Conduct Disorder and the Developmental of
Antisocial Behavior
Hai semua.. Kali ini saya akan
membicarakan mengenai Conduct disorder. Conduct
disorder merupakan
pola perilaku melanggar yang berulang dan menetap, melanggar hak dari orang
lain atau norma sosial atau aturan. Masalah perilaku ini dapat terbagi menjadi
empat kategori, yaitu agresi pada orang dan hewan, merusak sarana, tidak jujur
atau mencuri, dan pelanggaran berat terhadap aturan.
Derajat keparahan gangguan
dapat diklasifikasikan menjadi mild (melakukan beberapa masalah yang
melanggar dan dapat dijadikan diagnosis dimana perilaku tersebut hanya membahayakan orang
lain dalam skala kecil), moderate (beberapa masalah perilaku dan masalah berat), dan severe
(banyak masalah perilaku dimana pengaruh dari perilaku menyebabkan kerugian
yang cukup besar untuk orang lain).
Problem
Behavior versus Conduct Disorder
Kenakalan
merupakan bagian normal dari perkembangan. Tugas psikolog adalah menentukan kapan
masalah perilaku dapat dijadikan dasar untuk mendiagnosa conduct disorder (CD).
DSM-IV-TR menetapkan bahwa kategori digunakan hanya dalam kasus-kasus di
mana perilaku merupakan gejala dari disfungsi yang mendasari individu bukan
reaksi terhadap lingkungan sosial langsung. DSM-IV-TR
menyarankan bahwa untuk membuat diagnosa, harus mempertimbangkan konteks
sosial dan ekonomi di mana perilaku muncul. Sebagai contoh, tingkah laku
agresif mungkin akan muncul sebagai kebutuhan untuk membela diri dalam
lingkungan yang tinggi akan angka kriminalitas atau sebagai kebutuhan untuk
mempertahankan diri pada individu yang berada di daerah konflik sehingga
kenakalan pada remaja tersebut mungkin merupakan bentuk adaptasi pada
lingkungan yang menyimpang bukan merupakan sebuah gangguan mental.
Tahapan
Perkembangan
Secara umum, urutan
perkembangan ditemukan bahwa suatu bentuk perilaku bermasalah selalu terjadi
sebelum munculnya perilaku lain. Berdasarkan data rekonstruktif, Loeber dkk.
(1992) menemukan “invariant sequence”
dalam perkembangan: dari hyperativity-inattention
menjadi perilaku bertentangan, dan kemudian menjadi perilaku bermasalah. Dengan
menggabungkan penelitian Loeber dengan penelitian lain mengenai penyebab dan
gejala dari perilaku bermasalah, dapat dikonsepkan sebuah model jejak
perkembangan urutan perilaku bermasalah dari sifat yang buruk pada usia dini
hingga kepribadian antisosial pada masa dewasa.
Dengan bertumbuh dengan
urutan ini, individu dewasa cenderung untuk mempertahankan perilaku antisosial.
Hal ini terjadi karena perilaku bersifat menetap dan tidak dapat diubah. Maka,
kemajuan perkembangan lebih baik digambarkan sebagai sebuah pertambahan,
daripada pengurangan. Akan tetapi, fakta bahwa adanya urutan ini tidak berarti
bahwa seluruh individu ditakdirkan untuk melalui tahapan-tahapan ini.
Antisocial personality
|
|||||
Deliquency
|
|||||
Conduct problems
|
|||||
Oppositionality
|
|||||
Hyperativity
|
|||||
Difficult temperament
|
|||||
Infancy
|
Preschool
|
School age
|
Adolescence
|
Adulthood
|
Figur 1. Transformasi perkembangan
perilaku antisosial dari bayi hingga dewasa.
·
Early childhood: Pathways
from ADHD to conduct disorder
Kemunculan gejala ADHD
meningkatkan risiko munculnya Conduct Disorder pada masa kanak-kanak, dikaitkan
dengan perilaku bermasalah yang lebih parah, dan menghasilkan ketahanan yang lebih besar untuk berubah.
ADHD mendorong individu ke terjadinya perilaku bermasalah sebelumnya, yang
dapat memprediksi perilaku berikutnya, dari perilaku antisosial yang
berlangsung lama. Anak dengan gejala ADHD diikuti dengan perilaku antisosial
seperti agresi dan tidak patuh berisiko untuk menjadi conduct disorder pada kemudian hari.
·
Middle childhood: Pathways
from oppositionality to conduct disorder
ODD dikarakteristikan
dengan tampilan perilaku kemarahan dan pembangkangan yang tidak sesuai dengan
perkembangan usia yang bersifat menetap. Meskipun ODD dan CD memiliki beberapa
persamaan bentuk dan faktor risiko, kedua sindrom tersebut memiliki perbedaan
satu sama lain. ODD muncul pada tahap perkembangan awal dibandingkan CD, dengan
usia rata-rata kemunculan ODD adalah 6 tahun, dan 9 tahun untuk CD. Loeber dkk.
(1993) menemukan bahwa secara umum CD hampir selalu didahului dengan ODD.
Selain itu, anak-anak dengan gangguan yang parah cenderung untuk mempertahankan
perilaku bertentangan sehingga memunculkan gejala CD.
·
Late childhood and
adolescence: Divergen pathways
Loeber dkk. (1993) menggunakan
data prospektif dari suatu studi longitudinal dari anak yang berisiko tinggi
guna menelusuri jalur perkembangan yang dapat memprediksi perilaku bermasalah
selanjutnya. Berdasarkan pemikiran mereka mengenai penelitian sebelumnya yang
membedakan CD berdasarkan aspek overt/covert
dan destructive/nondestructive,
mereka berasal dari tipe yang berbeda.
Pertama, jalur authority conflict (konflik otoritas).
Karakteristik perilaku dari individu ini berupa perilaku menentang, keras
kepala, dan melanggar peraturan seperti kabur dan membolos. Perilaku ini
dianggap tidak terlalu berbahaya karena tidak secara langsung menyakiti atau
melukai orang lain. Perilaku individu yang meningkat dalam jalur konflik
otoritas cenderung untuk mengalami konflik yang berkelanjutan hingga dewasa,
tetapi cenderung untuk tidak membentuk bentuk lain dari perilaku agresif dan
antisosial, atau tidak menjadi individu nakal.
