Sabtu, 05 April 2014

Conduct Disorder and the Developmental of Antisocial Behavior

Hai semua.. Kali ini saya akan membicarakan mengenai Conduct disorder. Conduct disorder merupakan pola perilaku melanggar yang berulang dan menetap, melanggar hak dari orang lain atau norma sosial atau aturan. Masalah perilaku ini dapat terbagi menjadi empat kategori, yaitu agresi pada orang dan hewan, merusak sarana, tidak jujur atau mencuri, dan pelanggaran berat terhadap aturan.
Derajat keparahan gangguan dapat diklasifikasikan menjadi mild (melakukan beberapa masalah yang melanggar dan dapat dijadikan diagnosis dimana perilaku tersebut hanya membahayakan orang lain dalam skala kecil), moderate (beberapa masalah perilaku dan masalah berat), dan severe (banyak masalah perilaku dimana pengaruh dari perilaku menyebabkan kerugian yang cukup besar untuk orang lain).

Problem Behavior versus Conduct Disorder
Kenakalan merupakan bagian normal dari perkembangan. Tugas psikolog adalah menentukan kapan masalah perilaku dapat dijadikan dasar untuk mendiagnosa conduct disorder (CD). DSM-IV-TR menetapkan bahwa kategori digunakan hanya dalam kasus-kasus di mana perilaku merupakan gejala dari disfungsi yang mendasari individu bukan reaksi terhadap lingkungan sosial langsung. DSM-IV-TR menyarankan bahwa untuk membuat diagnosa, harus mempertimbangkan konteks sosial dan ekonomi di mana perilaku muncul. Sebagai contoh, tingkah laku agresif mungkin akan muncul sebagai kebutuhan untuk membela diri dalam lingkungan yang tinggi akan angka kriminalitas atau sebagai kebutuhan untuk mempertahankan diri pada individu yang berada di daerah konflik sehingga kenakalan pada remaja tersebut mungkin merupakan bentuk adaptasi pada lingkungan yang menyimpang bukan merupakan sebuah gangguan mental.


Tahapan Perkembangan
Secara umum, urutan perkembangan ditemukan bahwa suatu bentuk perilaku bermasalah selalu terjadi sebelum munculnya perilaku lain. Berdasarkan data rekonstruktif, Loeber dkk. (1992) menemukan “invariant sequence” dalam perkembangan: dari hyperativity-inattention menjadi perilaku bertentangan, dan kemudian menjadi perilaku bermasalah. Dengan menggabungkan penelitian Loeber dengan penelitian lain mengenai penyebab dan gejala dari perilaku bermasalah, dapat dikonsepkan sebuah model jejak perkembangan urutan perilaku bermasalah dari sifat yang buruk pada usia dini hingga kepribadian antisosial pada masa dewasa.
Dengan bertumbuh dengan urutan ini, individu dewasa cenderung untuk mempertahankan perilaku antisosial. Hal ini terjadi karena perilaku bersifat menetap dan tidak dapat diubah. Maka, kemajuan perkembangan lebih baik digambarkan sebagai sebuah pertambahan, daripada pengurangan. Akan tetapi, fakta bahwa adanya urutan ini tidak berarti bahwa seluruh individu ditakdirkan untuk melalui tahapan-tahapan ini.





Antisocial personality




Deliquency




Conduct problems




Oppositionality




Hyperativity




Difficult temperament





Infancy
Preschool
School age
Adolescence
Adulthood

Figur 1. Transformasi perkembangan perilaku antisosial dari bayi hingga dewasa.

·       Early childhood: Pathways from ADHD to conduct disorder
Kemunculan gejala ADHD meningkatkan risiko munculnya Conduct Disorder pada masa kanak-kanak, dikaitkan dengan perilaku bermasalah yang lebih parah, dan menghasilkan  ketahanan yang lebih besar untuk berubah. ADHD mendorong individu ke terjadinya perilaku bermasalah sebelumnya, yang dapat memprediksi perilaku berikutnya, dari perilaku antisosial yang berlangsung lama. Anak dengan gejala ADHD diikuti dengan perilaku antisosial seperti agresi dan tidak patuh berisiko untuk menjadi conduct disorder pada kemudian hari.

·       Middle childhood: Pathways from oppositionality to conduct disorder
ODD dikarakteristikan dengan tampilan perilaku kemarahan dan pembangkangan yang tidak sesuai dengan perkembangan usia yang bersifat menetap. Meskipun ODD dan CD memiliki beberapa persamaan bentuk dan faktor risiko, kedua sindrom tersebut memiliki perbedaan satu sama lain. ODD muncul pada tahap perkembangan awal dibandingkan CD, dengan usia rata-rata kemunculan ODD adalah 6 tahun, dan 9 tahun untuk CD. Loeber dkk. (1993) menemukan bahwa secara umum CD hampir selalu didahului dengan ODD. Selain itu, anak-anak dengan gangguan yang parah cenderung untuk mempertahankan perilaku bertentangan sehingga memunculkan gejala CD.

·       Late childhood and adolescence: Divergen pathways
Loeber dkk. (1993) menggunakan data prospektif dari suatu studi longitudinal dari anak yang berisiko tinggi guna menelusuri jalur perkembangan yang dapat memprediksi perilaku bermasalah selanjutnya. Berdasarkan pemikiran mereka mengenai penelitian sebelumnya yang membedakan CD berdasarkan aspek overt/covert dan destructive/nondestructive, mereka berasal dari tipe yang berbeda.
Pertama, jalur authority conflict (konflik otoritas). Karakteristik perilaku dari individu ini berupa perilaku menentang, keras kepala, dan melanggar peraturan seperti kabur dan membolos. Perilaku ini dianggap tidak terlalu berbahaya karena tidak secara langsung menyakiti atau melukai orang lain. Perilaku individu yang meningkat dalam jalur konflik otoritas cenderung untuk mengalami konflik yang berkelanjutan hingga dewasa, tetapi cenderung untuk tidak membentuk bentuk lain dari perilaku agresif dan antisosial, atau tidak menjadi individu nakal.
Kedua, jalur covert. Individu menunjukkan perilaku minor dan bukan kekerasan, misalnya mencuri, mengemudi dengan ugal-ugalan, dan vandalisme. Peningkatan pada jalur ini meliputi berkembangnya bentuk kriminal properti dan pencurian yang lebih serius pada masa remaja, tetapi jarang dikaitkan dengan kekerasan atau bentuk perilaku antisosial yang parah.
Ketiga, jalur overt. Meliputi individu yang menunjukkan perilaku agresi pada masa kanak-kanak awal. Peningkatan pada jalur ini dikaitkan dengan berkembangnya perilaku agresi yang lebih serius, dari berantem hingga bentuk penyerangan dan kekerasan melawan orang lain. Jalur overt dikaitkan dengan tingkat pelanggaran kriminal yang tinggi pada remaja. Individu seringkali memasukkan unsur covert dalam perilakunya. Jalur dual overt/covert cenderung menjadi individu yang nakal; akan tetapi, hal terburuk dapat dilihat pada individu yang menunjukkan kombinasi agresi overt dan covert, serta konflik otoritas, atau disebut sebagai triple pathway.

·       Late adolescence: Pathways to antisocial personality and criminality
Terdapat dua kesimpulan yang didapat dari penelitian bekaitan tentang CD dengan antisocial personality disorder (gangguan kepribadian antisosial) pada individu dewasa dan tindakan kriminal. Pertama, looking backward, individu dewasa yang antisosial hampir tanpa kecuali memenuhi kriteria CD pada tahap awal perkembangan mereka. Selain itu, kriteria diagnosis gangguan kepribadian antisosial menjadi perilaku yang bermasalah sebelum usia 15 tahun, maka ini sesuai dengan kriteria diagnostik. Kedua, looking forward, hanya sedikit individu dengan gangguan perilaku yang berkembang menjadi kronis dan mematikan pola karakteristik pada diagnosis dewasa.
Usia kemunculan merupakan salah satu prediktor yang paling signifikan mengenai seberapa serius perilaku antisosial. Anak dengan kemunculan dini memiliki tingkat yang tinggi dari perilaku yang mengganggu dan meningkat secara berkala hingga menjadi permasalahan serius. Berdasarkan data longitudinal dari Oregon Youth Study, diketahui bahwa perilaku antisosial dewasa ditandai dengan permasalahan remaja, tidak hanya dengan teman-teman yang bermasalah, tetapi juga dengan saudara kandung antisosial dan pasangan kekasih.

Etiologi
The Biological Context
Diperkirakan terdapat kemungkinan faktor perkembangan syaraf yang belum ditemukan yang mendasari munculnya CD. Temperamen dapat merefleksikan faktor biologis yang mendasari CD. Misalnya, Moffit dan Lynam (1994) mengemukakan bahwa yang mendasari perkembangan gangguan perilaku adalah disfungsi neuropsikologis yang dikaitkan dengan difficult temperament, yang mempengaruhi impulsifitas, iritabilitas, dan overaktivitas pada individu. Sesuai dengan hal ini, Newman dkk. (1997) menemukan bahwa anak yang menunjukkan tipe temperamen yang keras pada usia 3 tahun cenderung untuk mengalami sikap antisosial pada usia dewasa. Akan tetapi, berdasarkan penelitian longitudinal menunjukkan bahwa antara agresi dan temperamen yang keras tidak memiliki hubungan langsung, akan tetapi dimediasi oleh faktor keluarga.
Genetik juga dapat dipertimbangkan. Salah satu prediktor terbaik dari perilaku bermasalah pada anak adalah kriminalitas atau perilaku antisosial orangtua, terutama penelitian menekankan pada ayah dan anak laki-laki. Hal ini dapat terjadi karena faktor genetik; akan tetapi, penjelasan sosial tidak dapat diabaikan. Ge dan koleganya mengumpulkan data dari orangtua biologis dan orangtua adopsi dari remaja yang diadopsi sejak lahir. Perilaku antisosial dari orangtua biologis berkaitan secara signifikan terhadap sifat agresif pada anak yang diadopsi. Akan tetapi, pola asuh orangtua adopsi juga dapat mempengaruhi perilaku agresi pada anak.
Toksin juga memiliki dampak terhadap perkembangan dari gangguan perilaku. Janin yang terkena opiat di dalam kandungan berisiko tinggi mengalami perilaku agresif pada 10 tahun yang akan datang. Demikian pula yang terkena alkohol, mariyuana, rokok, dan keracunan timbal.
Indikator psikofisiologis juga menentukan kemunculan awal individu terpisah dari individu lain. Secara umum anak menunjukkan kerja sistem syaraf otonom yang rendah, ditunjukkan melalui detak jantung dan respon kulit galvanik yang rendah. Individu dengan detak jantung rendah cenderung untuk berkelahi dan mengganggu orang lain di sekolah dan cenderung untuk menjadi kekerasan individu dewasa. Kerja sistem syaraf otonom yang rendah menyebabkan pencarian stimulasi dan perilaku terkontrol, dan mengurangi reaktivitas untuk menyakiti orang lain.

The Individual Context
Seperti yang telah diketahui, terdapat perbedaan yang tipis antara perilaku normal dan psikopatologi, dan penyimpangan pada proses perkembangan dasar yang mendasari sejumlah gangguan. Bahkan, agresi merupakan bagian dari perkembangan yang normal, dan tidak ada alasan untuk menganggap  bahwa “pemberang” atau “tukang berkelahi” sebagai CD apabila aspek lain dari kepribadiannya berlangsung cepat. Oleh karena itu, untuk lebih memahami perkembangan anak yang dapat diberikan label “conduct disordered,” perlu diketahui beberapa variabel perkembangan utama yang mendasari perilaku bermasalah.

Regulasi diri
Regulasi diri penting bagi fungsi normatif, dan harapan sosial bahwa anak mampu mengontrol impulsi-impulsi mereka seiring dengan bertambahnya usia. Tidak perlu terkejut apabila menemukan seorang anak berusia 4 tahun yang mengalami temper tantrum di atas lantai dari suatu toko bahan makanan ketika tidak dibelikan permen, perilaku tersebut pada saat anak berusia 14 tahun hanya akan mengernyitkan alis. Sosialisasi pengendalian diri pada usia dini sangat penting karena balita dan anak prasekolah memiliki keinginan yang kuat untuk pemuasan kebutuhan dengan segera dari dorongan keingintahuan, agresi, dan seksual; dan mereka cenderung untuk bersifat egosentrisme. Akan tetapi, penelitian objektif menyetujui bahwa anak dengan conduct disordered membuktikan kemampuan yang terbatas untuk menunda dorongan atau impuls dan mentoleril frustrasi.
Kochanska dan koleganya (2001) melakukaan penelitian yang bertujuan untuk menemukan akar dari pengendalian diri pada anak-anak, yang dilihat sebagai perkembangan dari internalisasi nilai-nilai orangtua. Selanjutnya, penelitian Kochanska menunjukkan tipe pola asuh spesifik yang optimal untuk meningkatkan pengendalian diri pada anak dengan temperamen yang berbeda-beda. Berdasarkan data longitudinal, Kochanska menemukan bahwa bagi anak yang mengalami ketakutan pada masa kanak-kanak, pendisiplinan ibu dengan cara halus merupakan cara yang paling efektif. Sedangkan, bagi anak yang tidak mengalami ketakutan, cara kelemahlembutan tidak akan efektif. Bahkan, ibu perlu untuk meningkatkan ikatan emosi dengan anak guna membantu perkembangan motivasi untuk menerima dan menginternalisasi nilai-nilai orangtua. Oleh karena itu, pengembangan regulasi diri pada anak dengan temperamen sulit, yang berisiko terhadap CD, memerlukan pola asuh yang intens dan melibatkan emosional.

Regulasi emosi
Regulasi emosi merupakan aspek khusus dari kontrol diri yang berdampak terhadap perkembangan CD. Anak secara kronis mengalami kesukaran keluarga, pola asuh yang kurang, dan tingkat konflik yang tinggi diperparah dengan emosi yang kuat dan menerima sedikit bantuan dalam mengaturnya dari tekanan dan orangtua yang kurang berpengalaman. Oleh karena itu, individu cenderung berisiko gagal untuk membangun strategi coping yang adekuat terhadap emosi negatif dan mengatur ekspresi diri. Sesuai dengan pemikiran ini, penelitian menunjukkan bahwa anak dengan conduct-disordered mengalami kesulitan mengendalikan pengaruh yang kuat, khususnya kemarahan, dan anak tersebut dengan kemampuan mengendalikan emosi yang rendah cenderung untuk berespon secara agresif dalam permasalahan interpersonal.

Perkembangan prososial: Perspective-taking, perkembangan moral, and empati
Piaget mengobservasi bahwa salah satu perkembangan yang sangat penting dalam masa transisi menuju middle childhood adalah decentering: yaitu berpindah dari egosentrisme kognitif (di mana dunia dilihat terutama dari sudut pandang anak) menjadi perspektif kognitif (di mana situasi dapat dilihat dari beberapa sudut pandang individu-individu yang terlibat dan keinginan dan perasaan termasuk di dalamnya). Perspective taking, kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, merupakan hal yang fundamental bagi perkembangan moral reasoning dan empati, di mana keduanya dapat melawan kecenderungan untuk berperilaku secara agresif dan antisosial.
Penelitian membuktikan fakta bahwa individu agresif dan conduct diordered mengalami keterlambatan dalam hal perkembangan kognitif dan afektif. Sedangkan pada kenakalan remaja mengalami ketidakmatangan kognitif dalam perkembangan moral. Selain itu, individu dengan conduct disordered kurang memiliki empati, serta kurang peka terhadap perasaan orang lain apabila dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami gangguan. Happe dan Frith (1996) mengemukakan bahwa individu dengan conduct disordered memiliki insight sosial dan pemahaman mengenai keadaan mental orang lain yang rendah. Oleh sebab itu, individu dengan conduct disordered cenderung memiliki persepsi yang salah mengenai motif orang lain dan menunjukkan kelainan dalam pola pikir mengenai situasi sosial, yang kemudian dapat meningkatkan kecenderungan untuk bersikap secara agresif.

Kesadaran sosial
Eron dan Huesmann (1990), tertarik dengan pernyataan mengenai stabilitas agresi lintas waktu dan generasi: “Dampak yang berbahaya dari perilaku keras kepala yang konsisten adalah bahwa agresi bukanlah suatu situasi spesifik atau yang menentukan yang hanya terjadi secara kebetulan. Individu membawa sesuatu dari dalam yang dapat menyebabkan individu untuk bertindak secara agresif maupun nonagresif”. Mereka menyimpulkan bahwa hal yang mendasari agresi adalah cognitive schemata: naskah untuk menginterpretasi dan berespons terhadap kejadian yang berasal dari pengalaman masa lalu dan digunakan sebagai petunjuk pada perilaku yang akan muncul.
Selman dan Schultz (1988) mengemukakan model proses perkembangan kognitif yang mendasari kemampuan untuk mengatasi permasalahan interpersonal tanpa menggunakan kekerasan. Sesuai dengan tahapan perkembangan moral Kohlberg, perkembangan interpersonal negotiation strategies (INS) memproses pemahaman dan kompleksitas kognitis dari tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi.
Bukti hasil penelitian menunjukkan bahwa kurangnya strategi penyelesaian masalah interpersonal, anak dengan CD memiliki gaya pemrosesan informasi sosial yang berbeda. Misalnya, anak yang agresif mensalahartikan intensi agresi terhadap orang lain apabila berada dalam situasi yang ambigu, dinamakan hostile attribution bias. Individu seperti ini mampu menghasilkan sedikit alternatif untuk mengatasi permasalahan interpersonal, dan mereka memiliki harapan positif yang dihasilkan dari perilaku agresi. Oleh karenanya, agresi merupakan pilihan yang disukai.
Pola pemrosesan informasi sosial ini juga dapat dilihat untuk mengetahui hubungan antara pengalaman masa kanak-kanak yang mengalami kesalahan dalam pola asuh dan perilaku agresi pada anak. Pola asuh orangtua yang kasar dan keras menyebabkan anak menanamkan pemikiran generalisasi bahwa orang lain menunjukkan perilaku bermusuhan dan memiliki niat jahat terhadap orang lain. Oleh karena itu, anak menginternalisasi pengalaman kesalahan pola asuh orangtua secara mendalam ke dalam kepribadian dan perilaku mereka, memiliki pemikiran rasional yang memasikan konsistensi perilaku mereka.

Substance abuse
Terlibat dalam penyalahgunaan obat-obatan dapat menyebabkan munculnya perilaku kriminal yang berbahaya. Misalnya, the National Center on Addiction and Substance Abuse (2004) melaporkan bahwa 4 dari setiap 5 orang yang menjalani sistem peradilan remaja memiliki riwayat utama pengguna obat-obatan atau sedang berada di bawah pengaruh obat-obatan atau alkohol ketika melakukan tindak kriminal. Apabila individu berkaitan dengan obat-obatan, mereka cenderung untuk melakukan aktivitas ilegal untuk mendapatkan obat-obatan dan untuk menjadi bagian dari lingkungan antisosial di antara para pengguna.

The Family Context
Attachment
     Pola interkasi yang tidak nyaman antara orang tua dengan anak pada masa bayi dapat dikaitkan dengan prespektif perilaku anak prasekolah seperti keramahtamahan, permusuhan, dan menantang. Namun, hubungan pola interaksi tidak aman ini dapat digunakan untuk memprediksi agresi anak perempuan di sekolah, akan tetapi tidak dapat memprediksi agresi anak laki-laki. Prediksi ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor lain yang terkait dengan pola asuh seperti interaksi di lingkungan keluarga dan tekanan dari lingkungan.

Family Discord
     Secara khusus, anak-anak yang mengalami kekerasan di dalam keluarga, mungkin akan diprediksi mengalami banyak masalah pula pada perilakunya. Anak-anak yang mengalami kekerasan di dalam keluarga juga memulai jenjang karier pada usia lebih dini dan kebanyakan menjadi pelaku kriminal yang lebih serius. Selanjutnya, anak-anak sering menjadi sasaran agresi dari orang tua mereka dan anak-anak dengan CD (Conduct Disorder) lebih cenderung menjadii korban di dalam kejadian penganiayaan.
     CD juga berhubungan dengan bentuk konflik tanpa kekerasan antar orang tua dan perceraian. Anak laki-laki yang tumbuh di sebuah keluarga dengan orang tua tunggal sangat berisiko mengalami CD. Hal ini karena dipengaruhi oleh pendapatan keluarga (taraf hidup keluarga), tetangga (pola interaksi dengan lingkungan di luar rumah), dan juga perilaku agresif anak sendiri perlu diperhitungkan. Anak laki-laki tanpa figur seorang ayah di dalam keluarganya akan lebih cenderung tumbuh sebagai individu dengan agresifitas tinggi dibandingkan dari anak laki-laki dengan orang tua lengkap. Namun, hal ini tidak selamanya berasal dari keluarga yang tidak lengkap saja (broken home). Akan tetapi yang terpenting dari hal ini adalah adanya gangguan dalam kualitas hubungan emosional antara anggota keluargalah yang menjadi penyebab dari masalah perilaku anak.
     Stres keluarga juga dan meningkatkan kemungkinan munculnya CD. Anak-anak yang mengalami masalah perilaku lebih cenderung berasal dari keluarga yang mengalami peristiwa kehidupan keluarga yang lebih negatif. Kehidupan keluarga yang tidak kondusif tersebut seperti memiliki kesibukannya masing-masing setiap hari, pengangguran, mengalami kesulitan di dalam hal keuangan dan masih banyak hal lainnya. Selain itu, anggota keluarga dari anak-anak yang mengalami gangguan biasanya memiliki sumber dukungan sosial yamg kurang dan cenderung untuk terlibat dalam konflik kronis dengan orang lain di dalam masyarakat. Bagaimanapun, stres di dalam keluarga tidak menjadi penyebab langsung perilaku antisosial, melainkan bahwa perlaku ini muncul akibat adanya sumber penguat lain dari permasalahan pola interaksi antara orang tua dan anak.

Parent Psychopathology
     Tindak kekerasan dalam bentuk penganiayaan oleh orang tua, terutama oleh ayah, dapat menjadi tolak ukur anak mengalami CD pada masa kecil. Pengalaman seorang ibu yang mengalami depresi juga dapat mempengaruhi masalah perilaku anak dan berpengaruh pada ketidakmampuan seorang anak dalam menyesuaikan diri.
     Prediktor hubungan orang tua yang paling akurat dari anak-anak yang mengalami CD adalah adanya faktor orang tua yang mengalami gangguan kepribadian antisosial yang dapat berakibat meningkatkan kejadian perilaku CD pada seorang anak. Penelitan pertama mengungkapkan bahwa gangguan kepribadian antisosial pada orang tua berkorelasi dengan CD dan dikombinasikan dengan kecerdasan verbal pada anak yang memprediksi kelanjutan masalah perkembangan anak untuk ke depannya.

Harsh Parenting and The Intergenerational Transmission of Aggression
     Terdapat bukti yang kuat terhadap pewarisan agresi antar generasi.  Agresi tidak hanya stabil dalam satu generasi tetapi di seluruh generasi juga. Oleh karena itu, agresi dapat diwariskan dari generasi sebelumnya. Asosiasi yang kuat dapat dilihat antara kakek-nenek, orang tua, dan agresifitas pada anak.
     Sementara mekanisme yang berhubungan dengan tindakan kelangsungan perilaku ini tidak jelas. Eron dan Huesmann percaya bahwa agresi tersebut dipelajari melalui modeling. Dicatat sebelumnya, anak-anak yang memiliki orang tua antisosial yang berperilaku agresif, biasanya orang tua akan melakukan kekerasan dan penganiayaan terhadap anak.
     Hasil koresponden memperoleh mengenai hubungan anatara spanking dan agresi pada anak. Dari sample yang diambil pada 800 anak dengan umur 6 sampai 9 tahun  menemukan bahwa spanking (memukul pantat) berasosiasi dengan meningkatnya perilaku agresi dan perilaku antisosial. Penelitian yang sama menemukan pada bagian populasi klinis, ada hubungan antara hukuman secara fisik dengan perkembangan gangguan pada seorang anak. Perkembangan berikutnya, anak yang diberikan hukuman fisik akan meningkatkan resiko anak laki-laki untuk tumbuh menjadi seorang suami yang akan memukul istrinya.

Parenting Inconsistency and Lack of Monitoring
     Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa adanya pola pengajaran orang tua yang kurang disiplin, pola asuh dan pengajaran orang tua yang kurang konsisten, serta kelonggaran pengawasan terhadap perilaku anak dapat dikaitkan dengan munculnya tindakan antisosial kepada seorang anak.
     Kompromi dapat dibuktikan dengan pengawasan orangtua seperti memberikan pengawasan untuk mengetetahui tentang kegiatan anak-anak dan keberadaannya, serta untuk menegakkan aturan tentang dimana anak-anak dapat pergi dan dengan siapa mereka dapat pergi bersama.

Coercion Theory
     Patterson dan rekan-rekannya telah melakukan sebuah program penelitian yang penting tentang asal-usul gangguan perilaku dalam keluarga. Berdasarkan teori belajar sosial, mereka berusaha untuk menyelidiki faktor-faktor yang mungkin timbul dan membentuk perilaku antisosial pada anak-anak. Orangtua dari anak-anak antisosial mempunyai kemungkinan lebih besar untuk secara langsung memperkuat perilaku agresifnya.
     Kontribusi Patterson yang paling penting adalah cara untuk menganalisis interaksi antisosial anak-anak dengan orang tua mereka dalam proses pemaksaan keinginan yang dilakukan di dalam keluarga. Menurut Patterson, dengan adanya pemaksaan maka perilaku negatif pada seseorang individu itu timbul dan diperkuat oleh orang lain yang dipelajari dari interaksi timbal balik satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi perilaku lain. Misalnya, Patterson mencatat bahwa ketika anak dihukum oleh orang tuanya, anak CD dengan kemungkinan dua kali lebih besar melakukan perilaku negarif dari anak normal lainnya. Hal ini karena pada keluarga mereka cenderung berbicara terlalu keras untuk berinteraksi melalui penggunaan negative reinforcement. Seperti punishment, ketika ada stimulus yang tidak menyenangkan diberikan untuk mengurangi perilaku, negative reinforcement akan meningkatkan kemungkinan perilaku dengan memindahkan stimulus tidak menyenangkan sebagai reward

Transaction Processes
    Signifikan aspek lainnya dari observasi Patterson adalah keterlibatan proses transaksional antara orang tua dan anak akan sangat mempengaruhi dan membentuk perilaku satu dengan yang lainnya. Misalnya, Campbell melakukan obsrevasi hubungan antara stress di dalam pengasuhan dengan perilaku agresive pada anak-anak TK dan gagal memenuhi sesuatu. Campbell menduga bahwa stress seorang ibu akan mengakibatkan ia menjadi lebih membatasi dan negatif ketika mencoba untuk mengatasi keinginan hatinya, tidak akan mengalah dengan anak. Hal ini membuat anak menjadi lebih sulit untuk dirawat.
     Dumas, LaFreniere dan Serketich mempelajari interaksi antara ibu dengan anak-anak mereka, yang mencakup kemampuan sosial, rasa cemas, dan perilaku agresif. Anehnya, mereka menemukan bahwa, secara keseluruhan, anak-anak yang agresif memiliki hubungan emosi yang baik dengan ibu mereka dan cenderung normal. Namun, dibandingkan dengan penelitian lain, anak-anak agresif lebih mungkin untuk menggunakan teknik kontrol permusuhan. Sedangkan ibu mereka lebih mungkin untuk merespon tanpa pandang bulu dan gagal untuk menetapkan batasan untuk anak-anak mereka dalam pembagian bentuk ekstrem dari perilaku pemaksaan.
     Lyton, membuat hipotesis bahwa masalah di dalam pengasuhan akan mempengaruhi perilaku anak. Investigator mengobservasi seorang ibu yang memiliki anak laki laki CD dan anak laki-laki tidak CD (dapat dikendalikan) berinteraksi dengan keuda anak-anak tersebut. Hipotesisnya, semua ibu akan lebih bersikap negative dan membatasi dengan anak laki-lakinya yang memiliki perilaku CD. Tetapi ketika berinteraksi dengan anak normal (tidak CD), ibu dari anak CD akan berperilaku sama seperti para ibu lainnya. Hal yang terpenting dari hal ini adalah untuk membuktikan indikasi seorang anak memiliki perilaku agresif, sulit untuk diatur, dan tidak merespon suatu reward dan hukuman, dalam rangka membuktikannya hendaknya tidak meremehkan kontribusi anak-anak untuk berperilaku aversive berhubungan dengan relasi antara orang tua dan anak.
     Secara umum, saat kontribusi anak hadir untuk berani memberikan pendapat, hal ini merupakan suatu penengah yang baik untuk orang tua yang mempunyai kebiasaan untuk menyalahkan. Melalui hubungan orang tua dengan anak yang memiliki proses interaksi akan lebih mungkin untuk memberikan penjelasan yang akurat tentang mengapa anak berperilaku seperti ini atau sebaliknya mengapa orang tua berperilaku seperti itu.

A Developmental Perspective on Parenting and Conduct Disorder
     Pada bagian ini kita mempelajari bagaimana berbagai kualitas pola pengasuhan terhadap anak dapat berkontribusi pada jalur perkembangan anak. Pada hal ini  berawal dari mulai mengalami gangguan dan perkembangan yang menjadi masalah bagaimana mereka dapat menjadi penyebab gangguan emosional yang dialami oleh anak, dari saat mereka ikut bermain selama masa kanak-kanak.
     Berfokus pada pola asuh orang tua selama tahap pertama, dari usia 2 tahun, faktor yang paling penting adalah respon orangtua terhadap anak. Melalui pengasuhan yang tidak konsisten dan kurangnya pengawasan dari orang tua, seperti orangtua yang jarang memperhatikan anaknya akan dapat mempengaruhi perkembangannya. Anak menjadi mudah marah, impulsif, dan anak menganggap orang tua tidak mendukung serta tidak bersedia untuk membantu mereka dalam mengelola emosi mereka. Hal inilah yang menjadi latar belakang untuk anak yang berusia 2 tahun dapat bersikap dan bertindak.
     Pada saat anak berusia 3 tahun, pola hubungan antara orang tua dan anak lebih kepada adanya desakan orang tua sesuai pada harapannya. Hal ini lebih untuk membentuk suatu pencapaian tujuan hubungan yang didasarkan pada saling bernegosiasi dan berkompromi. Pada fase ketiga yaitu pada usia 4 sampai 5 tahun, hal yang terpenting adalah ketidakonsistenan orang tua di dalam disiplin. Pada hal ini, sebagai anak yang memiliki perilaku negatif akan membawanya sampai ke hubungan pergaulan dan perilaku di sekolah, masalah perilaku akan meningkat dan akan menjadi lebih serius, sehingga menuntut orang tua untuk lebih bersikap tegas dan konsisten. Bagaimanapun, orang tua dengan anak CD, kemungkinan besar akan terombang-ambing antara mengabaikan perilaku yang buruk atau selalu mengancam atau memanfaatkan hukuman yang keras.
     Secara lebih ringkas, menurut Shaw dan Bell, pola asuh kedekatan orang tua yang kurang pada masa balita dapat menjadi latar belakang perkembangan hubungan yang tidak harmonis antara orang tua dan anak. Melalui ketidakharmonisan hubungan tersebut dapat mengakibatkan meningkatnya kekerasan oleh anak, adanya konflik, dan adanya ketidakharmonisan emosional antara anak dengan lingkungan sosialnya.
     Pada penelitian selanjutnya, Shall dan Bell menemukan bahwa penolakan dari ibu saat anak berusia 2 tahun akan berkorelasi dengan adanya problem pada saat anak berusia 4 tahun. Anak yang gagal membina hubungan di dalam suatu pengasuhan akan menghasilkan prediksi terkuat munculnya perilaku CD. Depresi ibu, support sosial yang rendah, dan penolakan orang tua di dalam cara berinteraksi, akan meningkatkan perilaku yang buruk, pengasuhan yang buruk, dan memunculkan konflik antara orang tua dan anak.

Specificity of Parenting Effects
     Kim dan koleganya melakukan sebuah studi langka yang membahas pertanyaan khusus tentang bagaimana orang tua secara berbeda melakukan kontribusi terhadap perkembangan gangguan perilaku anak, depresi, atau kombinasi dari keduanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dengan kedua CD dan kombinasi dari CD atau depresi kronis, menerima pemberian kasih sayang yang kurang dan hal inilah yang menyebabkan anak menderita depresi semakin parah. Pada akhirnya, anak-anak ketika menghadapi permasalahan, menunjukkan hasil bahwa mereka memiliki tingkat permusuhan dengan orang tua lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat depresi mereka. Namun, uniknya adalah hal ini hanya pada anak-anak dalam kelompok CD saja. Berbeda dengan mereka yang depresi, yang menjadi faktor yang menunjukkan tingkat tinggi dan rendahnya depresi mereka adalah kasih sayang dan pola asuh dari orang tua.

The Social Context
     Anak-anak dengan CD mudah diidentifikasi oleh teman-teman sepermainannya. Mereka akan berdebat, mudah marah, benci, dan sengaja membuat orang lain merasa jengkel. Pada awal masa prasekolah, agresi anak biasanya dikaitkan dengan penolakan dari teman sepermainannya, yang selanjutkan akan mempengaruhi perilaku agresif. Anak-anak yang berperilaku agresif juga mendapatkan anggapan negatif dari teman sepermainannya yang akan terus mengikuti mereka bahkan ketika perilaku agresif mereka muncul. Oleh karena itu, interaksi antara anak yang mengalami gangguan dan teman sepermainannya dapat berkontribusi pada agresi lebih lanjut dan masalah perilaku lainnya yang timbul.
     Penelitian menunjukkan bahwa perilaku anak-anak yang mengganggu didorong karena mereka ingin mendapatkan reputasi di antara teman-teman dan guru. Biasanya mereka akan memberhentikan atau dengan sengaja menabrak anak anak lain di tempat bermain. Anak dengan reputasi sebagai pengganggu lebih cenderung dianggap bahwa sebenarnya tujuan anak bertindak agresif seperti demikian tersebut terjadi karena anak ingin menerima teguran dengan cara seperti itu. Akibatnya, anak memiliki label sebagai pengganggu sehingga lebih cenderung melihat dirinya sendiri seperti itu dan berperilaku sesuai dengan anggapan tersebut. Secara ringkas, adanya anggapan dari orang lain mempengaruhi perilaku anak sehingga ia semakin mengeluarkan perilaku yang mengganggu.
     Pada anak-anak usia tengah, ketika anak-anak agresif ditolak di lingkungan prososial pada anak-anak seusianya, mereka mungkin akan lebih diterima di lingkungan pergaulan antisosial yang dapat tahan dan mampu menghadapi problem perilaku mereka. Para kaum muda dengan sikap antisosial menghabiskan lebih banyak waktunya di dalam lingkungan pergaulan tanpa adanya pengawasan dari orang dewasa, berkumpul di jalanan, dan melibatkan diri di dalam perilaku yang penuh dengan resiko.
     Secara keseluruhan, penelitian tentang pengaruh teman sepermainan menunjukkan bahwa mereka adalah faktor penyebab individu bersifat dan berperilaku mengganggu, namun bukan menjadi hal yang paling menentukan. Sementara agresi mula-mula yang timbul dapat menyebabkan anak harus mendapat respon dari rekan prososial, hubungan positif dengan teman-teman yang mengalami antisosial mungkin mengakibatkan seseorang akan bersifat dan berkelakuan untuk bersikap. Ini pada akhirnya dapat menjadi tolak ukur yang sangat penting untuk memahami anak remaja yang mengalami CD. Bahkan, hubungan dengan rekan-rekan antisosial memiliki efek langsung pada kenakalan remaja hanya dalam tipe penyendiri, sementara sosialisasi orang tua merupakan faktor penyebab yang lebih signifikan dalam bentuk anak mengalami gangguan tersebut.


The Cultural Context
The Neighborhood
     Anak-anak yang tumbuh dan besar di lingkungan masyarakat dengan latar belakang kemiskinan dan kekerasan lebih mungkin untuk mengembangkan perilaku antisosial dan CD. Dampak dari lingkungan tersebut dapat jelas terlihat dari tingkat kekerasan di lingkungan masyarakat yang meningkat dengan signifikan.  Di lingkungan menunjukkan bahwa anak-anaklah yang paling mungkin terkena dan menjadi model perilaku antisosial dan agresi. Lebih jelasnya budaya genk dari pusat kota menawarkan beberapa alternatif kepada kaum muda, yang mungkin merasa mereka harus bergabung untuk dapat bertahan hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orangtua yang baik mampu menjadi penyokong bagi sebagian anak-anak dari efek pertemanan dan bersosialisasi yang salah dalam lingkungan masyarakat. Namun, ketika orangtua miskin, pemuda lebih cenderung masuk kedalam komunitas genk dan terlibat secara aktif, yang pada akhirnya dapat menyebabkan peningkatan kekerasan selama masa remaja. Genk, dapat menjadi tempat untuk "deviancy traning," yang terlepas dari pengaruh lainnya, sehingga upaya pencegahan untuk pemuda yang tinggal dalam sebuah kota untuk tergabung dalam sebuah genk harus berasal dari dalam diri dan keinginan remaja dari semula.

Ethnicity
     Kesenjangan sosial ekonomi harus diperhitungkan ketika menafsirkan data tentang gaya hidup yang relatif lebih tinggi dapat mempengaruhi gangguan perilaku antara African American dengan pemuda Eropa. Namun, sementara kelas sosial telah ditemukan untuk memperhitungkan perbedaan etnis di lingkungan sosial dan timbul dari perilaku antisosial dalam banyak studi, ada beberapa efek rasial yang bertahan. Alih-alih menggungkapkan proses kognitive error, dimaksudkan penalaran yang salah tersebut dapat mencerminkan pengalaman bagaimana remaja tumbuh di lingkungan yang memiliki dan mengalami ras bermusuhan yang tinggi, mungkin mencerminkan cara bahwa anak-anak minoritas diperlakukan oleh teman seumurannya.

School Environment
     Sekolah adalah aspek lain dari lingkungan sosial yang dapat berkontribusi terhadap perilaku antisosial. Anak-anak dengan cepat menentukan apakah mereka dianggap dan dikenali oleh guru sebagai anak yang berprestasi tinggi atau rendah. Kemdian, mereka mengembangkan sikap terhadap sekolah sesuai dengan sikap mereka percaya bahwa guru mereka akan memperhatikan dan mengenali mereka. Selanjutnya, ketika mereka mendekati usia remaja, pemuda yang merasa dikucilkan di sekolah mengembangkan sikap yang semakin negatif terhadap pendidikan dan harapan yang rendah untuk diri mereka sendiri, sehingga mereka berusaha untuk meninggalkan sekolah lebih awal. Dengan demikian hal ini membatasi kesempatan yang dimiliki oleh mereka untuk mencoba prososial guna mencapai sebuah kesuksesan. Perilaku antisosial menjadi pilihan yang mungkin diambil dan dilakukan.

Media Influences
     Kekerasan telah menjadi unggulan acara televisi di Amerika dan film. Selanjutnya, kekerasan dilakukan oleh pahlawan untuk melawan penjahat dan akibatnya dapat menimbulkan konsekuensi negatif. Anak-anak cenderung untuk memilih menonton acara atau program televisi kekerasan yang lebih agresif daripada teman-teman mereka, dan studi laboratorium juga menunjukkan bahwa peningkatan tampilan bahan agresif mengarah ke peningkatan berikutnya dalam perilaku agresif. Efek ini dapat di identifikasi dari pola perilaku anak yang cenderung untuk meniru adengan karakter di televisi dan keyakinan mereka bahwa kekerasan televisi fiksi mencerminkan realitas. Hal ini barlaku secara universal di seluruh jenis kelamin, kelas sosial, dan kemampuan intelektual serta tidak terpengaruh oleh agresi orang tua, kebiasaan menonton televisi, atau sikap.


Sex Role Socialization
     Ulasan lebih lanjut menunjukkan pengaruh budaya tertentu juga dapat mempengaruhi tingkat agresi anak, khususnya mengenai peranan sosialisasi maskulin dalam pengembangan agresi laki-laki. Sebagai contoh, Cohen dan koleganya mendeskripsikan maskulin di Amerika Selatan seperti “kebudayaan terhormat” atau menjunjung tinggi kemaskulinan dimana mewajibkan laki-laki untuk menggunakan kekuatan fisik di dalam bertahan melawan rasa penghinaan pada dirinya atau martabat keluarganya. Para peneliti menunjukkan hal ini secara empiris dengan menginstruksikan asisten penelitian untuk sengaja bertemu mahasiswa laki-laki dan kemudian membuat sebuah pernyataan yang bertentangan dengan norma kesusilaan dan meminta mereka untuk memberikan respon terhadap kebiasaan mereka ketika sedang berinteraksi dengan teman-temannya. Para peneliti menafsirkan respons ini sebagai hasil dari pembelajaran sosial, sehingga pengaruh budaya mereka menyebabkan orang yang tinggal di daerah selatan mengalami masalah interpersonal cenderung untuk menghormati maskulin yang biasanya harus dipertahankan melalui agresi fisik.


Intervention
     Pengaruh CD dari masa kanak-kanak sampai dewasa menunjukkan bahwa ini adalah psikopatologi yang telah menjadi bagian dalam pembangunan awal dan merupakan konsekuensi tahap perkembangan sebelumnya. Dengan demikian muncul adanya kebutuhan untuk pencegahan dan pengobatan. Namun sumber utama dari CD adalah ketidakmampuan kognitif dan efektifitas dalam psikopatologi anak dan perpecahan dalam keluarga, dorongan dari teman sepermainan membentuk gangguan serupa didalam masyarakat pada umumnya.

·       Behavioral Approach: Parent Management Training
     PMT (Parent Management Training) adalah salah satu program pembenaran atau pelatihan untuk memperbaiki perilaku yang paling sukses dan yang paling direkomendasikan. PMT berfokus pada mengubah interaksi antara orang tua dan anak sehingga menampilkan perilaku prososial dengan memperkuat perilaku disiplin pada suatu penguatan. Sesuai namanya, ini dicapai dengan melatih orang tua untuk berinteraksi lebih efektif dengan anak, berdasarkan prinsip-prinsip teori belajar sosial. Induk belajar untuk menerapkan sejumlah teknik modifikasi perilaku, termasuk penggunaan penguatan positif untuk perilaku prososial dan penggunaan hukuman ringan seperti penggunaan kursi "time-out".

·       Cognitive-Behavioral Intervention: Anger Coping Program
     Kajian empiris pada psikopatologi perkembangan mengenai agresi, dengan merancang sejumlah kelompok untuk menangani masalah-masalah inti seperti manajemen kemarahan atau emosi. Kemudian berusaha melatih untuk dapat melihat dari sudut pandang masalah dengan cara yang berbeda, memecahkan masalah sosial, kesadaran emosi, latihan relaksasi, keterampilan sosial, berusaha mengimbangi diri ketika mendapat tekanan dari teman sepermainan dan pengoptimalan diri. Tindak lanjut studi menunjukkan bahwa intervensi ini efektif dalam mengurangi agresi dan perilaku mengganggu di kedua rumah dan sekolah serta meningkatkan perilaku yang tepat  dan menghasilkan kompetensi diri.

·       Systematic Family Treatment
     Pendekatan sistematis telah ditampilkan dalam sejumlah intervensi yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan spesifik dari populasi pada suku dan budaya yang berbeda. Dalam rangka untuk mengatasi perasaan terasing dan untuk memfungsikan peran orang tua, intervensi utama diimplementasikan dalam kelompok kecil multiparent pendukung dengan orang tua memberikan dukungan didalam jaringan tersebut. Dalam bekerja dengan keluarga sebagai suatu sistem, dokter atau psikolog berusaha untuk mengurangi konflik, meningkat keharmonisan di dalam rumah, dan memperbaiki struktur serta kehangatan dalam hubungan antara orang tua dengan anak. Orang tua didorong untuk menjadi lebih aktif terlibat di dalam urusan sekolah dari usia anak yang masih dini, gunanya untuk memantau kegiatan anak dengan teman sepermainannya, dan diharapkan orang tua dapat menjadi model keterampilan prososial bagi anak-anak mereka.

·       Multisystemic Therapy
     MST (Multisystemic Therapy) diakui sebagai intervensi yang paling baik dalam mengurangi dan memulihkan anak dari gangguan serta telah menghasilkan tingkat keberhasilan yang mengesankan dengan beberapa anak muda antisosial yang mengalami gangguan antisosial yang serius. Walaupun berfokus pada sistem keluarga dan mendasarkan pada teori sistem keluarga, namun treatment ini bersifat individual dan fleksibel yang menawarkan variasi dari intervensi bergantung pada kebutuhan pada anak muda tertentu. Fokus utama di dalam treatment ini adalah pada ketidakharmonisan keluarga dan keterbelakangan sekolah di satu kasus dan kurangnya keterampilan sosial dan pengangguran orangtua yang lain.
     Studi empiris menunjukkan kemanjuran pendekatan MST adalah karena intervensi ini dapat dengan sangat mudah diberlakukan dan memiliki aturan yang sistematis, termasuk remaja yang memiliki gangguan emosinal dan pendiskriminasian jenis kelamin dalam keseharian anak. Komunikasi keluarga adalah faktor utama yang mempengaruhi perbaikan emosi anak. Dengan adanya perbaikan hubungan pola keluarga dalam berkomunikasi, hal ini mengakibatkan berkurangnya tingkat perselisihan antara orang tua dan anak-anak dan antara orang tua itu sendiri.

Culturally Informed Intervention
     MALE (Male Attitude Adjustments in Order to Lead More Effective Lives), adalah program langsung akan pengertian tentang maskulinitas yang bermasalah dapat mengakibatkan perilaku menyimpang dan kekerasan, seperti yang ideal hypermasculine bahwa kekerasan yang individu lakukan dapat membuat diri individu menjadi lebih jantan (more of a man).  Intervensi melibatkan pemuda dalam sesi kelompok di mana mereka membahas penggambaran pria di lagu rap dan hip-hop, film, biographiesm dan puisi. Tujuannya adalah untuk membantu kaum muda yang sedang mempertimbangkan pilihan yang mereka buat dan harga yang harus dibayar untuk pilihan tersebut.




 Sekian dan Terima kasih...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda