumnya saya akan memperkenalkan lebih detil tentang diri saya dan tujuan dari pelatihan ini untuk menyelesaikan permasalahan yang sama yaitu percaya diri yang masih perlu ditingkatkan. Untuk kelancaran kegiatan, saya minta semua peserta dapat mengikuti pelatihan dengan baik dan mengikuti prosedur yang sudah ditentukan.”
Material
  1. Kertas
  2. Alat tulis
Diskusi
-
Waktu
10 menit

SESI II: PEMAHAMAN DIRI
Tujuan Kegiatan
Para peserta mampu menyebutkan aspek positif (kelebihan) dan aspek negatif (kekurangan) yang ada pada dirinya dengan harapan peserta mampu mengembangkan kepribadian diri secara optimal, sehingga dapat menunjang pelaksanaan tugas.
Materi
  1. Siapa saya..”
  2. Menerima keadaan diri sendiri dari feedback orang lain.
  3. Motivasi diri
Metode
  1. Menonton Video inspiratif
  2. Ceramah dan diskusi
Waktu
280 menit

  1. SIAPA SAYA ?..”
Tujuan kegiatan
Peserta dapat mengerti kebaikan (kelebihan) serta
keburukan (kekurangan) dirinya masing-masing dan dapat bercermin diri.
Prosedur
  1. Fasilitator memberikan kertas kosong dan menuliskan mengenai “Siapa saya?..”
  2. Fasilitator memberikan penjelasan mengenai cara mengisi kertas
  3. Peserta mengisi kertas dan memberi kesempatan pada beberapa peserta untuk mengemukakan hal-hal yang sudah ia tulis.
Katakan: “Sekarang saya ingin kalian semua menuliskan kelebihan dan kekurangan masing-masing di kertas yang sudah saya berikan. Setelah semua menuliskan kelebihan dan kekurangannya, saya minta kalian semua mengumpulkan kertas tersebut kepada saya dan saya akan membacakan satu persatu dan meminta kalian memberi penjelasan mengenai hal yang kalian tuliskan.”
Diskusi
Fasilitator memfasilitasi peserta untuk mengurai rencana sampai detail
Material
  1. kertas
  2. Alat tulis
Waktu
  1. menit

2.MENERIMA KEADAAN DIRI SENDIRI DARI FEEDBACK ORANG LAIN
Tujuan kegiatan
Para peserta dapat intropeksi diri dan mampu melakukan usaha memperbaiki diri.
Prosedur
1. Fasilitator meminta semua peserta menuliskan kelebihan dan kekurangan dari peserta lain.
2.Setiap perilaku yang dijelaskan dievaluasi bersama dan diberikan feedback
Katakan: “Setelah kita mengenal diri kita sendiri sesuai dengan pandangan diri sendiri, sekarang saya minta kalian menuliskan kelebihan dan kekurangan teman-teman kalian yang ada disini. Setelah ditulis, saya minta kalian menyebutkan hal tersebut didepan masing-masing teman yang sudah ditulis. Hal ini dapat membantu kita untuk dapat intropeksi diri dan pada akhirnya dapat meningkatkan kemampuan yang dimiliki dan dapat memperbaiki diri menjadi lebih baik lagi”.
Material
Kertas dan alat tulis
Diskusi
Sesuai pertanyaan yang muncul
Waktu
60 menit

  1. OPTIMIS DAN MOTIVASI DIRI

Tujuan kegiatan
Peserta termotivasi dalam meraih tujuan dengan pertimbangan yang matang dan peserta dapat belajar lebih optimis dalam menghadapi masalah untuk mencapai mimpi yang diinginkan
Prosedur
  1. Fasilitator menayangkan profil kisah inspiratif
  2. Fasilitator menyampaikan bahwa akan menayangkan sebuah video dan peserta diminta untuk menyimak dan mendiskusikan video tersebut.
  3. Fasilitator mengajak peserta untuk “membedah” video singkat tersebut dan mengajak untuk berdiskusi peserta mengenai perjuangan mereka.
Material
  1. Laptop
Diskusi
  1. Fasilitator menanyakan apa yang dapat dilihat dan pendapat peserta mengenai video tersebut kepada peserta

Waktu
150 menit

Pertemuan 2
SESI I: STRATEGI COPING DAN ROLE PLAY
Tujuan kegiatan
Peserta mampu mancari cara untuk menghilangkan atau mengurangi ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh masalah internal maupun eksternal dan menyesuaikan dengan kenyataan kenyataan negatif, mempertahankan keseimbangan emosi dan self image positif, serta meneruskan hubungan yang memuaskan dengan orang lain. Peserta lebih berani tampil di depan umum, peserta berani mengambil resiko dan tidak malu untuk mencoba hal-hal baru dan belajar untuk bertanggung jawab dalam menyelesaikan tantangan.
Prosedur
  1. Fasilitator menanyakan permasalahan yang paling sulit saat dihadapi oleh peserta
  2. Fasilitator menanyakan bagaimana cara peserta menangani permasalahan tersebut
  3. Peserta diminta untuk menunjukkan caranya menyelesaikan masalah dengan tindakan.
  4. Fasilitator memberikan role play mengenai masalah yang dihadapi masing-masing peserta
Katakan: Sekarang saya ingin kalian menyebutkan permasalahan yang saat ini sulit kalian hadapi dan apa saja cara yang sudah kalian lakukan. Setelah kalian menyebutkan permasalahan dan cara menyelesaikannya. Saya akan memberikan contoh penyelesaian masalah yang dibutuhkan seperti cara bagaimana agar lebih percaya diri.”
Material
Kertas dan alat tulis
Diskusi
Fasilitator mendiskusikan mengenai permasalahan dan role play
Waktu
60 menit


SESI II: HARAPAN
Tujuan
Para peserta mampu menyebutkan keinginan seperti apakah dirinya setelah selesai melakukan pelatihan ini.
Materi
Pohon Harapan
Metode
Presentasi dan diskusi
Waktu
60 menit

POHON HARAPAN
Tujuan kegiatan
Peserta termotivasi dalam meraih tujuan yang diinginkannya
Prosedur
  1. Fasilitator menyediakan sebuah lembar karton berbentuk pohon dan meminta peserta untuk menempelkan kertas kecil yang berisikan harapan mengenai masa depannya.
Katakan: “Di depan kalian saat ini ada sebuah pohon yang terbuat dari karton, saya akan memberikan kalian selembar kertas kecil dan meminta kalian untuk menuliskan harapannya. Setelah menulis harapan, saya ingin kalian menempelkannya di pohon karton tersebut. Setelah itu, kita akan mendiskusikan harapan-harapan kalian tadi dan bagaimana cara kalian agar kalian dapat mencapai harapan tersebut.”
Material
Karton dan alat tulis
Diskusi
Fasilitator mendiskusikan mengenai hal-hal yang sudah dilakukan peserta untuk mencapai harapannya dan memberikan dukungan kepada peserta.
Waktu
60 menit


SESI III: CLOSSING SESSION
Tujuan
Peserta mampu mengaktualisasikan diri dan menerima umpan balik
Metode
  1. Diskusi
  2. Kesan dan pesan
Waktu
60 menit

DISKUSI
Tujuan kegiatan
Peserta dan fasilitator memberikan kesimpulan mengenai pelatihan yang telah dilakukan
Prosedur
  1. Fasilitator memberi kesimpulan materi pelatihaan yang telah dilakukan
  2. Fasilitator menanyakan kepada peserta jika ada yang mau memberikan tambahan mengenai materi yang telah disampaikan
Material
-
Diskusi
Fasilitator memfasilitasi peserta dalam memberikan kesimpulan atas pelatihan yang dilakukan
Waktu
30 menit

KESAN & PESAN
Tujuan kegiatan
Fasilitator mengetahui masukan dari peserta mengenai evaluasi mengenai proses pelatihan.
Prosedur
  1. Peserta diminta untuk mengemukan pendapat mengenai pelatihan yang diberikan dan hal yang sudah didapat dari pelatihan.
  2. Fasilitator menjelaskan bahwa setelah diadakan pelatihan ini akan diberikan skala yang akan diisi oleh peserta pelatihan.
Diskusi
Perwakilan peserta mengemukakan evaluasi
Material
-
Waktu
  1. menit




DAFTAR PUSTAKA
Antony, (1996). Rahasia Membangun Kepercayaan Diri (alih bahasa Rita Wiryadi). Jakarta; Bina Rupa Aksara.

Andayani, B dan Afiatin, T. (1996). Konsep diri, Harga Diri dan Kepercayaan Diri Remaja. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Centi, J Paul. (1993). Mengapa rendah diri?. Yogyakarta :Kansius

Kumara, A. (1988). Studi Pendahuluan Tentang Validitas dan Reabilitas The Test Self Confidence. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Lindenfield, G. (1997). Mendidik Anak Agar Percaya Diri. Jakarta: Arcan

Lukman, Muhammad. (2000). Kemandirian Anak Asuh Di Panti Asuhan Yatim Islam Ditinjau Dari Konsep Diri dan Kompetensi Interpersonal. Jurnal Psikologika. No (10,V.57-73).

Papalia, D.E.,Olds, S.W & Feldman, R. D. (2009). Human Development (11th ed.). New York: McGraw-Hill.

Rahmat, J. (1994). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya

Santrock, J.W. (2009). Adolescence (12th ed.). New York: McGraw-Hill.

Widjaja, S.W. (2008). Efektivitas pelatihan kepercayaan diri terhadap peningkatan kepercayaan diri remaja di komisi remaja GKI Sorogenen Solo. Skirpsi (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.