Kedua, jalur covert. Individu menunjukkan perilaku
minor dan bukan kekerasan, misalnya mencuri, mengemudi dengan ugal-ugalan, dan
vandalisme. Peningkatan pada jalur ini meliputi berkembangnya bentuk kriminal
properti dan pencurian yang lebih serius pada masa remaja, tetapi jarang
dikaitkan dengan kekerasan atau bentuk perilaku antisosial yang parah.
Ketiga,
jalur overt. Meliputi individu yang
menunjukkan perilaku agresi pada masa kanak-kanak awal. Peningkatan pada jalur
ini dikaitkan dengan berkembangnya perilaku agresi yang lebih serius, dari
berantem hingga bentuk penyerangan dan kekerasan melawan orang lain. Jalur overt dikaitkan dengan tingkat
pelanggaran kriminal yang tinggi pada remaja. Individu seringkali memasukkan
unsur covert dalam perilakunya. Jalur dual
overt/covert cenderung menjadi individu yang nakal; akan tetapi, hal
terburuk dapat dilihat pada individu yang menunjukkan kombinasi agresi overt dan covert, serta konflik otoritas, atau disebut sebagai triple pathway.
·
Late adolescence: Pathways
to antisocial personality and criminality
Terdapat dua kesimpulan yang didapat
dari penelitian bekaitan tentang CD dengan antisocial
personality disorder (gangguan kepribadian antisosial) pada individu dewasa
dan tindakan kriminal. Pertama, looking
backward, individu dewasa yang antisosial hampir tanpa kecuali memenuhi
kriteria CD pada tahap awal perkembangan mereka. Selain itu, kriteria diagnosis
gangguan kepribadian antisosial menjadi perilaku yang bermasalah sebelum usia
15 tahun, maka ini sesuai dengan kriteria diagnostik. Kedua, looking forward, hanya sedikit individu
dengan gangguan perilaku yang berkembang menjadi kronis dan mematikan pola
karakteristik pada diagnosis dewasa.
Usia kemunculan merupakan salah satu
prediktor yang paling signifikan mengenai seberapa serius perilaku antisosial.
Anak dengan kemunculan dini memiliki tingkat yang tinggi dari perilaku yang mengganggu
dan meningkat secara berkala hingga menjadi permasalahan serius. Berdasarkan
data longitudinal dari Oregon Youth Study,
diketahui bahwa perilaku antisosial dewasa ditandai dengan permasalahan remaja,
tidak hanya dengan teman-teman yang bermasalah, tetapi juga dengan saudara
kandung antisosial dan pasangan kekasih.
Etiologi
The
Biological Context
Diperkirakan terdapat
kemungkinan faktor perkembangan syaraf yang belum ditemukan yang mendasari
munculnya CD. Temperamen dapat merefleksikan faktor biologis yang mendasari CD.
Misalnya, Moffit dan Lynam (1994) mengemukakan bahwa yang mendasari
perkembangan gangguan perilaku adalah disfungsi neuropsikologis yang dikaitkan
dengan difficult temperament, yang mempengaruhi impulsifitas, iritabilitas, dan
overaktivitas pada individu. Sesuai dengan hal ini, Newman dkk. (1997)
menemukan bahwa anak yang menunjukkan tipe temperamen yang keras pada usia 3
tahun cenderung untuk mengalami sikap antisosial pada usia dewasa. Akan tetapi,
berdasarkan penelitian longitudinal menunjukkan bahwa antara agresi dan
temperamen yang keras tidak memiliki hubungan langsung, akan tetapi dimediasi
oleh faktor keluarga.
Genetik juga dapat
dipertimbangkan. Salah satu prediktor terbaik dari perilaku bermasalah pada
anak adalah kriminalitas atau perilaku antisosial orangtua, terutama penelitian
menekankan pada ayah dan anak laki-laki. Hal ini dapat terjadi karena faktor genetik;
akan tetapi, penjelasan sosial tidak dapat diabaikan. Ge dan koleganya
mengumpulkan data dari orangtua biologis dan orangtua adopsi dari remaja yang
diadopsi sejak lahir. Perilaku antisosial dari orangtua biologis berkaitan
secara signifikan terhadap sifat agresif pada anak yang diadopsi. Akan tetapi,
pola asuh orangtua adopsi juga dapat mempengaruhi perilaku agresi pada anak.
Toksin juga memiliki dampak
terhadap perkembangan dari gangguan perilaku. Janin yang terkena opiat di dalam
kandungan berisiko tinggi mengalami perilaku agresif pada 10 tahun yang akan
datang. Demikian pula yang terkena alkohol, mariyuana, rokok, dan keracunan
timbal.
Indikator psikofisiologis
juga menentukan kemunculan awal individu terpisah dari individu lain. Secara
umum anak menunjukkan kerja sistem syaraf otonom yang rendah, ditunjukkan
melalui detak jantung dan respon kulit galvanik yang rendah. Individu dengan
detak jantung rendah cenderung untuk berkelahi dan mengganggu orang lain di
sekolah dan cenderung untuk menjadi kekerasan individu dewasa. Kerja sistem
syaraf otonom yang rendah menyebabkan pencarian stimulasi dan perilaku
terkontrol, dan mengurangi reaktivitas untuk menyakiti orang lain.
The
Individual Context
Seperti yang telah diketahui, terdapat
perbedaan yang tipis antara perilaku normal dan psikopatologi, dan penyimpangan
pada proses perkembangan dasar yang mendasari sejumlah gangguan. Bahkan, agresi
merupakan bagian dari perkembangan yang normal, dan tidak ada alasan untuk
menganggap bahwa “pemberang” atau
“tukang berkelahi” sebagai CD apabila aspek lain dari kepribadiannya
berlangsung cepat. Oleh karena itu, untuk lebih memahami perkembangan anak yang
dapat diberikan label “conduct disordered,”
perlu diketahui beberapa variabel perkembangan utama yang mendasari perilaku
bermasalah.
Regulasi diri
Regulasi diri penting bagi
fungsi normatif, dan harapan sosial bahwa anak mampu mengontrol impulsi-impulsi
mereka seiring dengan bertambahnya usia. Tidak perlu terkejut apabila menemukan
seorang anak berusia 4 tahun yang mengalami temper
tantrum di atas lantai dari suatu toko bahan makanan ketika tidak dibelikan
permen, perilaku tersebut pada saat anak berusia 14 tahun hanya akan
mengernyitkan alis. Sosialisasi pengendalian diri pada usia dini sangat penting
karena balita dan anak prasekolah memiliki keinginan yang kuat untuk pemuasan
kebutuhan dengan segera dari dorongan keingintahuan, agresi, dan seksual; dan
mereka cenderung untuk bersifat egosentrisme. Akan tetapi, penelitian objektif
menyetujui bahwa anak dengan conduct
disordered membuktikan kemampuan yang terbatas untuk menunda dorongan atau
impuls dan mentoleril frustrasi.
Kochanska dan koleganya
(2001) melakukaan penelitian yang bertujuan untuk menemukan akar dari
pengendalian diri pada anak-anak, yang dilihat sebagai perkembangan dari
internalisasi nilai-nilai orangtua. Selanjutnya, penelitian Kochanska
menunjukkan tipe pola asuh spesifik yang optimal untuk meningkatkan
pengendalian diri pada anak dengan temperamen yang berbeda-beda. Berdasarkan data
longitudinal, Kochanska menemukan bahwa bagi anak yang mengalami ketakutan pada
masa kanak-kanak, pendisiplinan ibu dengan cara halus merupakan cara yang
paling efektif. Sedangkan, bagi anak yang tidak mengalami ketakutan, cara
kelemahlembutan tidak akan efektif. Bahkan, ibu perlu untuk meningkatkan ikatan
emosi dengan anak guna membantu perkembangan motivasi untuk menerima dan
menginternalisasi nilai-nilai orangtua. Oleh karena itu, pengembangan regulasi
diri pada anak dengan temperamen sulit, yang berisiko terhadap CD, memerlukan
pola asuh yang intens dan melibatkan emosional.
Regulasi
emosi
Regulasi emosi merupakan
aspek khusus dari kontrol diri yang berdampak terhadap perkembangan CD. Anak
secara kronis mengalami kesukaran keluarga, pola asuh yang kurang, dan tingkat
konflik yang tinggi diperparah dengan emosi yang kuat dan menerima sedikit
bantuan dalam mengaturnya dari tekanan dan orangtua yang kurang berpengalaman.
Oleh karena itu, individu cenderung berisiko gagal untuk membangun strategi coping yang adekuat terhadap emosi
negatif dan mengatur ekspresi diri. Sesuai dengan pemikiran ini, penelitian
menunjukkan bahwa anak dengan conduct-disordered
mengalami kesulitan mengendalikan pengaruh yang kuat, khususnya kemarahan, dan
anak tersebut dengan kemampuan mengendalikan emosi yang rendah cenderung untuk
berespon secara agresif dalam permasalahan interpersonal.
Perkembangan
prososial: Perspective-taking, perkembangan moral, and empati
Piaget mengobservasi bahwa
salah satu perkembangan yang sangat penting dalam masa transisi menuju middle childhood adalah decentering: yaitu berpindah dari
egosentrisme kognitif (di mana dunia dilihat terutama dari sudut pandang anak)
menjadi perspektif kognitif (di mana situasi dapat dilihat dari beberapa sudut
pandang individu-individu yang terlibat dan keinginan dan perasaan termasuk di
dalamnya). Perspective taking,
kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, merupakan hal
yang fundamental bagi perkembangan moral reasoning dan empati, di mana keduanya
dapat melawan kecenderungan untuk berperilaku secara agresif dan antisosial.
Penelitian membuktikan
fakta bahwa individu agresif dan conduct
diordered mengalami keterlambatan dalam hal perkembangan kognitif dan
afektif. Sedangkan pada kenakalan remaja mengalami ketidakmatangan kognitif
dalam perkembangan moral. Selain itu, individu dengan conduct disordered kurang memiliki empati, serta kurang peka
terhadap perasaan orang lain apabila dibandingkan dengan individu yang tidak
mengalami gangguan. Happe dan Frith (1996) mengemukakan bahwa individu dengan conduct disordered memiliki insight
sosial dan pemahaman mengenai keadaan mental orang lain yang rendah. Oleh sebab
itu, individu dengan conduct disordered cenderung memiliki persepsi yang salah
mengenai motif orang lain dan menunjukkan kelainan dalam pola pikir mengenai
situasi sosial, yang kemudian dapat meningkatkan kecenderungan untuk bersikap
secara agresif.
Kesadaran
sosial
Eron dan Huesmann (1990),
tertarik dengan pernyataan mengenai stabilitas agresi lintas waktu dan
generasi: “Dampak yang berbahaya dari perilaku keras kepala yang konsisten
adalah bahwa agresi bukanlah suatu situasi spesifik atau yang menentukan yang
hanya terjadi secara kebetulan. Individu membawa sesuatu dari dalam yang dapat
menyebabkan individu untuk bertindak secara agresif maupun nonagresif”. Mereka
menyimpulkan bahwa hal yang mendasari agresi adalah cognitive schemata: naskah untuk menginterpretasi dan berespons
terhadap kejadian yang berasal dari pengalaman masa lalu dan digunakan sebagai
petunjuk pada perilaku yang akan muncul.
Selman dan Schultz (1988)
mengemukakan model proses perkembangan kognitif yang mendasari kemampuan untuk
mengatasi permasalahan interpersonal tanpa menggunakan kekerasan. Sesuai dengan
tahapan perkembangan moral Kohlberg, perkembangan interpersonal negotiation strategies (INS) memproses pemahaman dan
kompleksitas kognitis dari tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi.
Bukti hasil penelitian
menunjukkan bahwa kurangnya strategi penyelesaian masalah interpersonal, anak
dengan CD memiliki gaya pemrosesan informasi sosial yang berbeda. Misalnya,
anak yang agresif mensalahartikan intensi agresi terhadap orang lain apabila
berada dalam situasi yang ambigu, dinamakan hostile
attribution bias. Individu seperti
ini mampu menghasilkan sedikit alternatif untuk mengatasi permasalahan
interpersonal, dan mereka memiliki harapan positif yang dihasilkan dari
perilaku agresi. Oleh karenanya, agresi merupakan pilihan yang disukai.
Pola pemrosesan informasi
sosial ini juga dapat dilihat untuk mengetahui hubungan antara pengalaman masa
kanak-kanak yang mengalami kesalahan dalam pola asuh dan perilaku agresi pada
anak. Pola asuh orangtua yang kasar dan keras menyebabkan anak menanamkan
pemikiran generalisasi bahwa orang lain menunjukkan perilaku bermusuhan dan
memiliki niat jahat terhadap orang lain. Oleh karena itu, anak
menginternalisasi pengalaman kesalahan pola asuh orangtua secara mendalam ke
dalam kepribadian dan perilaku mereka, memiliki pemikiran rasional yang memasikan
konsistensi perilaku mereka.
Substance
abuse
Terlibat dalam
penyalahgunaan obat-obatan dapat menyebabkan munculnya perilaku kriminal yang
berbahaya. Misalnya, the National Center
on Addiction and Substance Abuse
(2004) melaporkan bahwa 4 dari setiap 5 orang yang menjalani sistem peradilan
remaja memiliki riwayat utama pengguna obat-obatan atau sedang berada di bawah
pengaruh obat-obatan atau alkohol ketika melakukan tindak kriminal. Apabila
individu berkaitan dengan obat-obatan, mereka cenderung untuk melakukan
aktivitas ilegal untuk mendapatkan obat-obatan dan untuk menjadi bagian dari
lingkungan antisosial di antara para pengguna.
The Family
Context
Attachment
Pola interkasi yang tidak nyaman antara orang tua dengan anak pada masa
bayi dapat dikaitkan dengan prespektif perilaku anak prasekolah seperti
keramahtamahan, permusuhan, dan menantang. Namun, hubungan pola interaksi tidak
aman ini dapat digunakan untuk memprediksi agresi anak perempuan di sekolah,
akan tetapi tidak dapat memprediksi agresi anak laki-laki. Prediksi ini
dipengaruhi oleh sejumlah faktor lain yang terkait dengan pola asuh seperti
interaksi di lingkungan keluarga dan tekanan dari lingkungan.
Family
Discord
Secara khusus, anak-anak
yang mengalami kekerasan di dalam keluarga,
mungkin akan diprediksi mengalami banyak masalah pula
pada perilakunya. Anak-anak yang mengalami kekerasan di dalam keluarga juga memulai
jenjang karier pada usia lebih
dini dan kebanyakan menjadi pelaku kriminal yang lebih serius. Selanjutnya,
anak-anak sering menjadi sasaran agresi dari orang
tua mereka dan anak-anak dengan CD (Conduct
Disorder) lebih cenderung
menjadii korban di dalam kejadian penganiayaan.
CD juga berhubungan dengan bentuk konflik tanpa kekerasan antar
orang tua dan perceraian. Anak laki-laki
yang tumbuh di
sebuah keluarga
dengan orang
tua tunggal sangat berisiko mengalami CD. Hal ini karena dipengaruhi oleh
pendapatan keluarga (taraf hidup keluarga), tetangga (pola interaksi dengan
lingkungan di luar rumah), dan juga perilaku agresif anak sendiri perlu
diperhitungkan. Anak laki-laki tanpa figur seorang ayah di dalam keluarganya
akan lebih cenderung tumbuh sebagai individu dengan agresifitas tinggi
dibandingkan dari anak laki-laki dengan orang tua lengkap. Namun, hal ini tidak selamanya
berasal dari keluarga yang tidak lengkap saja (broken home). Akan tetapi yang terpenting dari hal ini adalah
adanya gangguan dalam kualitas hubungan emosional antara anggota keluargalah
yang menjadi penyebab dari masalah perilaku anak.
Stres keluarga juga dan meningkatkan kemungkinan munculnya
CD. Anak-anak yang mengalami masalah perilaku lebih cenderung berasal dari
keluarga yang mengalami peristiwa kehidupan keluarga yang lebih negatif.
Kehidupan keluarga yang tidak kondusif tersebut seperti memiliki kesibukannya
masing-masing setiap hari, pengangguran, mengalami kesulitan di dalam hal
keuangan dan masih banyak hal lainnya. Selain itu, anggota keluarga dari
anak-anak yang mengalami gangguan biasanya memiliki sumber dukungan sosial yamg
kurang dan cenderung untuk terlibat dalam konflik kronis dengan orang lain di
dalam masyarakat. Bagaimanapun, stres di dalam keluarga tidak menjadi penyebab
langsung perilaku antisosial, melainkan bahwa perlaku ini muncul akibat adanya
sumber penguat lain dari permasalahan pola interaksi antara orang tua dan anak.
Parent
Psychopathology
Tindak kekerasan dalam bentuk penganiayaan oleh orang tua, terutama oleh
ayah, dapat menjadi tolak ukur anak mengalami CD pada masa kecil. Pengalaman
seorang ibu yang mengalami depresi juga dapat mempengaruhi masalah perilaku
anak dan berpengaruh pada ketidakmampuan seorang anak dalam menyesuaikan diri.
Prediktor hubungan orang tua yang paling akurat dari anak-anak yang
mengalami CD adalah adanya faktor orang tua yang mengalami gangguan kepribadian
antisosial yang dapat berakibat meningkatkan kejadian perilaku CD pada seorang
anak. Penelitan pertama mengungkapkan bahwa gangguan kepribadian antisosial
pada orang tua berkorelasi dengan CD dan dikombinasikan dengan kecerdasan
verbal pada anak yang memprediksi kelanjutan masalah perkembangan anak untuk ke
depannya.
Harsh
Parenting and The Intergenerational Transmission of Aggression
Terdapat bukti yang kuat
terhadap pewarisan agresi
antar generasi. Agresi tidak
hanya stabil dalam
satu generasi tetapi di seluruh generasi juga. Oleh karena itu, agresi dapat diwariskan dari generasi sebelumnya. Asosiasi
yang kuat dapat dilihat
antara kakek-nenek, orang tua, dan agresifitas
pada anak.
Sementara mekanisme yang berhubungan dengan tindakan kelangsungan perilaku
ini tidak jelas. Eron dan Huesmann
percaya bahwa agresi tersebut dipelajari
melalui modeling. Dicatat sebelumnya,
anak-anak yang memiliki
orang tua antisosial yang berperilaku agresif, biasanya orang tua akan melakukan kekerasan dan
penganiayaan terhadap anak.
Hasil koresponden memperoleh mengenai hubungan anatara spanking dan
agresi pada anak. Dari sample yang diambil pada 800 anak dengan umur 6 sampai 9
tahun menemukan bahwa spanking (memukul
pantat) berasosiasi dengan meningkatnya perilaku agresi dan perilaku
antisosial. Penelitian yang sama menemukan pada bagian populasi klinis, ada
hubungan antara hukuman secara fisik dengan perkembangan gangguan pada seorang
anak. Perkembangan berikutnya, anak yang diberikan hukuman fisik akan
meningkatkan resiko anak laki-laki untuk tumbuh menjadi seorang suami yang akan
memukul istrinya.
Parenting
Inconsistency and Lack of Monitoring
Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa adanya pola pengajaran orang
tua yang kurang disiplin, pola asuh dan pengajaran orang tua yang kurang
konsisten, serta kelonggaran pengawasan terhadap perilaku anak dapat
dikaitkan dengan munculnya tindakan antisosial kepada seorang anak.
Kompromi dapat dibuktikan dengan pengawasan orangtua seperti memberikan pengawasan untuk
mengetetahui tentang kegiatan
anak-anak dan keberadaannya,
serta untuk menegakkan aturan tentang dimana anak-anak
dapat pergi dan dengan siapa mereka dapat pergi
bersama.
Coercion
Theory
Patterson dan rekan-rekannya telah melakukan sebuah program penelitian
yang penting tentang asal-usul gangguan perilaku dalam keluarga. Berdasarkan
teori belajar sosial, mereka berusaha untuk menyelidiki faktor-faktor yang
mungkin timbul dan membentuk perilaku antisosial pada anak-anak. Orangtua dari
anak-anak antisosial mempunyai kemungkinan lebih besar untuk secara langsung
memperkuat perilaku agresifnya.
Kontribusi Patterson yang paling penting adalah cara untuk menganalisis
interaksi antisosial anak-anak dengan orang tua mereka dalam proses pemaksaan
keinginan yang dilakukan di dalam keluarga. Menurut Patterson, dengan adanya
pemaksaan maka perilaku negatif pada seseorang individu itu timbul dan
diperkuat oleh orang lain yang dipelajari dari interaksi timbal balik satu
dengan yang lain dan saling mempengaruhi perilaku lain. Misalnya, Patterson
mencatat bahwa ketika anak dihukum oleh orang tuanya, anak CD dengan
kemungkinan dua kali lebih besar melakukan perilaku negarif dari anak normal
lainnya. Hal ini karena pada keluarga mereka cenderung berbicara terlalu keras
untuk berinteraksi melalui penggunaan negative
reinforcement. Seperti punishment,
ketika ada stimulus yang tidak menyenangkan diberikan untuk mengurangi
perilaku, negative reinforcement akan meningkatkan kemungkinan perilaku dengan
memindahkan stimulus tidak menyenangkan sebagai reward.
Transaction
Processes
Signifikan aspek lainnya dari observasi Patterson adalah keterlibatan
proses transaksional antara orang tua dan anak akan sangat mempengaruhi dan
membentuk perilaku satu dengan yang lainnya. Misalnya, Campbell melakukan
obsrevasi hubungan antara stress di dalam pengasuhan dengan perilaku agresive
pada anak-anak TK dan gagal memenuhi sesuatu. Campbell menduga bahwa stress
seorang ibu akan mengakibatkan ia menjadi lebih membatasi dan negatif ketika
mencoba untuk mengatasi keinginan hatinya, tidak akan mengalah dengan anak. Hal
ini membuat anak menjadi lebih sulit untuk dirawat.
Dumas, LaFreniere dan Serketich mempelajari
interaksi antara ibu
dengan anak-anak mereka,
yang mencakup kemampuan
sosial, rasa cemas, dan perilaku agresif.
Anehnya, mereka menemukan bahwa, secara keseluruhan, anak-anak yang agresif memiliki hubungan emosi yang baik
dengan ibu mereka dan cenderung normal. Namun, dibandingkan dengan
penelitian lain, anak-anak
agresif lebih mungkin
untuk menggunakan teknik kontrol permusuhan. Sedangkan ibu mereka lebih mungkin
untuk merespon tanpa
pandang bulu dan gagal untuk
menetapkan batasan untuk anak-anak
mereka dalam pembagian bentuk ekstrem
dari perilaku pemaksaan.
Lyton, membuat hipotesis bahwa masalah di dalam pengasuhan akan
mempengaruhi perilaku anak. Investigator mengobservasi seorang ibu yang
memiliki anak laki laki CD dan anak laki-laki tidak CD (dapat dikendalikan)
berinteraksi dengan keuda anak-anak tersebut. Hipotesisnya, semua ibu akan
lebih bersikap negative dan membatasi dengan anak laki-lakinya yang memiliki
perilaku CD. Tetapi ketika berinteraksi dengan anak normal (tidak CD), ibu dari
anak CD akan berperilaku sama seperti para ibu lainnya. Hal yang terpenting
dari hal ini adalah untuk membuktikan indikasi seorang anak memiliki perilaku
agresif, sulit untuk diatur, dan tidak merespon suatu reward dan hukuman, dalam
rangka membuktikannya hendaknya tidak meremehkan kontribusi anak-anak untuk
berperilaku aversive berhubungan dengan relasi antara orang tua dan anak.
Secara umum, saat kontribusi anak hadir untuk berani memberikan
pendapat, hal ini merupakan suatu penengah yang baik untuk
orang tua yang mempunyai kebiasaan untuk
menyalahkan. Melalui hubungan orang
tua dengan anak yang memiliki proses
interaksi akan lebih mungkin untuk memberikan penjelasan
yang akurat tentang mengapa anak berperilaku seperti ini atau
sebaliknya mengapa orang tua berperilaku seperti itu.
A
Developmental Perspective on Parenting and Conduct Disorder
Pada bagian ini kita mempelajari bagaimana
berbagai kualitas pola pengasuhan
terhadap anak dapat berkontribusi pada
jalur perkembangan anak. Pada hal
ini berawal dari mulai mengalami gangguan
dan perkembangan yang menjadi masalah
bagaimana mereka dapat menjadi
penyebab gangguan emosional yang dialami oleh anak, dari saat mereka ikut bermain selama masa
kanak-kanak.
Berfokus pada pola asuh orang tua selama tahap pertama, dari usia 2
tahun, faktor yang paling penting adalah respon orangtua terhadap anak. Melalui
pengasuhan yang tidak konsisten dan kurangnya pengawasan dari orang tua,
seperti orangtua yang jarang memperhatikan anaknya akan dapat mempengaruhi
perkembangannya. Anak menjadi mudah marah, impulsif, dan anak menganggap orang
tua tidak mendukung serta tidak bersedia untuk membantu mereka dalam mengelola
emosi mereka. Hal inilah yang menjadi latar belakang untuk anak yang
berusia 2 tahun
dapat bersikap dan bertindak.
Pada saat anak berusia 3 tahun, pola hubungan antara orang tua dan anak
lebih kepada adanya desakan orang tua sesuai pada harapannya. Hal ini lebih
untuk membentuk suatu pencapaian tujuan hubungan yang didasarkan pada saling
bernegosiasi dan berkompromi. Pada fase ketiga yaitu pada usia 4 sampai 5
tahun, hal yang terpenting adalah ketidakonsistenan orang tua di dalam
disiplin. Pada hal ini, sebagai anak yang memiliki perilaku negatif akan
membawanya sampai ke hubungan pergaulan dan perilaku di sekolah, masalah
perilaku akan meningkat dan akan menjadi lebih serius, sehingga menuntut orang
tua untuk lebih bersikap tegas dan konsisten. Bagaimanapun, orang tua dengan
anak CD, kemungkinan besar akan terombang-ambing antara mengabaikan perilaku
yang buruk atau selalu mengancam atau memanfaatkan hukuman yang keras.
Secara lebih ringkas, menurut Shaw
dan Bell, pola
asuh kedekatan orang tua yang kurang pada masa balita dapat
menjadi latar belakang perkembangan hubungan yang tidak harmonis antara orang tua dan anak. Melalui
ketidakharmonisan hubungan tersebut dapat mengakibatkan meningkatnya kekerasan oleh anak, adanya konflik, dan adanya ketidakharmonisan emosional antara anak
dengan lingkungan sosialnya.
Pada penelitian selanjutnya, Shall dan Bell menemukan bahwa penolakan
dari ibu saat anak berusia 2 tahun akan berkorelasi dengan adanya problem pada
saat anak berusia 4 tahun. Anak yang gagal membina hubungan di dalam suatu
pengasuhan akan menghasilkan prediksi terkuat munculnya perilaku CD. Depresi
ibu, support sosial yang rendah, dan penolakan orang tua di dalam cara
berinteraksi, akan meningkatkan perilaku yang buruk, pengasuhan yang buruk, dan
memunculkan konflik antara orang tua dan anak.
Specificity
of Parenting Effects
Kim dan koleganya melakukan sebuah studi langka yang membahas pertanyaan
khusus tentang bagaimana orang tua secara berbeda melakukan kontribusi terhadap
perkembangan gangguan perilaku anak, depresi, atau kombinasi dari keduanya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dengan kedua CD dan kombinasi dari
CD atau depresi kronis, menerima pemberian kasih sayang yang kurang dan hal
inilah yang menyebabkan anak menderita depresi semakin parah. Pada akhirnya,
anak-anak ketika menghadapi permasalahan, menunjukkan hasil bahwa mereka
memiliki tingkat permusuhan dengan orang tua lebih tinggi dibandingkan dengan
tingkat depresi mereka. Namun, uniknya adalah hal ini hanya pada anak-anak
dalam kelompok CD saja. Berbeda dengan mereka yang depresi, yang menjadi faktor
yang menunjukkan tingkat tinggi dan rendahnya depresi mereka adalah kasih
sayang dan pola asuh dari orang tua.
The Social
Context
Anak-anak dengan CD mudah diidentifikasi oleh teman-teman
sepermainannya. Mereka akan berdebat, mudah marah, benci, dan sengaja membuat
orang lain merasa jengkel. Pada awal masa prasekolah, agresi anak biasanya
dikaitkan dengan penolakan dari teman sepermainannya, yang selanjutkan akan
mempengaruhi perilaku agresif. Anak-anak yang berperilaku agresif juga
mendapatkan anggapan negatif dari teman sepermainannya yang akan terus
mengikuti mereka bahkan ketika perilaku agresif mereka muncul. Oleh karena itu,
interaksi antara anak yang mengalami gangguan dan teman sepermainannya dapat
berkontribusi pada agresi lebih lanjut dan masalah perilaku lainnya yang
timbul.
Penelitian menunjukkan bahwa perilaku
anak-anak yang mengganggu didorong karena mereka ingin mendapatkan reputasi di antara teman-teman
dan guru. Biasanya
mereka akan memberhentikan atau dengan sengaja menabrak anak anak lain di
tempat bermain. Anak dengan reputasi sebagai pengganggu lebih cenderung
dianggap bahwa sebenarnya tujuan
anak bertindak agresif seperti demikian tersebut terjadi karena
anak ingin menerima teguran
dengan cara seperti itu. Akibatnya, anak memiliki label sebagai
pengganggu sehingga lebih cenderung melihat dirinya
sendiri seperti itu dan berperilaku sesuai
dengan anggapan tersebut. Secara ringkas, adanya anggapan dari orang lain mempengaruhi perilaku anak sehingga ia semakin
mengeluarkan perilaku yang mengganggu.
Pada anak-anak usia tengah, ketika anak-anak agresif ditolak di
lingkungan prososial pada anak-anak seusianya, mereka mungkin akan lebih
diterima di lingkungan pergaulan antisosial yang dapat tahan dan mampu
menghadapi problem perilaku mereka. Para kaum muda dengan sikap antisosial menghabiskan
lebih banyak waktunya di dalam lingkungan pergaulan tanpa adanya pengawasan
dari orang dewasa, berkumpul di jalanan, dan melibatkan diri di dalam perilaku
yang penuh dengan resiko.
Secara keseluruhan, penelitian tentang pengaruh teman sepermainan
menunjukkan bahwa mereka adalah faktor penyebab individu bersifat dan
berperilaku mengganggu, namun bukan menjadi hal yang paling menentukan.
Sementara agresi mula-mula yang timbul dapat menyebabkan anak harus mendapat
respon dari rekan prososial, hubungan positif dengan teman-teman yang mengalami
antisosial mungkin mengakibatkan seseorang akan bersifat dan berkelakuan untuk
bersikap. Ini pada akhirnya dapat menjadi tolak ukur yang sangat penting untuk
memahami anak remaja yang mengalami CD. Bahkan, hubungan dengan rekan-rekan
antisosial memiliki efek langsung pada kenakalan remaja hanya dalam tipe
penyendiri, sementara sosialisasi orang tua merupakan faktor penyebab yang
lebih signifikan dalam bentuk anak mengalami gangguan tersebut.
The Cultural
Context
The
Neighborhood
Anak-anak yang tumbuh dan besar di lingkungan masyarakat dengan latar
belakang kemiskinan dan kekerasan lebih mungkin untuk mengembangkan perilaku
antisosial dan CD. Dampak dari lingkungan tersebut dapat jelas terlihat dari
tingkat kekerasan
di lingkungan masyarakat
yang meningkat dengan
signifikan. Di lingkungan menunjukkan bahwa anak-anaklah
yang paling mungkin terkena dan menjadi model perilaku antisosial dan agresi.
Lebih jelasnya budaya genk dari pusat
kota menawarkan beberapa alternatif kepada kaum muda, yang mungkin merasa
mereka harus bergabung untuk dapat bertahan hidup. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa orangtua yang baik mampu menjadi penyokong bagi sebagian anak-anak dari
efek pertemanan dan bersosialisasi yang salah dalam lingkungan masyarakat.
Namun, ketika orangtua miskin, pemuda lebih cenderung masuk kedalam komunitas genk dan terlibat secara aktif, yang
pada akhirnya dapat menyebabkan peningkatan kekerasan selama masa remaja. Genk, dapat menjadi tempat untuk "deviancy traning," yang
terlepas dari pengaruh lainnya, sehingga upaya pencegahan untuk pemuda yang
tinggal dalam sebuah kota untuk tergabung dalam sebuah genk harus berasal dari dalam diri dan keinginan remaja dari
semula.
Ethnicity
Kesenjangan sosial ekonomi
harus diperhitungkan ketika menafsirkan data
tentang gaya hidup yang relatif lebih tinggi dapat mempengaruhi gangguan
perilaku antara African
American dengan pemuda Eropa. Namun,
sementara kelas sosial
telah ditemukan untuk
memperhitungkan perbedaan etnis di lingkungan
sosial dan timbul dari perilaku antisosial
dalam banyak studi, ada beberapa efek
rasial yang bertahan.
Alih-alih menggungkapkan proses kognitive error,
dimaksudkan penalaran yang salah tersebut
dapat mencerminkan pengalaman bagaimana remaja tumbuh di lingkungan yang memiliki dan
mengalami ras bermusuhan yang tinggi, mungkin mencerminkan
cara bahwa anak-anak minoritas diperlakukan oleh
teman seumurannya.
School
Environment
Sekolah adalah aspek lain dari lingkungan
sosial yang dapat
berkontribusi terhadap perilaku antisosial. Anak-anak dengan
cepat menentukan apakah mereka dianggap dan dikenali oleh guru sebagai
anak yang berprestasi tinggi atau rendah. Kemdian, mereka mengembangkan
sikap terhadap sekolah
sesuai dengan sikap
mereka percaya bahwa guru mereka akan
memperhatikan dan mengenali mereka. Selanjutnya, ketika mereka mendekati usia remaja, pemuda yang
merasa dikucilkan di sekolah mengembangkan
sikap yang semakin negatif terhadap pendidikan
dan harapan yang
rendah untuk diri mereka sendiri, sehingga mereka berusaha untuk meninggalkan sekolah lebih awal. Dengan
demikian hal ini membatasi kesempatan
yang dimiliki oleh mereka untuk mencoba prososial
guna mencapai sebuah kesuksesan. Perilaku
antisosial menjadi pilihan yang mungkin diambil dan dilakukan.
Media
Influences
Kekerasan telah menjadi unggulan acara
televisi di Amerika dan film. Selanjutnya, kekerasan dilakukan
oleh pahlawan untuk
melawan penjahat dan akibatnya
dapat menimbulkan konsekuensi negatif.
Anak-anak cenderung untuk memilih
menonton acara atau program televisi kekerasan yang lebih agresif
daripada teman-teman mereka, dan studi
laboratorium juga menunjukkan bahwa peningkatan
tampilan bahan agresif
mengarah ke peningkatan
berikutnya dalam perilaku
agresif. Efek ini
dapat di identifikasi dari pola perilaku anak yang cenderung untuk meniru adengan
karakter di televisi dan keyakinan mereka
bahwa kekerasan televisi
fiksi mencerminkan realitas. Hal ini barlaku secara universal di
seluruh jenis kelamin, kelas
sosial, dan kemampuan
intelektual serta tidak terpengaruh oleh agresi orang tua, kebiasaan menonton
televisi, atau sikap.
Sex Role
Socialization
Ulasan lebih lanjut menunjukkan pengaruh budaya tertentu juga dapat
mempengaruhi tingkat agresi anak, khususnya mengenai peranan sosialisasi
maskulin dalam pengembangan agresi laki-laki. Sebagai contoh, Cohen dan
koleganya mendeskripsikan maskulin di Amerika Selatan seperti “kebudayaan
terhormat” atau menjunjung tinggi kemaskulinan dimana mewajibkan laki-laki
untuk menggunakan kekuatan fisik di dalam bertahan melawan rasa penghinaan pada
dirinya atau martabat keluarganya. Para peneliti menunjukkan hal ini secara
empiris dengan menginstruksikan asisten penelitian untuk sengaja bertemu
mahasiswa laki-laki dan kemudian membuat sebuah pernyataan yang bertentangan
dengan norma kesusilaan dan meminta mereka untuk memberikan respon terhadap
kebiasaan mereka ketika sedang berinteraksi dengan teman-temannya. Para peneliti
menafsirkan respons ini sebagai hasil dari pembelajaran sosial, sehingga
pengaruh budaya mereka menyebabkan orang yang tinggal di daerah selatan
mengalami masalah interpersonal cenderung untuk menghormati maskulin yang
biasanya harus dipertahankan melalui agresi fisik.
Intervention
Pengaruh CD dari masa kanak-kanak sampai dewasa menunjukkan bahwa ini
adalah psikopatologi yang telah menjadi bagian dalam pembangunan awal dan
merupakan konsekuensi tahap perkembangan sebelumnya. Dengan demikian muncul
adanya kebutuhan untuk pencegahan dan pengobatan. Namun sumber utama dari CD
adalah ketidakmampuan kognitif dan efektifitas dalam psikopatologi anak dan
perpecahan dalam keluarga, dorongan dari teman sepermainan membentuk gangguan
serupa didalam masyarakat pada umumnya.
·
Behavioral Approach: Parent
Management Training
PMT (Parent Management Training) adalah salah satu program pembenaran
atau pelatihan untuk memperbaiki perilaku yang paling sukses dan yang paling
direkomendasikan. PMT berfokus pada mengubah interaksi antara orang tua dan
anak sehingga menampilkan perilaku prososial dengan memperkuat perilaku
disiplin pada suatu penguatan. Sesuai namanya, ini dicapai dengan melatih orang
tua untuk berinteraksi lebih efektif dengan anak, berdasarkan prinsip-prinsip
teori belajar sosial. Induk belajar untuk menerapkan sejumlah teknik modifikasi
perilaku, termasuk penggunaan penguatan positif untuk perilaku prososial dan
penggunaan hukuman ringan seperti penggunaan kursi "time-out".
·
Cognitive-Behavioral
Intervention: Anger Coping Program
Kajian empiris pada psikopatologi perkembangan
mengenai agresi, dengan merancang sejumlah kelompok untuk menangani masalah-masalah inti seperti manajemen kemarahan
atau emosi. Kemudian berusaha melatih untuk dapat
melihat dari sudut pandang masalah dengan cara yang berbeda, memecahkan masalah sosial,
kesadaran emosi, latihan
relaksasi, keterampilan sosial, berusaha mengimbangi diri ketika mendapat tekanan dari teman sepermainan
dan pengoptimalan diri. Tindak lanjut studi menunjukkan
bahwa intervensi ini efektif dalam mengurangi
agresi dan perilaku
mengganggu di kedua
rumah dan sekolah
serta meningkatkan perilaku yang
tepat dan menghasilkan kompetensi diri.
·
Systematic Family Treatment
Pendekatan sistematis telah ditampilkan dalam sejumlah intervensi yang
dirancang untuk memenuhi kebutuhan spesifik dari populasi pada suku dan budaya
yang berbeda. Dalam rangka untuk mengatasi perasaan terasing dan untuk
memfungsikan peran orang tua, intervensi utama diimplementasikan dalam kelompok
kecil multiparent pendukung dengan orang tua memberikan dukungan didalam
jaringan tersebut. Dalam bekerja dengan keluarga sebagai suatu sistem, dokter
atau psikolog berusaha untuk mengurangi konflik, meningkat keharmonisan di
dalam rumah, dan memperbaiki struktur serta kehangatan dalam hubungan antara
orang tua dengan anak. Orang tua didorong untuk menjadi lebih aktif terlibat di
dalam urusan sekolah dari usia anak yang masih dini, gunanya untuk memantau
kegiatan anak dengan teman sepermainannya, dan diharapkan orang tua dapat
menjadi model keterampilan prososial bagi anak-anak mereka.
·
Multisystemic Therapy
MST (Multisystemic Therapy) diakui sebagai intervensi
yang paling baik dalam mengurangi
dan memulihkan anak dari gangguan serta
telah menghasilkan tingkat keberhasilan yang
mengesankan dengan beberapa
anak muda antisosial yang mengalami gangguan antisosial yang serius. Walaupun
berfokus pada sistem keluarga dan mendasarkan pada teori sistem keluarga, namun
treatment ini bersifat individual dan fleksibel yang menawarkan variasi dari
intervensi bergantung pada kebutuhan pada anak muda tertentu. Fokus
utama di dalam treatment ini adalah pada ketidakharmonisan keluarga dan keterbelakangan sekolah
di satu kasus
dan kurangnya keterampilan sosial dan pengangguran
orangtua yang lain.
Studi empiris menunjukkan kemanjuran pendekatan
MST adalah karena intervensi ini dapat dengan
sangat mudah diberlakukan
dan memiliki aturan yang sistematis, termasuk remaja yang memiliki gangguan emosinal dan pendiskriminasian jenis kelamin dalam
keseharian anak. Komunikasi keluarga
adalah faktor utama yang mempengaruhi
perbaikan emosi anak. Dengan adanya perbaikan hubungan pola keluarga dalam berkomunikasi, hal ini mengakibatkan
berkurangnya tingkat perselisihan antara orang tua dan anak-anak
dan antara orang
tua itu sendiri.
Culturally
Informed Intervention
MALE (Male Attitude Adjustments in
Order to Lead More Effective Lives), adalah program langsung akan
pengertian tentang maskulinitas yang bermasalah
dapat mengakibatkan perilaku menyimpang dan
kekerasan, seperti yang ideal hypermasculine bahwa kekerasan yang individu lakukan
dapat membuat diri individu
menjadi lebih jantan (more
of a man). Intervensi
melibatkan pemuda dalam sesi kelompok di
mana mereka membahas
penggambaran pria di lagu rap dan hip-hop, film, biographiesm dan puisi.
Tujuannya adalah untuk membantu kaum muda yang sedang mempertimbangkan pilihan yang mereka buat dan harga yang harus
dibayar untuk pilihan
tersebut.
Sekian dan Terima kasih...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda