Jumat, 28 Februari 2014

KEPEMIMPINAN


      Hai semua.. apa kabar? Kali ini saya ingin membicarakan tentang kepemimpinan. Melihat keadaan negara kita yang akhir-akhir ini mengalami kemunduran dalam kepemimpinan dimana banyak para pejabat yang menyalahgunakan kepemimpinannya. Banyak kasus korupsi dimana-mana, tidak amanah dalam menjalankan tugas, sering meinggalkan rapat dengan segala macam alasan dan masih banyak lagi yang pemimpin lakukan tidak sesuai dengan jiwa seorang pemimpin. Nah oleh dari ini alangkah baiknya kita mempelajari makna kepemimpinan itu dulu dengan harapan agar para calon pemimpin nanti dapat menjadi pemimpin yang terbaik dari pemimpin sebelumnya. 
           Secara etimologi pemimpin berasal dari kata pimpin yang berarti kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi dan menggerakan orang-orang sedemikian rupa untuk memperoleh kepatuhan, kepercayaan, respek dan kerjasama secara loyal untuk menyelesaikan suatu tugas. Menurut Sarros dan Butchatsky (1996),  Menurut definisi tersebut kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi.
     Kepemimpinan adalah proses ketika seorang atasan mendorong bawahannya untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya. Karena kepemimpinan adalah fenomena kompleks yang melibatkan pemimpin para pengikut, dan situasi. Di dalam kepemimpinan memusatkan perhatiannya pada kepribadian, karakter fisik, atau perilaku si pemimpin, sementara yang lain mempelajari hubungan antara para pemimpin dan pengikutnya, dan mempelajari cara aspek situasi dapat mempengaruhi para pemimpin tersebut bertindak.
     Kepemimpinan melibatkan sisi rasional dan emosional dalam pengalaman hidup manusia. Kepemimpinan meliputi sejumlah tindakan dan pengaruh yang didasari oleh alasan dan logika serta inspirasi dan panggilan jiwa. Setiap orang memiliki pikiran, perasaan, harapan, mimpi, kebutuhan, ketakutan, tujuan, ambisi, kekuatan, dan kelemahan yang berbeda-beda., sehingga situasi kepemimpinan bisa menjadi sangat kompleks. Jadi para pemimpin dapat menggunakan teknik rasional dan daya tarik emosional untuk memengaruhi pengikut-pengikutnya, tetapi mereka harus menimbang konsekuensi logis dan emosional yang dapat timbul dari tindakan-tindakan mereka.
     Pemimpin yang memiliki beberapa karakter, nilai, atau perilaku tertentu akan lebih mudah melakukan beberapa perilaku kepemimpinan dibanding yang lainnya. Karena perilaku berada dibawah kendali sadar, kita selalu bisa mengubah perilaku kita sebagai pemimpin bila kita mau. Pengikut dan situasi merupakan dua faktor besar lain yang perlu dipertimbangkan saat mengevaluasi perilaku kepemimpinan. Maka demikian pengikut dan faktor situasional dapat membantu menentukan perilaku kepemimpinan “buruk” atau “baik”. misalnya seorang pemimpin memberikan instruksi yang sangat terperinci dalam cara menyelesaikan sebuat tugas kepada kelompok pengikutnya. Bila pengikutnya adalah orang baru dalam organisasi atau tidak pernah melakukan tugas ini sebelumnya, instruksi yang terperinci mungkin akan membantu pemimpin mendapatkan hasil yang lebih baik dari semuanya. Tetapi, bila pengikutnya adalah orang yang sudah berpengalama, prilaku kepemimpinan yang sama kemungkinan akan berefek negatif.

 Macam-macam Teori Kepemimpinan
1.   Teori Kepemimpinan Sifat (Trait Theory)
     Analisis ilmiah tentang kepemimpinan berangkat dari pemusatan perhatian pemimpin itu sendiri. Teori sifat berkembang pertama kali di Yunani Kuno dan Romawi yang beranggapan bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukannya diciptakan yang kemudian teori ini dikenal dengan “the greatma theory”.
     Sesuai dengan namanya, maka teori ini mengemukakan bahwa efektivitas kepemimpinan sangat tergantung pada kehebatan karakter pemimpin. “Trait” atau sifat-sifat yang dimiliki antara lain kepribadian, keunggulan fisik dan kemampuan social. Penganut teori ini yakin dengan memiliki keunggulan karakter di atas, maka seseorang akan memiliki kualitas kepemimpinan yang baik dan dapat menjadi pemimpin yang efektif. Karakter yang harus dimiliki oleh seseorang menurut Judith R. Gordon mencakup kemampuan yang istimewa dalam (1) Kemampuan Intelektual (2) Kematangan Pribadi (3) Pendidikan (4) Status Sosial dan Ekonomi (5) “Human Relations” (6) Motivasi Intrinsik dan (7) Dorongan untuk maju (achievement drive).

2.   Teori Kepemimpinan Perilaku dan Situasi
     Berdasarkan penelitian, perilaku seorang pemimpin yang mendasarkan teori ini memiliki kecenderungan kearah dua hal :
     Pertama Konsiderasi yaitu kecenderungan pemimpin yang menggambarkan hubungan akrab dengan bawahan. Contoh gejala yang ada dalam hal ini seperti: membela bawahan, memberi masukan kepada bawahan dan bersedia berkonsultasi dengan bawahan.
     Kedua struktur inisiasi yaitu kecenderungan seorang pemimpin yang memberikan batasan kepada bawahan. Contoh yang dapat dilihat, bawahan mendapat instruksi dalam pelaksanaan tugas, kapan, bagaimana pekerjaan dilakukan, dan hasil apa yang akan dicapai.
     Jadi berdasarkan teori ini, seorang pemimpin yang baik adalah bagaimana seorang pemimpin yang memiliki perhatian yang tinggi kepada bawahan dan terhadap hasil yang tinggi juga.
     Kemudian juga timbul teori kepemimpinan situasi dimana seorang pemimpin harus merupakan seorang pendiagnosa yang baik dan harus bersifat fleksibel, sesuai dengan perkembangan dan tingkat kedewasaan bawahan.

3. Teori kontingensi
      Mulai berkembang tahun 1962, teori ini menyatakan bahwa tidak ada satu sistem manajemen yang optimum, sistem tergantung pada tingkat perubahan lingkungannya. Sistem ini disebut sistem organik (sebagai lawan sistem mekanistik), pada sistem ini mempunyai beberapa ciri:
§  Substansinya adalah manusia bukan tugas.
§  Kurang menekankan hirarki
§  Struktur saling berhubungan, fleksibel, dalam bentuk kelompok
§  Kebersamaan dalam nilai, kepercayaan dan norma
§  Pengendalian diri sendiri, penyesuaian bersama

4. Teori Behavioristik
       Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Pendekatan ini menekankan bahwa manajemen yang efektif bila ada pemahaman tentang pekerja – lebih berorientasi pada manusia sebagai pelaku.
     Mengacu pada keterbatasan peramalan efektivitas kepemimpinan melalui teori “trait”, para peneliti pada era Perang Dunia ke II sampai era di awal tahun 1950-an mulai mengembangkan pemikiran untuk meneliti “behavior” atau perilaku seorang pemimpin sebagai cara untuk meningkatkan efektivitas kepemimpinan. Fokus pembahasan teori kepemimpinan pada periode ini beralih dari siapa yang memiliki kemampuan memimpin ke bagaimana perilaku seseorang untuk memimpin secara efektif (Yukl, 2005).

5. Teori Humanistik
     Teori ini lebih menekankan pada prinsip kemanusiaan. Teori humanistik biasanya dicirikan dengan adanya suasana saling menghargai dan adanya kebebasan.
     Teori Humanistik dengan para pelopor Argryris, Blake dan Mouton, Rensis Likert, dan Douglas McGregor. Teori ini secara umum berpendapat, secara alamiah manusia merupakan “motivated organism”. Organisasi memiliki struktur dan sistem kontrol tertentu. Fungsi dari kepemimpinan adalah memodifikasi organisasi agar individu bebas untuk merealisasikan potensi motivasinya didalam memenuhi kebutuhannya dan pada waktu yang sama sejalan dengan arah tujuan kelompok. Apabila dicermati, di dalam Teori Humanistik, terdapat tiga variabel pokok, yaitu:
     (1) kepemimpinan yang sesuai dan memperhatikan hati nurani anggota dengan segenap harapan, kebutuhan, dan kemampuan-nya
     (2) organisasi yang disusun dengan baik agar tetap relevan dengan kepentingan anggota disamping kepentingan organisasi secara keseluruhan.
     (3) interaksi yang akrab dan harmonis antara pimpinan dengan anggota untuk menggalang persatuan dan kesatuan serta hidup damai bersama-sama. Blanchard, Zigarmi, dan Drea bahkan menyatakan, kepemimpinan bukanlah sesuatu yang Anda lakukan terhadap orang lain, melainkan sesuatu yang Anda lakukan bersama dengan orang lain (Blanchard & Zigarmi, 2001).
  
  GAYA KEPEMIMPINAN
     Ada beberapa gaya kepemimpinan dari masing-masing pemimpin yaitu terdiri atas :
a.   Tipe instruktif
     tipe ini ditandai dengan adanya komunikasi satu arah. Pemimpin membatasi peran bawahan dan menunjukkan kepada bawahan apa, kapan, di mana, bagaimana sesuatu tugas harus dilaksanakan. Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan semata-mata menjadi wewenang pemimpin, yang kemudian diumumkan kepada para bawahan. Pelaksanaan pekerjaan diawasi secara ketat oleh pemimpin.
Ciri-cirinya :
1.    Pemimpin memberikan pengarahan tinggi dan rendah dukungan.
2.    Pemimpin memberikan batasan peranan bawahan.
3.    Pemimpin memberitahukan bawahan tentang apa, bilamana, dimana, dan bagaimana bawahan melaksanakan tugasnya.
4.    Inisiatif pemecahan masalah dan pengambilan keputusan semata-mata dilakuakn oleh pemimpin.
5.    Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan diumumkan oleh pemimpin, dan pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh pemimpin

b.     Tipe konsultatif
     Kepemimpinan tipe ini masih memberikan instruksi yang cukup besar serta penetapan keputusan-keputusan dilakukan oleh pemimpin. Bedanya adalah bahwa tipe konsultatif ini menggunakan komunikasi dua arah dan memberikan suportif terhadap bawahan mendengar keluhan dan perasaan bawahan tentang keputusan yang diambil. Sementara bantuan ditingkatkan, pengawasan atas pelaksanaan keputusan tetap pada pemimpin.
     Ciri-cirinya :
1.    Pemimpin memberikan baik pengarahan maupun dukungan tinggi.
2.    Pemimpin mengadakan komunikasi dua arah dan berusaha mendengarkan perasaan, gagasan, dan saran bawahan.
3.    Pengawasan dan pengambilan keputusan tetap pada pemimpin.

c. Tipe partisipatif
     sebab kontrol atas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan seimbang antara pemimpin dan bawahan, pemimpin dan bawahan sama-sama terlibat dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Komunikasi dua arah makin bertambah frekuensinya, pemimpin makin mendengarkan secara intensif terhadap bawahannya. Keikutsertaan bawahan untuk memecahkan masalah dan mengambil keputusan makin banyak, sebab pemimpin berpendapat bahwa bawahan telah memiliki kecakapan dan pengetahuan yang cukup luas untuk menyelesaikan tugas.
Ciri-cirinya :
1.    Pemimpin memberikan dukungan tinggi dan sedikit/rendah pengarahan.
2.    Posisi kontrol atas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dipegang secara berganti antara pemimpin dan bawahan.
3.    Komunikasi dua arah ditingkatkan.
4.    Pemimpin mendengarkan bawahan secara aktif.
5.    Tanggung jawab pemecahan masalah dan pengambilan keputusan sebagian besar pada bawahan.

d. Tipe delegatif
     sebab pemimpin mendiskusikan masalah-masalah yrng dihadapi dengan para bawahan dan selanjutnya mendelegasikan pengambilan keputusan seluruhnya kepada bawahan. Selanjutnya menjadi hak bawahan untuk menentuykan bagaimana pekerjaan harus diselesaikan. Dengan demikian bawahan diperkenankan untuk menyelesaikan tugas-tugas sesuai dengan keputusannya sendiri sebab mereka telah dianggap memiliki kecakapan dan dapat dipercaya untuk memikul tanggung jawab untuk mengarahkan dan mengelola dirinya sendiri.
Ciri-cirinya :
1.    Pemimpin memberikan maupun pengarahan sedikit/rendah.
2.    Peminpin mendiskusikan masalah bersama-sama dengan bawahan sehingga tercapai kesepakatan tentang definisi masalah yang dihadapi.
3.    Pengambilan keputusan didelegasikan sepenuhnya kepada bawahan.
4.    Bawahan memiliki kontrol untuk memutuskan tentang cara melaksanaan tugas.

  
Itu tadi sedikit penjelasan tentang kepemimpinan semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Sekian dan terima kasih...



DAFTAR PUSTAKA
Ambarita Domu D. 2013. Jokowi Spirit Bantaran Kali Anyar. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo

Feist, Jess. Gregory J. Feist. 2008. Theories of Personality (edisi keenam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Fattah, Nanang, Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004.
Hill. Mc Graw. 2012. Leadership. Jakarta : Salemba Humanika.
Ivancevich, John, M, Konopaske, & Matteson. 2008. Perilaku dan Manajemen Organisasi. Jakarta : Erlangga.

Yukl, Gary. 2005. Kepemimpinan dalam Organisasi. Edisi ke 5. Jakarta : Indeks



http://entertainment.kompas.com.

                       

Rabu, 12 Februari 2014

Perkembangan anak dengan Traumatic Brain Injury (TBI)

    Hai semua.. kali ini saya akan membicarakan mengenai perkembangan anak yang mengalami cedera otak. Hal ini sangat penting diketahui karena cedera otak dan penyakit kronis akan sangat mempengaruhi perkembangan seorang anak nantinya.  Nah bagi para orang tua dan pendidik, semoga info yang saya berikan ini memberi masukan penting pada anda semua.
    
Kerusakan otak (Brain Damage)
Definisi
     Kerusakan otak diartikan dalam tiga penjelasan. Secara khusus dijelaskan sebagai kelainan neurological itu sendiri, berdasarkan pada faktor bawaan, lokasi kerusakan, dan ukuran dari kerusakan itu sendiri di dalam otak. Definisi behavioral berfokus pada gangguan fungsi yang diserang sehingga mengakibatkan gangguan pada motorik dan gangguan komunikasi, gangguan sensori dan perceptual, hingga mengakibatkan gangguan intelektual. Kerusakan otak juga dikonsep secara luas secara etiologi, seperti cedera otak akibat benturan, anoxia, encephalitis, epilipsi, cerebral palsy, bahkan pada beberapa kasus kerusakan otak terjadi akibat keracunan timbal. Keterkaitan satu faktor dengan yang lainnya mungkin saja terjadi, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya faktor lain yang menyebabkan kerusakan otak. Untuk itu, pentingnya bagi kita mencari keterangan dari penyebab terjadinya kerusakan otak pada anak.

Assessment
     Autopsy adalah teknologi yang paling canggih dan dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kerusakan otak, tetapi teknologi ini tidak cukup membantu baik penderita untuk hidup.

Pemeriksaan Neurological
     Pemeriksaan neurological melihat tanda umum yang terjadi pada anak dengan kerusakan otak, seperti kegagalan merefleks, terbatasnya pada penglihatan anak, dan kehilangan fungsi dan merasakan di beberapa bagian tubuh. Bagian terpenting dalam pemeriksaan neurologis adalah assessment terhadap fungsi sensori dan motorik pada 12 syaraf kranial.

 Teknik Neuroimaging
     Menandai kemajuan yang melakukan teknik yang akhir-akhir ini sering dilakukan yaitu alat visualisasi struktur dan fungsi otak, Electroenchepalogram (EEG). Alat ini mengukur aktivitas elektrikal pada otak, dapat mendeteksi kerusakan otak secara umum tetapi tidak detil, dan cenderung salah. Kenyataannya, laporan EEG pada 10 dari 20% anak normal tidak sesuai.
     Namun, dua kemajuan yang dikontribusikan EEG dalam mendeteksi kerusakan otak pada anak memberikan hasil peningkatan sensitivitas. Mulanya, Event Related potential (ERP). Ketika ada stimulus seperti cahaya atau suara, maka otak menghasilkan respon karakteristiknya yang disebut ERP. ERP menyajikan diagnosa lengkap untuk mendeteksi ketidaknormalan fungsi (malfunction), seperti kelainan visual dan ketulian awal atau anak dengan keterbatasan mental yang tidak mampu dideteksi dengan teknik yang biasa. Selanjutnya, mengembangkan komputer grafis dan analisis yang mampu merekam secara bersamaan daripada menggunakan EEG, karenanya komputer grafik sudah mampu melaporkan dalam bentuk gambar.
     Kemajuan lain dari teknik imaging dan visualisasi adalah teknik X-Ray. X-Ray penggunaannya hanya terbatas untuk mendeteksi penyebab kerusakan otak secara umum. Computerized Axial Tomography (CAT) scan, yang dikenal dengan Computer Assisted Tomography (CT Scan) menggunakan komputer dengan mesin X-Ray untuk menghasilkan gambar otak yang sangat detail dari bagian depan hingga bagian bawah otak, juga mengetahui letak kerusakan pada setiap bagian otak. Metode imaging yang disebut dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) menghasilkan gambaran yang lebih jelas. Menyajikan gambar otak dengan setiap lapisannya secara berurutan dan mampu menghasilkan gambar struktur otak secara tiga dimensi.
     Functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI), satu-satunya metode yang secara cepat menggambarkan ritme dan kehidupan otak. Alat ini merekam saat meningkat atau menurunnya asupan oksigen dalam otak secara berturut-turut di setiap belahan otak. fMRI digunakan untuk memetakan area otak sehingga mampu mendeteksi sistem visual, kerja memori, proses belajar, dan penyelesaian masalah.
     Position Emission Tomography (PET Scan) tidak seperti teknik imaging yang menghasilkan gambaran statistik dari otak, hanya memperlihatkan struktural otak serta dapat mendeteksi fungsi abnormalitas pada otak secara utuh. PET scan dapat merekam sel otak dalam memetabolisme glukosa, radioactive glukose masuk kedalam saluran arteri otak sehingga memetabolisme kerja otak.

Pemeriksaan Neuropsychological
     Pemeriksaan neuropsychological digunakan untuk menjelaskan secara spesifik penurunan fungsi kognitif pada anak yang mengalami kerusakan otak. Dua teknik yang sering digunakan adalah battery tes termasuk NEPSY Developmental Neuropsychological Assessment dan Woodcock-Jhonson-III Test of Cognitive Ability. Meskipun didasari pada fungsi kognitif yang berbeda, tetapi kedua alat tersebut juga mengukur proses kognitif yang disebabkan oleh kerusakan otak, termasuk atensi, memori, kecepatan dan ketepatan, proses melihat dan mendengar, serte mengukur fungsi eksekutif seperti organisasi, perencanaan, self monitoring, dan fleksibiltas kognitif.
     Secara khusus, neuropsychological battery diadministrasikan beriringan dengan tes inteligensi untuk mengukur keseluruhan tahapan kognitif pada anak, dan educational test battery untuk mengukur penguasaan anak dalam menyelesaikan tugas sekolah. Tes dilakukan secara berulang dengan tujuan untuk mengetahui batasan perubahan fungsi kognitif pada anak dan untuk melakukan intervensi dengan tujuan memenuhi kebutuhan di setiap tahapan perkembangan anak.

Psikopatologi akibat kerusakan otak
     Anak yang mengalami kerusakan otak cenderung memiliki risiko untuk mengalami gangguan psikopatologi. Perlu digaris bawahi bahwa pentingnya pemahaman mengenai otak, tidak sedikit yang memahami bahwa permasalahan ini adalah masalah ringan. Saat kita telah memahami mengenai faktor penyebab cedera otak, kita juga akan memahami bagaimana cara untuk menangani anak yang mengalami cedera otak. Sebagai contoh, kerusakan otak akibat cidera, stroke, dan infeksi. Cara menanganinya adalah dengan mengetahui penyebaran cedera kemudian mengganti fungsi kerusakan nya. Pada kerusakan yang telah menyebar, neuron yang tidak rusak membuat sinaps singkat dengan bagian luar neuron yang rusak. Sehingga fungsi otak bagian lain itu menggantikan fungsi otak yang telah mengalami kerusakan. Penting bagi kita untuk menandai bahwa tidak ada bukti yang menyatakan bahwa kerisakan otak akan mengarah pada gambaran karakteristik klinis, sehingga dapat memberikan label sebagai “anak dengan kerusakan otak”. Pengaruh dari kerusakan otak itu sendiri cenderung tidak spesifik dengan rentang diagnosa psikopatologi yang sangat luas.
Traumatic Brain Injury (TBI)
      Traumatic Brain Injury adalah cedera otak yang disebabkan karena faktor luar fisik (esternal force physical), sehingga mengalami gangguan fungsi otak secara keseluruhan atau sebagian sampai mengalami masalah psikososial. TBI disebabkan oleh dua faktor, yaitu cedera kepala dalam (penetrating head injury), terdiri dari cedera di dalam tulang kepala, pada dura (lapisan pengaman di bawah tulang kepala), dan kerusakan pada jaringan otak. Cedera kepala dalam dapat disebabkan oleh sesuatu yang membentur kepala, misalnya terbentur benda tumpul. Cedera kepala tertutup (closed head injury), adalah yang paling sering terjadi dan disebabkan oleh pukulan dikepala tetapi tidak mengalami cedera pada dura. Misalnya, seorang anak yang mengalami kecelakaan mobil, dan kepalanya mengenai benda padat.
     Dua macam cedera otak tersebut memberikan pengaruh yang berbeda pada otak. Penetrating head injury mengakibatkan spesifik dan terlihat dampaknya, berbeda dengan closed head injury dapat mengakibatkan gangguan neurologic yang lebih luas bahkan lebih serius. Pengaruh lain yang disebabkan oleh closed head injury adalah adanya kerusakan pada sisi yang berhadapan pada otak dari pukulan, ketika benda tumpul bergerak langsung ke arah tulang kepala, maka disebut contra coup injury. Bagian frontal lobes sangat rentan dengan closed head injury karena di dalam tulang kepala dibagian depan otak terdiri dari tonjolan tulang yang bisa rusak karena pukulan langsung.
    
TBI dan psikopatologi
Preinjury functioning
     TBI tidak terjadi secara acak dalam satu populasi. Sehingga kita harus melihat karakteristik dari anak tersebut dan riwayat keluarga yang mendahului terjadinya TB (termasuk faktor pendamping penyebab TB).
     Anak-anak dengan cedera otak memiliki risiko akan mengalami kesulitan dalam belajar, serta stress dalam hidupnya. Beberapa anak yang sebelumnya mengalami cedera otak, umumnya akan mengalami ADHD. Selanjutnya, keluarga dari anak yang berisiko TBI cenderung kurang berfungsi dengan baik, dan orang tua seringnya gagal untuk memberikan pengawasan yang sesuai. Cedera kepala yang parah sering terjadi ketika tidak di monitor oleh pengasuhnya, terlepas dari pengasuhnya tidak ada atau mengabaikan anak tersebut. Hingga akhirnya, orang tua cenderung pergi ke psikiater dan mengalami masalah perkawinan.
    
Psikopatologi post injury
     Penelitian selalu memaparkan tingginya gangguan psikologis pada anak yang mengalami TBI. Diagnosa psikiatri lebih banyak menemukan anak dengan TBI parah dibandingan dengan TBI ringan, cenderung akan mengalami depresi dan ADHD.

Konteks Biologis
     Konteks ini memuat tiga penyebab TBI secara fisik, yaitu tension (menegangnya jaringan), compression (jaringan yang menekan bersamaan), dan shearing (pengikisan jaringan). Konteks lain juga memuat penyebab dari cedera itu sendiri, antara lain acceleration (benturan akibat objek yang diam,misal kaca mobil bagian depan), deceleration (benturan akibat benda yang bergerak, misalnya bat baseball), dan rotation (benturan akibat benda yang berputar atau yang menekan). Kejadian yang paling langka terjadi adalah tipe yang terakhir ini. Fraktur pada tulang kepala bukan berarti akan mengalami cedera otak. Harus diperhatikan apakah kerusakan otaknya menyebar hingga memutuskan hubungan antara sel otak, disebut dengan diffuse axonal injury. Trauma akan memberikan perubahan biochemical, seperti berkurangnya pottasium pada intracelluler fluid. Fatalnya akan mengakibatkan rangsang yang berlebihan sehingga mengakibatkan gangguan pada sel metabolisme, dan dapat mengakibatkan kematian.
     Secondary brain damage, memberikan penyebab sekunder pada cedera otak. Pengaruh secondary ini termasuk edema (pembengkakan otak), brain hemorraghing (pendarahan otak), keduanya dapat menekan otak dengan memberikan tekanan pada daerah sekitar tulang kepala. Hypoxia (kurangnya asupan oksigen dalam darah), atau ischemia (terhambatnya aliran darah) juga dapat mengakibatkan kerusakan otak karena mengambil asupan nutrisi penting dalam otak. Cerebral atrophy dapat terjadi ketika jaringan otak tidak berfungsi, dan pereganggan sistem vastukuler dalam otak. Sebagai tambahan, anak-anak khususnya rentan terkena post injury yang dapat mengganggu fungsi perkembangannya.

Konteks individual
  Cedera otak yang parah dapat memberikan pengaruh yang beragam pada fungsi intarpersonal anak.

Perkembangan kognitif
Inteligensi
     Secara umum, anak yang mengalami cedera otak inteligensinya akan menurun, beriringan dengan tingkat keseriusan dari cedera otaknya. Penurunan inteligensi ini akan membetuk pola yang spesifik, yaitu kemampuan non verbal akan terpengaruh dibandingkan dengan kemampuan verbal nya. Anak yang mengalami TBI cenderung mengalami keterlambatan secara mental yang mana secara negatif akan memengaruhi kemampuan mereka dalam menyelesaikan test IQ. Skor IQ akan meningkat seiring berjalannya waktu, dan jarang mengalami kemunduran ke tahap preinjury level. Anak-anak akan berlanjut mengalami penurunan sampai 5 tahun setelah cedera.

Atensi
     Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa setelah mengalami cedera otak, anak akan mengalami kesulitan dalam atensi dan konsentrasi. Penurunan ini ditemukan setelah 5 tahun setelah mengalami cedera otak dan merupakan faktor yang menyebabkan anak mengalami kesulitan belajar di sekolah



Bahasa
     Anak dengan TBI secara umum jarang menunjukkan keterhambatan dalam bicara dan pengetahuan berbahasa, meskipun terkadanga faktor spesifik itu muncul. Masalahnya timbul saat anak diminta untuk memberi nama untuk suatu objek, verbal fluency, pengulangan kata dan kalimat, dan dalam menulis.

Memori
      Masalah memori adalah salah satu pengaruh yang paling sering ditemui akibat TBI, khususnya untuk mengingat informasi yang baru. Sulitnya anak untuk atensi, mengakibatkan ia tidak mampu mengcoding informasi dan di disimpan di memori.

Pengaruh motorik dan sensoris
     Pengaruh motorik dan sensoris dari TBI yang sering terjadi adalah fatigue, menurunnya fungsi koordinasi motorik, masalah visual dan perabaan, serta sakit kepala. Semua itu dapat menjadi masalah dalam problem solving, mood, dan perfomance saat di sekolah.
Emotional Development
     Sifat marah dan rasa toleransi yang rendah pada anak dapat terjadi karena cidera kepala. Cidera parah pada anak terjadi dalam waktu yang panjang dan menunjukan emosi-emosi negatif serta masalah-masalah perilaku dan dapat menunjukan diagnosis gangguan perilaku. Beberapa cedera parah pada anak menunjukan dengan jelas hambatan emosi dan perilaku, berhubungan dengan kerusakan pada frontal lobe dan perlu diperhatikan cara penanganannya.
     Anak yang menderita TBI juga biasanya menunjukan afek depresi, penarikan diri dan apatis. Dimana mood negatif mengakibatkan kepekaannya menurun karena cidera, ini juga dipengaruhi oleh dimana letak cidera itu berasal. Anak dengan kerusakan hemispheric biasanya menunjukan awal depresi (Walker, 1997).

The Self
     Pengetahuan anak tentang cidera berdampak pada konsep dirinya yang berbeda-beda sesuai dengan fungsi usia. Dimana anak yang lebih muda menyangkal cidera dan kurang perhatian tehadap pengaruh fungsinya, anak yang berusia 9 tahun lebih menunjukkan konsep diri dan kepekaan dimana mereka tinggal serta kemampuannya untuk berfungsi baik setelah mengalami cidera.

The Family Context
Keluarga mungkin akan mengalami peningkatan stress untuk sesuatu hal yang baru dan sulit untuk bertahan dalam menghadapi anak dengan perilaku menyimpang. Hal ini dapat merubah gaya hidup keluarga dari sebelumnya, contohnya dengan lebih mencurahkan sumber penghasilan untuk terapi pengobatan daripada liburan atau memperbaiki tempat tinggal. Keluarga yang tetap menyesuaikan diri dan memberikan cinta akan mampu melalui stress. Kekakuan dan kemarahan beresiko mengganggu penyembuhan dan rehabilitasi anak (Taylor et al, 1995).

The Social Context
Peningkatan impulsive pada anak, sifat lekas marah serta agresif dapat mengganggu hubungannya dengan temannya. Teman lama mungkin akan berimpati, namun teman baru akan sulit menerima. Dengan demikian akan meningkatkan resiko isolasi sosial (Andrews, Rose & Johnson, 1998). Selanjutnya TBI mungkin akan mengganggu fungsi kognitif yang merupakan kunci dari interaksi sosial, seperti komunikasi. Contohnya, Terlihat pada cidera kepala yang ringan hingga berat, orang dewasa akan sulit menunjukan emosi dan pemahaman sosial, hal ini merupakan kesulitan dalam hubungan sosial (Kersel et al., 2001).

Developmental Course
     Terdapat beberapa sumber dari berbagai macam akibat cidera otak. Kita telah mendiskusikan dua diantaranya yaitu tipe dan tingkat keparahan cidera. Terlihat tipe dari cidera, cidera mempunyai efek yang berbeda dengan cidera kepala ringan, sama seperti yang kita lihat. Dalam peningkatannya, perkiraan akan penemuan dari cidera kepala berhubungan tingkat keparahan cidera. Seperti yang kita tahu, durasi seseorang saat dalam keadaan koma adalah saat kritis, durasi singkat, dan saat penyembuhan. Bagaimanapun, faktor sumbernya adalah bahan organik dan faktor psikologis.
     Faktor penting lainnya adalah usia anak saat mengalami cidera. Balita dan anak preschool adalah umur yang beresiko mengalami dampak besar dan dalam waktu yang panjang. Kenapa demikan? Ingatan TBI membawa dampak ketidakseimbangan pada pembelajaran baru, dan pembelajaran anak pada tahap perkembangan awal menjadi baru. Anak yang lebih dewasa mungkin mengalami pembelajaran ulang untuk mengimbangi kekurangan kognitif dan faktor adaptasi untuk membantu mereka menyusun strategi alternatif sebagai penyesuaian diri terhadap tantangan yang muncul karena TBI. Status perkembangan mempengaruhi tingkat kemampuannya dengan baik. Proses dalam memperoleh kemampuan secara keseluruhan akan lebih mudah rusak daripada hanya menekankan satu perkembangan saja.
     Faktor lain yang dipertimbangkan yang menjadi dasar penyembuhan. Kebanyakan penyembuhan dilakukan pada saat pertama kali terjadi cidera. oleh karena itu perlu untuk segera diperbaiki. Harapan akan lebih dekat saat proses penyembuhan cidera. Variabel intra dan interpersonal juga harus diperhatikan. Karakteristik individu anak dan hubungan interpersonalnya dengan keluarga dan teman sebaya berpengaruh pada individu sebagai dampak cidera otak. Oleh karena itu penyesuaian diri anak dan keluarga berpengaruh signifikan pada keefektifan penyesuaian diri terhadap dampak cidera.
     Faktor-faktor resiko dan pencegah telah teridentifikasi. Contohnya cidera dapat merugikan anak. Anak juga mendapatkan pelayanan buruk saat mereka atau orang lain fokus pada cidera dan membuat perbandingan yang tidak menguntungkan pada tingkat fungsi anak. Tidak mengetahui informasi faktor kritis lain. Seringkali, anak dan keluarga tidak memahami dengan baik tentang TBI atau proses penyembuhan secara normal. Faktanya, banyak laporan bahwa mereka tidak mendapatkan penjelasan tentang cidera dan tidak mengetahui apa harapan yang dapat diwujudkan selama masa penyembuhan. Tanpa informasi yang akurat, Keluarga dapat berharap tinggi yang tidak realistic atau pesimis. Guru dan sekolah juga sering tidak mengerti TBI dan berkontribusi pada frustrasi anak, self image yang jelek dan perilaku menyimpang.
     Selanjutnya, Dukungan sosial diperlukan saat anak berada pada tahap krisis cidera tetapi kadang anak tidak mendapatkannya, ditinggal sendiri oleh keluarganya atau tanpa dukungan. Hubungan dekat dengan teman mungkin lebih dibutuhkan saat mengalami cidera berat, dan saat mengalami perubahan pada penampilan anak, kepribadian dan tingkat kognitif, serta mengalami perubahan menjadi individu yang berbeda.
     Akhirnya, Individu yang menderita TBI biasanya beresiko mengalami kekerasan. Hal ini dimungkinkan pada beberapa kasus kekerasan sebelum mengalami cidera, contohnya, individu dewasa mengalami TBI karena mabuk saat berkendaraan. Bagaimanapun, akibat TBI yang lain termasuk kerusakan dalam judgment dan kontrol impuls, remaja yang sakit membawa pengaruh negatif pada remaja lain. Selanjutnya, beberapa individu yang sehat setelah mengalami TBI menggunakan bahan terlarang untuk pengobatan depresi dan untuk menutupi harga diri yang rendah.

Intervention

     Intervensi diberikan pada individu sehat dari TBI yang sudah mengalami beragam macam dampak dari cidera. Intervensi dimulai dengan memberikan assessment, dengan dokumen kemampuan anak, kekurangan dan kebutuhan spesialnya. Intervensi sekolah sangat perlu untuk mempermudah transisi anak kembali kesekolah dan membantu guru untuk merancang strategi pembelajaran yang seimbang pada anak untuk memastikan kemajuan anak dan sikap positif dalam proses pendidikan (Walker, 1997).  Psikologi pendidikan, konseling dan layanan sosial mendukung orang tua dan seluruh keluarga. Individu yang bekerja dengan anak mungkin akan lebih membantu mereka untuk mengatasi masalah emosi atau belajar strategi penyesuaian diri terhadap tantangan yang terjadi (Hooper & Baglio, 2001). Contohnya, dalam pemulihan proses kognitif melibatkan (1) analisis dan membangun kembali rutinitas harian anak yang berkurang karena frustasi dan kegagalan; (2) menyediakan petunjuk visual seperti foto-foto aktivitas yang dapat membantu anak tetap pada aturan dan tugasnya; dan (3) melatih setiap tahap-tahap penting dalam setiap rutinitas dan meninjau kembali penampilan anak. Dengan dukungan lingkungan, dokter menemukan perbaikan yang signifikan pada tugas-tugas anak dalam waktu yang sama dengan pengurangan agresi dan perilaku maladaptif lainnya (Feeney & Ylvisaker, 1995).